Mendirikan Shalat, Bukan Sekadar Melaksanakan
SURAU.CO – Sebagaimana kita ketahui bersama, ibadah shalat merupakan sebuah kewajiban fundamental bagi setiap muslim. Ia adalah tiang penyangga agama ini. Barang siapa dengan sungguh-sungguh mendirikan shalat, maka ia telah turut serta mendirikan tiang agama. Sebaliknya, barang siapa dengan sengaja meninggalkannya, maka ia telah merobohkan tiang agamanya sendiri. Sesungguhnya, tujuan utama dari shalat wajib adalah untuk menegakkan zikir atau ingatan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, jika kita perhatikan dengan saksama, seluruh perintah tentang shalat di dalam Al-Qur’an selalu menggunakan kata aqâma-aqîmû dan turunannya. Kata ini memiliki arti “dirikanlah”.
Pemilihan kata ini bukanlah tanpa makna. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mendirikan shalat, terdapat unsur lahiriah dan batiniah yang harus menyatu. Unsur batiniah inilah yang menjadi ruhnya, yaitu kekhusyukan serta kehadiran hati secara penuh. Karena sesungguhnya, inilah inti dan esensi dari ibadah shalat itu sendiri. Perhatikanlah kalam agung Allah SWT yang menegaskan hal ini:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah SWT, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thâhâ: 14).
Dari ayat ini, kita dapat menarik sebuah refleksi mendalam. Jika kita sedang shalat namun pikiran kita tidak ingat kepada Allah SWT, malah yang teringat adalah mobil di garasi, pekerjaan di kantor, atau urusan duniawi lainnya, maka kualitas shalat kita perlu menjadi pertanyaan. Pertanyaan tentang bagaimana agar shalat bisa khusyuk adalah perjuangan setiap muslim. Karena itu, sangat pantas jika besaran pahala yang kita terima setiap dari shalatnya bisa berbeda-beda. Semua itu sangat bergantung kepada tingkat kekhusyukan kita. Sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan, “Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang shalat, namun hanya tercatat ganjarannya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau setengahnya.” (HR. Abu Daud).
Menyelami Makna Batiniah untuk Meraih Khusyuk
Lalu, apa sebenarnya maksud dari khusyuk? Menurut ulama besar Imam al-Ghazali, khusyuk adalah buah manis dari keimanan. Ia adalah hasil dari keyakinan yang mendalam akan keagungan Allah SWT. Siapa saja yang dapat merasakan keagungan ini dalam hatinya, niscaya ia akan mampu khusyuk dalam shalatnya. Perasaan khusyuk ini bisa timbul dari beberapa kesadaran penting. Pertama, kesadaran bahwa Allah SWT senantiasa melihat segala gerak-gerik kita. Kedua, kesadaran tentang betapa agung dan besarnya Zat yang sedang kita sembah. Ketiga, kesadaran tentang betapa banyak kekurangan diri kita sebagai hamba dalam melaksanakan tugas-tugas dari Tuhan.
Selain itu, menurut beliau, makna batiniah dalam shalat akan dapat tercapai secara sempurna sekiranya terkumpul enam hal dalam diri kita. Pertama adalah kehadiran hati. Maksudnya adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang kita kerjakan atau ucapkan dalam shalat. Selanjutnya, kita perlu membangun pemahaman yang mendalam terhadap setiap bacaan dan gerakan yang kita lakukan. Pemahaman ini kemudian harus melahirkan pengagungan dan penghormatan yang tulus kepada Zat yang kita sembah. Dari rasa agung ini, akan muncul pula rasa takut yang lahir dari kesadaran akan kebesaran Allah SWT dan kelalaian yang mungkin kita lakukan. Namun, rasa takut ini perlu seimbang dengan pengharapan yang besar kepada limpahan pahala dari Allah SWT. Akhirnya, semua perasaan itu dibingkai dengan rasa malu kepada Allah SWT atas segala kelalaian dan kekurangan yang telah kita lakukan. Ini adalah sebuah perjalanan batin yang menuntut kesungguhan, bukan sekadar gerakan fisik yang mekanis.
Cermin Ibadah dari Generasi Salafus Saleh
Kekhusyukan dan kehadiran hati secara total dalam menjalankan ibadah shalat merupakan perilaku yang selalu dijaga oleh para salafus saleh atau generasi terdahulu yang saleh. Kisah-kisah mereka menjadi cermin bagi kita hari ini. Seperti riwayat sahabat mulia Ali bin Abi Thâlib, apabila tiba waktu shalat, tubuhnya akan gemetar dan raut wajahnya berubah. Ketika seseorang menanyakan tentang hal itu, beliau menjawab dengan jawaban yang luar biasa, “Telah tiba waktu melaksanakan amanah yang ditawarkan oleh Allah SWT kepada langit, bumi dan gunung-gunung; mereka semua menolaknya karena takut tidak mampu memikulnya. Tetapi aku kini memikulnya.”
Kisah luar biasa lainnya datang dari seorang ulama bernama Hâtim al-A’sham. Ketika beliau mendapat pertanyaan untuk melukiskan bagaimana shalatnya, beliau berkata, “Bila datang waktu shalat, aku berwudhu dengan sesempurna mungkin, pergi ke tempat shalatku dan duduk di situ sampai tenang seluruh anggota tubuhku. Setelah itu aku bangkit dan memulai shalatku. Kujadikan Ka’bah di antara kedua mataku, shirat (jembatan ke surga) aku jadikan di bawah telapak kakiku, surga di sisi kananku, neraka di sisi kiriku dan malaikat maut di belakangku. Kuperkirakan ini sebagai shalatku yang terakhir dan aku pun berdiri di antara harapan dan kecemasan. Aku bertakbir dengan hati yang mantap dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil, kemudian aku mulai rukuk dengan hati merunduk dan bersujud dengan penuh khusyuk, duduk di atas bagian tubuhku sebelah kiri, menjadikan punggung kakiku sebagai alas, sambil menegakkan kaki kananku di atas ibu jarinya. Kulakukan semua itu dengan penuh keikhlasan dan setelah itu aku pun tidak tahu apakah shalatku Allah terima atau tidak?”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.