Kalam
Beranda » Berita » Memahami Hakikat Iman yang Utuh dan Menyeluruh

Memahami Hakikat Iman yang Utuh dan Menyeluruh

Ilustrasi muslimah di kamar mandi
Ilustrasi muslimah di kamar mandi

Memahami Hakikat Iman yang Utuh dan Menyeluruh

SURAU.CO – Dalam ajaran Islam, konsep iman memegang peranan yang sangat fundamental. Sering kali kita mendengar diskusi mendalam mengenai hubungan tak terpisahkan antara iman dan amal. Untuk memahaminya, kita perlu menelusuri makna iman itu sendiri. Secara etimologis, kata iman berasal dari bahasa Arab, yaitu âmana. Kata ini memiliki arti mempercayai atau membenarkan (tashdiq). Namun, dalam pengertian syariat, maknanya menjadi jauh lebih komprehensif. Definisi iman sebagai pembenaran yang tertanam kuat di dalam hati. Kemudian, pembenaran itu terucap dengan lisan. Pada puncaknya, ia berwujud melalui perbuatan anggota badan terhadap seluruh ajaran Islam.

Dengan demikian, keimanan seseorang baru bisa dikatakan benar dan sempurna apabila mencakup tiga unsur penting tersebut. Ketiga unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Unsur pertama adalah keyakinan yang teguh dan kokoh di dalam hati. Hal ini berarti hati kita harus betul-betul menerima, mengakui, serta meyakini segala sesuatu yang wajib kita imani. Keyakinan ini harus datang sesuai dengan perintah agama. Ia harus bersifat utuh tanpa ada sedikit pun keraguan atau pencampuran dengan kebatilan. Sebagaimana Allah SWT dengan tegas mengingatkan dalam surah al-Baqarah, ayat 42, “Janganlah engkau mencampuraduk kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah engkau menyembunyikan kebenaran, padahal engkau mengetahuinya.”

Selanjutnya, keyakinan yang telah bersemayam di dalam hati ini harus tersuarakan. Ia harus berwujudkan dengan pengakuan dan ucapan lisan atau isyarat yang jelas. Proses pengikraran ini secara simbolis terwujud dalam pengucapan dua kalimat syahadat. Inilah pintu gerbang seseorang memasuki Islam. Akan tetapi, prosesnya tidak berhenti di situ. Unsur ketiga menjadi penyempurna, yaitu realisasi dan pembuktian keimanan. Dalam bahasa Al-Qur’an, hal ini sering disebut sebagai “wa ‘amilush shalihât”, yaitu amal yang saleh dan perilaku yang baik. Dengan kata lain, ini adalah manifestasi dari upaya mengamalkan Islam secara kaffah atau menyeluruh. Saya sering merenung, betapa mudahnya lisan mengucap, namun betapa beratnya menjaga hati agar tetap lurus dan selaras dengan perbuatan.

Amal Saleh sebagai Cermin Keimanan yang Sejati

Seseorang baru dapat dikatakan benar-benar beriman ketika aspek lahiriahnya selaras dengan batiniahnya. Ia harus benar dalam keimanannya di dalam hati dan tulus ikhlas dalam setiap amalannya. Merekalah golongan yang disebut sebagai ‘ash-Shâdiqûn’ atau orang-orang yang benar dalam keimanannya. Allah SWT menegaskan karakteristik mereka dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah SWT, mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurât: 15). Ayat ini menunjukkan bahwa klaim iman harus bebarengan dengan bukti, yaitu tiadanya keraguan dan kesediaan untuk berkorban.

Oleh karena itu, keberadaan iman menjadi syarat mutlak diterimanya sebuah amalan. Para ulama sepakat bahwa antara iman dan Islam tidak mungkin bisa terpisahkan. Meskipun terkadang berbeda, pembedaan tersebut hanyalah untuk kemudahan dalam pembahasan. Pada hakikatnya, keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin. Sebaliknya, apabila seseorang mengaku beriman dengan lisannya, tetapi keyakinan itu tidak pernah meresap ke dalam hatinya, maka ia termasuk dalam golongan orang munafik. Ciri utama orang munafik adalah perkataannya selalu berbeda dengan isi hatinya. Allah SWT telah memperingatkan bahwa orang-orang munafik akan menempati dasar api neraka (an-Nisa’: 145).

Dua Mata Air Kehidupan: Air Dunia dan Air Akhirat, Kita Minum yang Mana?

Sebagaimana kita ketahui bersama, Islam adalah ad-Din yang intinya adalah iman dan amal. Jika kita membuat sebuah perumpamaan, maka iman adalah “pokok” atau akar dari sebuah pohon. Dari pokok yang kuat inilah akan tumbuh cabang-cabang yang kokoh. Dalam perspektif Islam, cabang-cabang tersebut mencakup seluruh bidang kehidupan manusia. Maka dari itu, seorang mukmin harus sadar sepenuhnya akan segala konsekuensi dari keimanannya. Ketika iman seseorang melemah, maka pendorong utamanya bukan lagi wahyu, melainkan hawa nafsu. Hawa nafsu inilah yang akan menggiringnya kepada perbuatan maksiat. Tentu saja, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, maka akan semakin besar pula pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang selaras dengan keyakinannya. Ini menjadi sebuah refleksi bagi kita, sudahkah amal kita menjadi cermin dari iman kita?

Konsekuensi Syahadat dan Peran Tauhid dalam Kehidupan

Ketika seseorang dengan sadar mengucapkan dua kalimat syahadat, ia harus memahami apa yang terkandung di baliknya. Itu bukanlah sekadar ucapan seremonial tanpa makna. Di dalam dua kalimat singkat tersebut terkandung seluruh perintah dan larangan agama. Bahkan, semua tuntutan dan ajaran Islam berporos pada kalimat tauhid tersebut. Inilah alasan mendasar mengapa dahulu kaum kafir Quraisy menolak dengan keras untuk menerima dan mengucapkannya. Seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, secara syariat ia dihukumi sebagai seorang muslim. Sejak saat itu, harta, darah, dan kehormatannya terlindungi oleh Islam. Oleh karena itu, dua kalimat syahadat merupakan dasar teoretis sekaligus praktis dari segala hal yang tercakup dalam ajaran Islam. Sehingga, ketika seseorang menolak mengikrarkan syahadat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk melaksanakan syariat Islam. Namun, apabila seseorang telah mengikrarkannya dengan sadar, maka ia memiliki kewajiban besar. Ia harus mengimplementasikan ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupannya (al-Baqarah: 208).

Dua kalimat syahadat ini seharusnya menjadi roh yang menggerakkan kehidupan di dunia. Sebagaimana pemikir Islam, Sayyid Quthb mengatakan, bahwa kalimat tauhid adalah pedoman hidup. Keimanan yang tulus terhadap kalimat tauhid akan menciptakan keselarasan antara manusia dengan sunnatullah yang berlaku di alam semesta. Sebaliknya, apabila dunia ini penuh dengan kekufuran terhadap kalimat tauhid, maka yang akan terjadi hanyalah kehancuran dan kerusakan. Hal ini terjadi karena sudah tidak ada lagi keserasian antara perilaku manusia dengan alam semesta yang seluruhnya tunduk dan patuh kepada pengakuan kalimat tauhid. Wal ‘iyâdzu billâh.

× Advertisement
× Advertisement