SURAU.CO – Setiap kali bulan Rabiul Awal tiba, semarak kebahagiaan menyelimuti umat Islam di Indonesia. Gema selawat dan puji-pujian membahana di berbagai penjuru. Umat Islam dengan antusias melaksanakan peringatan Maulid Nabi. Berbagai acara meriah mereka selenggarakan untuk merayakan kelahiran sang junjungan. Akan tetapi, di tengah kemeriahan ini, sebuah refleksi mendalam perlu kita hadirkan. Pertanyaan mendasar pun muncul di benak kita. Apakah seluruh perayaan ini sungguh-sungguh menjadi cermin kecintaan tulus kita kepada Nabi Muhammad SAW? Ataukah, ini hanyalah sebuah luapan emosi sesaat? Rasa cinta itu sering kali memudar seiring berakhirnya perhelatan akbar tersebut. Tentu saja, kita bertanya lagi, haruskah ungkapan cinta ini hanya kita tunjukkan setahun sekali? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang selayaknya menjadi bahan perenungan kita bersama. Ini bukan untuk mengurangi esensi perayaan, melainkan untuk memperdalam substansinya.
Memaknai Kembali Cinta Sejati kepada Rasulullah SAW
Tidak ada seorang muslim pun yang akan mengingkari rasa cintanya kepada Rasulullah SAW. Perasaan ini tertanam kuat dalam sanubari setiap insan yang beriman. Dari cinta inilah, kita semua menaruh harapan besar. Kita berharap kelak akan mendapatkan syafaat agung dari beliau di hari akhir. Namun, perlu kita sadari bersama bahwa sebuah pengakuan saja tidak akan pernah cukup. Setiap cinta yang tulus pasti membutuhkan bukti nyata. Oleh karena itu, bukti cinta kita yang paling hakiki kepada Rasulullah SAW adalah dengan menjadikan beliau sebagai rujukan utama. Kita harus menjadikan beliau sebagai suri teladan terbaik dalam setiap denyut kehidupan kita sehari-hari. Mendahulukan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya di atas segalanya merupakan fondasi keimanan yang kokoh. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran, ayat 31-32:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيمُ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT, ikutilah aku, niscaya Allah SWT mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu.” Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang kafir.”
Ayat tersebut memberikan sebuah formula yang sangat jelas. Cinta kepada Allah SWT secara langsung terhubung dengan kepatuhan kepada Rasulullah SAW. Ini adalah sebuah paket yang tidak dapat kita pisahkan. Konsekuensi dari mengikuti Rasulullah SAW adalah datangnya kasih sayang dan ampunan dari Allah. Sebaliknya, berpaling dari ajaran beliau sama saja dengan menolak ketaatan kepada Allah. Hal ini juga ditegaskan lebih lanjut oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang sangat populer, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman seseorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintai olehnya daripada bapak-bapaknya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya.”
Hadis ini memberikan standar yang luar biasa tinggi. Ini bukan sekadar anjuran, melainkan syarat kesempurnaan iman. Saya sering merenung, betapa beratnya standar ini jika hanya diukur dengan perasaan. Namun, jika melihat dengan prioritas dalam tindakan, maknanya menjadi lebih jelas. Mencintai Rasulullah SAW lebih dari segalanya berarti mendahulukan ajaran beliau di atas kepentingan pribadi, keluarga, bahkan logika kita sendiri.
Ittiba Rasul sebagai Realisasi Cinta yang Sejati
Pengakuan cinta kepada Rasulullah SAW harus kita wijudkan dalam tindakan nyata. Klaim tanpa realisasi hanyalah angan-angan kosong. Sangat mustahil kita dapat memetik buah cinta kepada Rasulullah SAW yang manis, yaitu syafaat di akhirat, jika perilaku kita sehari-hari justru menjauhi apa yang beliau inginkan. Pada akhirnya, semua pengakuan ini akan diuji dan dibongkar kelak di hadapan Allah. Diceritakan bahwa seluruh umat Nabi Muhammad akan diberi kesempatan istimewa. Mereka dapat meminum air dari telaga Kautsar milik beliau. Siapa pun yang meminumnya seteguk saja, niscaya tidak akan pernah merasakan dahaga untuk selamanya. Namun, sebuah pemandangan menyedihkan terjadi. Ternyata, ada sekelompok orang dari umatnya yang justru tertolak dan menjadi terusir dari telaga tersebut. Mereka tidak mendapat izin untuk mendekat. Mengapa demikian? Karena semasa hidup di dunia, mereka melakukan ibadah-ibadah baru yang tidak pernah Rasulullah SAW ajarkan. (HR. Muslim).
Dari gambaran ini, kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga. Cinta yang benar akan mendorong kita untuk selalu berpegang teguh pada tuntunan. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW, “Anta ma’a man ahbabta” (Kamu akan dikumpulkan bersama orang yang kamu cintai) (HR. al-Bukhari), memiliki makna yang lebih dalam. Kebersamaan yang dijanjikan ini bukanlah kebersamaan pasif. Ia harus berdampingan dengan syarat pelaksanaan amal yang sesuai. Amal inilah yang akan menjadikan kita layak untuk bersama dengan orang yang kita cintai. Ketika kita mengaku mencintai Rasulullah SAW, maka kita harus membuktikannya. Kita harus beramal sesuai dengan apa yang telah beliau ajarkan dan contohkan. Dengan cara inilah, kita memiliki harapan besar untuk dapat berkumpul bersama beliau kelak di surga. Inilah puncak dari segala cinta dan kerinduan.
Menjaga Kemurnian Ajaran dari Bahaya Bidah
Sebagai konsekuensi logis dari cinta, maka saya mengajak diri saya pribadi dan seluruh kaum muslimin. Mari kita mencintai Rasulullah SAW dengan cara yang benar. Cara tersebut adalah dengan mengikuti apa yang telah beliau ajarkan secara murni. Kita harus menjadikan sunnah-sunnah beliau sebagai pegangan hidup dan teladan utama. Hal ini berarti kita juga harus menjauhkan diri dari perbuatan bidah dan kultus individu yang berlebihan. Rasulullah SAW sendiri telah melarang hal tersebut dengan keras. Perbuatan bidah, atau mengada-ada dalam urusan agama, merupakan perkara yang sangat berbahaya. Bahkan, perbuatan ini lebih menjadi kesenangan iblis daripada perbuatan maksiat lainnya. Ulama besar Sufyan ats-Tsauri pernah mengungkapkan sebuah kaidah penting:
الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا. (شرح أصول الاعتقاد للالكاني
“Perbuatan bidah itu lebih disukai iblis daripada perbuatan maksiat. Karena kemaksiatan terkadang ditobati, sementara bidah tidak ditobati.” (Syarh Ushûl al-I’tiqâd, karya al-Lâlikâ’i, 1/132).
Mengapa bisa demikian? Jawabannya terletak pada psikologi pelakunya. Seseorang yang melakukan maksiat, seperti mencuri atau berbohong, pada umumnya sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Rasa bersalah ini membuka pintu bagi penyesalan dan tobat. Sebaliknya, pelaku bidah justru merasa sedang melakukan kebaikan. Ia merasa sedang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang lebih baik. Oleh karena itu, ia merasa tidak bersalah sama sekali. Secara otomatis, ia tidak akan merasa perlu untuk bertobat dari perbuatannya. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Ia akan terus melaksanakan amalan tersebut secara konsisten. Bahkan, ia tidak segan untuk menyebarkannya kepada orang lain. Semua ini berangkat dari keyakinan keliru akan kebenaran amalan tersebut. Ini adalah sebuah jebakan halus dari setan. Wal ‘iyâdzu billah. Mencintai Rasulullah berarti menjaga kemurnian agamanya, bukan menambah atau menguranginya. Inilah benteng kecintaan yang sesungguhnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
