Ibadah
Beranda » Berita » Pamer Amal di Media Sosial: Waspada Jebakan Riya’ Digital

Pamer Amal di Media Sosial: Waspada Jebakan Riya’ Digital

Media sosial hanyalah sarana, bukan tujuan. Amal sejati tetap tercatat di sisi Allah Swt , bukan di kolom komentar.

SURAU.CO – Era digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, termasuk dalam beribadah. Media sosial menjadi platform utama untuk berbagi berbagai aktivitas sosial, bisnis, silaturahmi termasuk juga amal ibadah saban harinya.

Namun, fenomena ini menyimpan potensi bahaya, yaitu riya’ digital. Riya digital adalah ketika amal ibadah yang seharusnya bertujuan murni karena Allah Swt, justru tercampur dengan keinginan untuk dipuji dan mendapat pengakuan dan validasi dari manusia.

Media Sosial: Antara Inspirasi dan Godaan Riya’

Media sosial memang memiliki potensi positif. Konten kebaikan bisa menjadi sumber inspirasi. Sebagai contoh, seorang ayah yang memposting hafalan anaknya bisa memotivasi orang lain. Ustadz yang menyiarkan kegiatan pesantren juga bisa menjadi syiar kebaikan. Akan tetapi, sisi negatifnya adalah godaan riya’ digital.

Banyak orang terjebak dalam keinginan untuk memamerkan amal, demi mendapatkan likes, share, subscribes dan komentar positif. Pertanyaannya, apakah amal ibadah yang direkam dan disebarkan benar-benar karena Allah Swt, atau hanya demi validasi manusia?

Riya’ dan Sum’ah: Dua Bentuk Syirik Kecil

Islam telah memberikan peringatan keras tentang bahaya pamer amal. Rasulullah Muhammad SAW bersabda:

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad).

Riya’ berarti memperlihatkan amal, sedangkan sum’ah berarti memperdengarkan amal. Keduanya termasuk syirik kecil karena amal yang seharusnya murni untuk Allah Swt bercampur dengan keinginan dipuji oleh manusia.

Jika dulu riya’ terjadi di masjid atau majelis, kini riya’ bisa hadir lewat layar smartphone. Perasaan ingin dilihat dan diakui muncul ketika jari menekan tombol “upload”. Namun demikian, publikasi amal memang tidak selalu berarti riya’. Kuncinya terletak pada niat.

Merekam Deres al-Qur’an: Peluang atau Ancaman?

Fenomena merekam deres atau membaca al-Qur’an untuk dipublikasikan patut kita cermati. Jika niatnya hanya untuk menunjukkan kerajinan membaca al-Qur’an, maka itu lebih dekat pada pamer amal atau riya’ digital daripada dakwah. Berbeda jika tradisi deres berjamaah di pesantren disiarkan. Ini bisa menjadi syiar dan memperkenalkan budaya Qur’ani kepada masyarakat luas. Deres pribadi yang sengaja direkam lalu dipamerkan, rawan menjerumuskan pelakunya ke dalam riya’ atau sum’ah. Al-Qur’an sejatinya diturunkan untuk diamalkan, bukan untuk dipertontonkan.

Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa riya’ ibarat api yang membakar amal. Sedikit saja hati condong ingin mendapatkan pujian, amal yang besar pun bisa menjadi sia-sia. Maka, merekam ibadah pribadi dengan tujuan popularitas sangat berbahaya bagi keikhlasan.

Amalan Sunnah Harian Sesuai Dalil Dari Al-Qur’an dan Hadist

Publikasi Amal: Kapan Diperbolehkan?

Dalam beberapa kondisi, publikasi amal justru kadang diperlukan. Di antara contohnya adalah:

  • Tradisi santri membaca al-Qur’an dengan berjamaah. Siaran langsung acara ini bisa menjadi syiar keberkahan, bukan sekadar pamer.
  • Orang tua membagikan hafalan anak. Jika niatnya adalah untuk motivasi, maka bisa bernilai dakwah. Tetapi jika hanya ingin menunjukkan prestasi anak, niat itu menjadi berbahaya.
  • Lembaga zakat mendokumentasikan penyaluran sedekah. Publikasi semacam ini penting sebagai bentuk transparansi dan sebagainya

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 271:

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Latin:

In tubduṣ-ṣadaqāti fa ni’immā hiy, wa in tukhfụhā wa tu`tụhal-fuqarā`a fa huwa khairul lakum, wa yukaffiru ‘ankum min sayyi`ātikum, wallāhu bimā ta’malụna khabīr

Raih Kebahagiaan Dengan Qana’ah

Arti:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah Swt mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 

Ayat ini menegaskan bahwa menampakkan amal boleh jika tujuannya baik, tetapi menyembunyikannya lebih aman dari riya’. Imam Nawawi menjelaskan, amal yang dipublikasikan bisa bernilai ibadah jika niatnya untuk memberi teladan. Namun, jika niatnya membanggakan diri, maka amal itu menjadi sia-sia.

Solusi Agar Terhindar dari Riya’ Digital

Agar terhindar dari jebakan riya’ digital, ada beberapa pedoman yang bisa kita pegang:

  1. Periksa Niat: Sebelum mengunggah, pastikan niatnya murni karena Allah Swt. Jika hanya mencari validasi, maka simpan untuk Allah Swt.
  2. Fokus pada Pesan: Tonjolkan nilai kebaikan yang ingin disampaikan, bukan karena diri sendiri.
  3. Jaga Adab: Jangan mempermalukan orang di media sosial.
  4. Seimbangkan Amal: Lebih banyak menyimpan amal pribadi antara kita dan Allah Swt.

Media sosial adalah sarana, bukan tujuan dan sesungguhnya amal sejati tercatat di sisi Allah Swt, bukan di kolom komentar. Yang terpenting, untuk siapa amal itu kita lakukan? Untuk Allah Swt, atau untuk manusia? Wallahu A’lam Bish Showab.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement