Nasional
Beranda » Berita » Mengupas Tuntas Hukum Nepotisme: Perspektif Islam dan Undang-Undang

Mengupas Tuntas Hukum Nepotisme: Perspektif Islam dan Undang-Undang

Isu nepotisme kembali menghangat dalam perbincangan publik. Praktik ini seringkali menjadi sorotan, terutama dalam dunia politik dan pemerintahan. Nepotisme pada dasarnya adalah tindakan favoritisme. Seseorang lebih mengutamakan keluarga atau kerabat dekat dalam memberikan jabatan. Tindakan ini mengabaikan kualifikasi dan kompetensi kandidat lain yang mungkin lebih layak.

Praktik semacam ini merusak sendi-sendi keadilan dan profesionalisme. Masyarakat sering mengaitkannya dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Lalu, bagaimana sebenarnya hukum nepotisme? Mari kita bedah dari dua sudut pandang penting, yaitu ajaran Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Larangan Nepotisme dalam Pandangan Islam

Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan, amanah, dan kompetensi. Setiap pemimpin atau pemegang jabatan memiliki tanggung jawab besar. Mereka harus menjalankan tugasnya untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Oleh karena itu, Islam dengan tegas melarang praktik nepotisme.

Larangan ini berakar pada beberapa dalil dan kisah teladan. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadis ini mengingatkan bahwa menyerahkan urusan kepada orang yang tidak ahli adalah tanda kehancuran. Rasulullah SAW bersabda:

“Jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hadis ini secara jelas menekankan pentingnya profesionalisme. Jabatan publik adalah amanah yang harus diemban oleh orang yang paling mampu. Mengangkat seseorang hanya karena hubungan darah atau pertemanan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah tersebut.

Selain itu, terdapat peringatan keras bagi pemimpin yang memilih bawahannya secara subjektif. Sebuah hadis menyatakan:

“Barangsiapa yang mengangkat seorang pemimpin dari suatu kaum, padahal di tengah-tengah mereka ada orang yang lebih diridhai oleh Allah daripadanya, maka sungguh ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin.”

Kutipan ini menunjukkan betapa seriusnya dosa nepotisme. Pelakunya dianggap telah berkhianat kepada tiga pilar utama: Allah SWT, Rasul-Nya, dan seluruh komunitas orang beriman. Ini karena dampaknya merusak tatanan sosial dan menyebabkan ketidakadilan yang meluas.

Kisah sahabat Nabi, Abu Dzar Al-Ghifari, juga menjadi pelajaran berharga. Ia pernah meminta jabatan kepada Rasulullah SAW. Namun, Nabi Muhammad dengan bijak menolaknya. Beliau menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah berat dan Abu Dzar tidak memiliki kekuatan untuk menanggungnya. Ini menunjukkan bahwa bahkan kedekatan dengan pemimpin tidak menjadi jaminan untuk mendapatkan posisi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Aturan Hukum Nepotisme di Indonesia

Indonesia sebagai negara hukum juga memiliki landasan kuat untuk memberantas nepotisme. Semangat reformasi pada tahun 1998 lahir dari keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dasar hukum utamanya adalah Ketetapan MPR. TAP MPR No. XI/MPR/1998 menjadi tonggak awal. Ketetapan ini mengamanatkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.

Untuk mengimplementasikannya, pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. UU ini secara spesifik mengatur tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam Pasal 1 ayat 5, UU tersebut mendefinisikan nepotisme dengan sangat jelas. Nepotisme adalah:

“Setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.”

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Definisi ini menegaskan tiga unsur utama nepotisme. Pertama, dilakukan oleh penyelenggara negara. Kedua, bersifat melawan hukum. Ketiga, menguntungkan keluarga atau kroni di atas kepentingan publik.

UU ini tidak main-main dalam memberikan sanksi. Pelaku nepotisme dapat menghadapi ancaman pidana yang serius. Menurut Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999, sanksi bagi pelaku nepotisme adalah:

  • Pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun.

  • Denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sanksi tegas ini menunjukkan komitmen negara untuk memberantas praktik yang merusak tata kelola pemerintahan yang baik.

Kesimpulan: Musuh Bersama yang Harus Diberantas

Baik ajaran Islam maupun hukum positif di Indonesia memiliki pandangan yang sama. Keduanya sepakat bahwa nepotisme adalah tindakan tercela dan melawan hukum. Islam menganggapnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Sementara itu, undang-undang mengkategorikannya sebagai tindak pidana serius.

Praktik ini hanya menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten. Akibatnya, pelayanan publik memburuk dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terkikis. Untuk membangun bangsa yang maju dan adil, kita harus menempatkan kompetensi dan integritas di atas segalanya. Melawan nepotisme adalah tanggung jawab kita bersama.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement