SURAU.CO. Perkembangan teknologi digital telah merobah tatanan komunikasi dan interaksi sosial, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Kehadiran media sosial seperti TikTok bukan sekadar menggeser pola hiburan. Akan tetapi juga mencipta ruang publik virtual, ekosistem opini, identitas, bahkan nilai sosial. Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat menghadapi tantangan nyata dalam mempertahankan nilai keislaman mereka. Dalam konteks ini, gagasan Maqashid Syariah mendapat tantangan baru untuk diterjemahkan secara kontekstual, adaptif, dan tetap fundamentalis atau apa yang bisa disebut sebagai Maqashid Syariah 5.0.
Maqashid Syariah di Era Digital
Maqashid Syariah, yang dirumuskan dari karya Imam al‑Syathibi, menetapkan lima tujuan utama syariat Islam, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Imam al‑Ghazali juga menekankan konsep serupa, bahwa seluruh norma syariah bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Dalam era digital dengan dinamika Society 5.0, penerapan Maqashid Syariah harus melewati batas definisi klasik. Ia menjadi kerangka kerja inovatif untuk menjaga kemaslahatan umat di setiap lini digital .
TikTok sebagai platform populer di kalangan generasi digital menampilkan tantangan dan peluang bersamaan. Di satu sisi, media ini menyediakan format video pendek yang ideal untuk menyebarkan kebaikan dengan cepat. Selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ, “Sampaikan dariku walau satu ayat” (HR. Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa dakwah tidak harus panjang, tetapi efektif dan kreatif. Ibn Taimiyah dan Yusuf al‑Qaradawi menekankan bahwa dakwah wajib menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat agar pesannya mudah diterima. Dalam konteks sekarang, hal itu dapat lewat media digital seperti TikTok.
Aktualisasi Maqashid Syariah
Dalam praktiknya, Maqashid Syariah 5.0 dapat diaktualisasikan melalui konten dakwah kreatif yang tetap menjaga sepuluh analogi fundamental. Konten dakwah itu harus menyemai ilmu dan iman serta tidak menyesatkan (Hifz al‑Din), membentengi jiwa dari kecemasan, perundungan daring, dan kecanduan layar (Hifz an‑Nafs). Sekaligus mengembangkan literasi Islam dan akal kritis dalam menghadapi hoaks atau disinformasi (Hifz al‑‘Aql). Selanjutnya, ia harus membimbing moral generasi agar tidak terperosok ke ranah dekadensi digital seperti budaya narsisme atau pornografi (Hifz an‑Nasl). Dan mempromosikan ekonomi kreatif halal melalui transaksi dan promosi berbasis etika, misalnya edukasi bisnis syariah di TikTok (Hifz al‑Mal).
Konsep seperti ini sejalan dengan kajian kontemporer yang mencontohkan bagaimana Maqashid Syariah dapat menjadi kerangka kerja pengembangan produk keuangan digital yang inklusif, aman, dan etis .
Tantangan dan Peluang
Tantangan terbesar dakwah digital bukan hanya konten negatif seperti hoaks, pornografi, hedonisme, atau algoritma adiktif yang memanjakan ketidaksadaran pengguna. Literasi agama yang rendah menjadikan generasi muda rentan terpapar ide-ide liberal atau sekuler tanpa filter keislaman.
Namun, di sisi lain, TikTok juga menawarkan potensi luar biasa: video dakwah yang memikat dapat menjadi viral, menjangkau jutaan pengguna dalam hitungan jam. Selain itu, dalam ranah ekonomi digital, platform seperti TikTok Shop yang beroperasi dengan etika bisnis Islam, jujur, bertanggung jawab, tidak menipu, menepati janji, dan melayani dengan murah hati, membuktikan bahwa komunikasi digital dapat selaras dengan Maqashid Syariah dan etika bisnis Islami . Dengan menempatkan Maqashid Syariah sebagai kompas digital, umat Islam tidak boleh hanya terpaku pada sekadar kehalalan produk, tetapi juga keberlanjutan, etika, dan kedalaman nilai.
Fenomena Muslim 5.0 menggambarkan pergeseran di kalangan konsumen muslim yang tidak lagi melihat aturan sebagai tulisan kaku, melainkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan kemaslahatan umat. Mereka menuntut konsumsi dan dakwah yang adaptif, humanis, dan memiliki dampak moral jangka panjang .
Dakwah Digital
Al-Qur’an menegaskan peran umat Islam dalam menyebarkan kebaikan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104). Dengan ayat ini, kita dapat menggunakan platform digital seperti TikTok sebagai sarana dakwah yang relevan dengan kondisi zaman.
Dalam konteks ini, para dai digital dan kreator konten Islam memiliki amanah berat. Mereka harus membangun konten yang bukan saja menarik secara visual, tetapi juga berbobot, edukatif, dan tetap terpercaya secara syariah. Konten seperti kajian singkat yang mencerahkan hati, doa harian yang menyentuh nurani, sampai edukasi praktis mengenai nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi pionir transformasi digital yang bermakna.
Pada akhirnya, Maqashid Syariah 5.0 tidak hanya sekadar teori, tetapi peta jalan transformasi dakwah, etika digital, dan ekonomi kreatif Islami. TikTok dan platform sejenis bisa menjadi wahana interaktif untuk mencetak generasi milenial dan Gen Z yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga melek nilai. Era digital bukan ancaman jika umat Islam mampu menjalin inovasi dan nilai spiritual secara berkelanjutan. Dengan Maqashid Syariah sebagai lentera, kita mampu menavigasi lautan digital modern dengan arah moral yang jelas, agar Islam tetap relevan, rahmatan lil alamin, dan memberi manfaat bagi umat manusia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
