Sebuah pertanyaan besar sering muncul di benak kita. Mengapa Indonesia terus bergelut dengan korupsi? Padahal, masyarakatnya dikenal sangat religius. Fenomena ini menciptakan sebuah paradoks yang membingungkan. Ajaran agama seharusnya menjadi benteng moral terkuat. Namun, praktik korupsi justru merajalela di berbagai level.
Data global secara konsisten menempatkan Indonesia di papan atas. Negara ini menjadi salah satu negara paling religius di dunia. Banyak survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Tuhan sangat tinggi. Aktivitas keagamaan juga tampak hidup dan semarak di seluruh penjuru negeri. Simbol-simbol agama mudah kita temukan di ruang publik.
Namun, citra religius ini ternodai oleh fakta lain yang menyedihkan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih mengkhawatirkan. Skor yang rendah menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah sistemik. Praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang seolah menjadi hal biasa. Di sinilah letak ironi terbesar bangsa ini. Terdapat jurang pemisah antara keyakinan spiritual dan perilaku sosial.
Agama Sebatas Simbol, Bukan Substansi
Untuk memahami akar masalah ini, banyak cendekiawan telah mencoba menganalisisnya. Salah satu suara paling vokal datang dari mendiang Prof. Dr. Azyumardi Azra. Menurut beliau, paradoks ini terjadi karena adanya pergeseran mendasar dalam praktik beragama. Artinya, agama seringkali hanya berhenti pada aspek formal-simbolik semata. Meskipun masyarakat tampak taat menjalankan berbagai ritual ibadah, namun pada kenyataannya, nilai-nilai universal agama seperti kejujuran dan integritas gagal terinternalisasi dalam perilaku sehari-hari.
Azyumardi Azra pernah mengkritik fenomena ini dengan tajam. Menurutnya, banyak orang beragama hanya untuk status sosial.
“Agama hanya menjadi semacam life style, penanda identitas sosial. Jadi, kalau saya pakai jilbab, peci, baju koko, atau tasbih, itu lebih merupakan penanda identitas kesalehan, bukan kesalehan substantif,” ujarnya.
Kutipan ini menyoroti masalah inti. Masyarakat sering mengukur kesalehan seseorang hanya dari penampilan luar. Padahal, ajaran agama sesungguhnya menuntut integritas, kejujuran, dan keadilan. Ketika seseorang hanya menjadikan agama sebagai topeng, ia menghilangkan makna dari nilai-nilai luhur tersebut. Akibatnya, perilaku koruptif pun dengan mudah tumbuh subur.”
Nurcholish Madjid juga melontarkan pandangan serupa. Cendekiawan yang akrab disapa Cak Nur ini merasa resah saat melihat kesenjangan tersebut. Ia menyoroti adanya jarak yang jauh antara slogan keagamaan dengan kenyataan di lapangan. Menurutnya, agama belum menjadi sumber etika dan moralitas publik.”
Ketika Korupsi Menjadi “Budaya”
Situasi menjadi semakin rumit ketika banyak orang menganggap korupsi sebagai budaya Anggapan ini sangat berbahaya. Ia menciptakan pemakluman terhadap tindakan yang salah. Orang merasa terpaksa korupsi karena sistem yang memaksa. Lingkungan kerja yang korup membuat individu jujur tersingkir.
Kondisi ini membuat pemberantasan korupsi menjadi sangat sulit. Tindakan hukum dari aparat saja tidak akan cukup. Kita membutuhkan sebuah gerakan perubahan mendasar dari dalam diri. Di sinilah, revolusi mental yang pernah pemerintah canangkan menjadi relevan. Setiap individu harus memulai perubahan dari cara pandang dan kesadarannya sendiri.
Masyarakat perlu memahami bahwa korupsi bukan budaya bangsa. Korupsi adalah penyakit sosial yang merusak tatanan. Ia merampas hak orang miskin dan menghambat kemajuan negara. Ajaran agama manapun dengan tegas melarang segala bentuk kecurangan dan pencurian.
Jalan Keluar: Kembali ke Esensi Ajaran Agama
Lalu, bagaimana kita bisa keluar dari paradoks ini? Jawabannya terletak pada internalisasi nilai-nilai agama. Umat beragama harus mengembalikan agamanya pada fungsi hakiki. Agama harus menjadi kompas moral yang memandu setiap tindakan.
Pertama, pendidikan karakter berbasis agama perlu diperkuat. Anak-anak sejak dini harus diajarkan tentang pentingnya kejujuran. Mereka harus paham bahwa korupsi adalah dosa besar. Pendidikan ini tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di keluarga dan masyarakat.
Kedua, para pemuka agama memegang peran sentral. Mereka harus menjadi teladan integritas. Dakwah dan khotbah perlu lebih sering menekankan isu-isu moralitas publik. Umat harus terus diingatkan tentang bahaya korupsi bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Terakhir, perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Setiap individu perlu melakukan refleksi. Apakah praktik beragama kita sudah benar? Ataukah kita hanya terjebak dalam formalitas tanpa makna? Melawan korupsi adalah wujud nyata dari iman. Dengan begitu, kita bisa perlahan-lahan meruntuhkan paradoks korupsi dan religiusitas di negeri ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
