SURAU.CO – Rezeki selalu menjadi topik yang menarik untuk kita bahas. Hampir setiap manusia di muka bumi memikirkan rezeki: bagaimana mendapatkannya, bagaimana menjaganya, dan bagaimana menikmatinya. Islam sebagai agama yang sempurna memberi pemahaman yang indah tentang rezeki. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa Dia-lah yang menjamin rezeki setiapmakhluk-Nya. Allah berfirman:
“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak memegang penuh kendali atas rezekinya, sebab Allah-lah yang mengatur dan memberi rezeki. Namun, apakah manusia harus mencari rezeki dengan usaha, ataukah rezeki bisa datang sendiri tanpa dicari? Pertanyaan inilah yang menjadi bahan diskusi antara dua ulama besar: Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Pertemuan Guru dan Murid
Kisah ini berawal ketika Imam Syafi’i yang masih muda berangkat ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar yang sangat dihormati. Imam Syafi’i mengagumi gurunya dan bertekad menyerap ilmu sebanyak-banyaknya.
Suatu hari, Imam Syafi’i bertanya dengan penuh rasa ingin tahu:
“Wahai Guru, bagaimana cara Anda mencari rezeki?”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tetapi menyimpan makna di dalamnya. Membicarakan rezeki berarti membicarakan bagaimana manusia bertahan hidup, bagaimana ia menerima karunia Allah, dan bagaimana ia meyakini janji-Nya.
Imam Malik menjawab dengan tenang:
“Saya mencari rezeki dengan mengajar ilmu agama kepada orang-orang. Dan Saya tidak pernah keluar rumah untuk mencari rezeki. Saya hanya menunggu rezeki datang sendiri kepada saya.”
Jawaban itu membuat Imam Syafi’i terkejut. Ia berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa bersusah payah mencari rezeki? Bukankah Allah memerintahkan manusia untuk bekerja? Bukankah Rasulullah ﷺ juga menekankan pentingnya ikhtiar?
Imam Malik kemudian menjelaskan lebih dalam:
“Wahai muridku, engkau benar bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berusaha, dan Nabi ﷺ juga mengajarkan hal itu.Tetapi engkau lupa, Allah juga berfirman bahwa Dia memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa kasab. Nabi ﷺ pun menjelaskan ada dua jenis rezeki: rezeki yang harus kita datangi dan rezeki yang datang sendiri. Yang pertama menuntut usaha, sedangkan yang kedua merupakan karunia Allah tanpa usaha. Saya termasuk orang yang Allah beri rezeki yang datang sendiri.”
Ujian Pemahaman
Imam Syafi’i yang terkenal cerdas tetap belum puas dengan penjelasan gurunya. Ia merasa lebih masuk akal jika rezeki harus dicari. Ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang hanya duduk menunggu rezeki tanpa bergerak?
Dalam perjalanan pulang, Imam Syafi’i melewati kebun anggur. Ia melihat para pekerja yang sedang memanen buah. Seorang pemilik kebun menggali:
“Wahai pemuda! Bisakah kau membantu kami memanen anggur? Sebagai upahnya nanti kau bisa memilih anggur yang segar-segar sebanyak wadah ini.”
Imam Syafi’i pun menerima tawaran itu. Ia memanen anggur dengan baik hingga pemilik kebun memberi upah berupa anggur manis. Dalam hati, Imam Syafi’i merasa peristiwa ini membuktikan bahwa rezeki memang harus dicari. Jika dia tidak datang dan membantu, tentu dia tidak akan mendapat upah anggur.
Dengan penuh semangat, Imam Syafi’i kembali kepada gurunya untuk menceritakan pengalamannya.
Jawaban Tenang Imam Malik
Imam Syafi’i berkata:
“Wahai Guru! Aku mendapat anggur dari pemilik kebun yang tadi aku bantu menyambutnya.”
Sambil menekankan kata “yang tadi aku bantu”, Imam Syafi’i ingin menunjukkan bahwa usaha nyata membuatnya mendapat rezeki.
Namun Imam Malik menjawab dengan senyum penuh makna:
“Tadi setelah selesai mengajar, aku terlintas keinginan untuk makan anggur segar. Aku lalu bertawakal kepada Allah. Dan Allah mendatangkannya melaluimu sebagai perantara.”
Jawaban itu membuat Imam Syafi’i mengangguk paham. Ia akhirnya mengerti maksud gurunya. Rezeki memang bisa datang dari dua arah: ada yang kita peroleh melalui usaha, ada juga yang Allah datangkan sendiri tanpa kita sangka, bahkan melalui orang lain.
Rezeki dalam Kehidupan Sehari-hari
Kisah Imam Syafi’i dan Imam Malik menjadi relevan dalam kehidupan kita. Banyak orang yang sibuk mengejar rezeki hingga lupa bahwa Allah Sang Pemberi Rezeki. Sebaliknya, sebagian orang salah memahami tawakal, lalu bermalas-malasan tanpa usaha.
Padahal, Islam mengajarkan agar kita berusaha sebaik mungkin lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 10, Allah berfirman:
“Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; carilah karunia Allah, dan berkomunikasi dengan Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
Ayat ini menekankan pentingnya usaha. Namun, usaha itu harus selalu kita bingkai dengan zikir dan tawakal.
Kisah inspiratif antara Imam Syafi’i dan Imam Malik memberi pemahaman yang seimbang tentang rezeki. Imam Syafi’i menekankan ikhtiar, sedangkan Imam Malik mengajarkan kekuatan tawakal. Keduanya benar, dan keduanya saling melengkapi.
Rezeki memang harus kita cari, tapi juga bisa Allah datangkan tanpa kita sangka-sangka. Yang terpenting, kita tidak boleh sombong dengan usaha kita, karena hakikatnya semua datang dari Allah.
Semoga kita mampu mengambil hikmah dari kisah ini, dan semakin yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-hamba-Nya. Wallahu A’lam bishshawab.
Sumber Rujukan:
- Al-Muwaththa’ karya Imam Malik
- Manaqib Asy-Syafi’i karya Imam al-Baihaqi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
