Opinion
Beranda » Berita » Demokrasi yang Terbalik: Ketika Pelayan Menjadi Tuan, dan Rakyat Hanya Penonton

Demokrasi yang Terbalik: Ketika Pelayan Menjadi Tuan, dan Rakyat Hanya Penonton

Demokrasi Terbalik
Ilustrasi demokrasi yang terbalik. Sumber Foto: Perplexity

 

SURAU.CO. Dalam tatanan ideal demokrasi, pejabat publik seharusnya berperan sebagai pelayan rakyat. Rakyat memberi mandat kepada mereka melalui pemilu, membayar gaji mereka dengan uang pajak, dan menugaskan mereka untuk mengelola urusan publik demi kemaslahatan bersama. Namun, kenyataan sering kali menyimpang jauh dari prinsip dasar tersebut. Pemerintah memperlakukan rakyat seolah-olah hanya beban administratif, bukan subjek utama dalam kehidupan bernegara, padahal rakyatlah yang sejatinya menjadi pemberi kuasa.

Pelayan atau Majikan?

Kita bisa mengibaratkan fenomena ini dengan analogi yang sangat gamblang: sebuah restoran yang memerintahkan pelanggannya bukan hanya membayar, tetapi juga masuk dapur, mengupas bawang, mencuci piring, dan bahkan melayani meja. Sementara sang pelayan, yang seharusnya bekerja melayani tamu, justru duduk santai di ruang VIP, menyantap hidangan mewah. Ironisnya, mereka melakukan semua ini dengan dalih “demi kepentingan pelanggan.” Model relasi ini tidak sekadar aneh, melainkan merusak fondasi demokrasi dan memperkosa akal sehat.

Pejabat publik seharusnya membangun relasi dengan rakyat berdasarkan asas pertanggungjawaban, akuntabilitas, dan etika pelayanan. Tetapi apa yang kita saksikan hari ini justru kebalikannya. Rakyat hanya menjadi figuran dalam panggung demokrasi, sementara para pemegang kekuasaan memainkan peran utama dalam drama kekuasaan yang menjauh dari esensi pelayanan.

Akibatnya, muncul pertanyaan yang semakin nyaring: siapa sebenarnya yang menjadi majikan dalam demokrasi ini? Apakah rakyat masih punya kendali, atau semuanya telah direbut oleh segelintir elit?

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Korupsi Merampas Rahmat

Kebobrokan semacam ini tak lagi bersifat abstrak. Ia mewujud nyata dalam deretan kasus korupsi yang mencoreng wajah republik. Ambil saja contoh terbaru: dugaan keterlibatan Bupati Pati, Sudewo, dalam aliran dana haram proyek pembangunan rel kereta. Dengan nilai mencapai Rp 3 miliar, uang itu konon telah dikembalikan. Namun, hukum bukanlah toko kelontong yang jika salah memberi kembalian, cukup dikembalikan lalu selesai.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tegas menyatakan bahwa pengembalian hasil kejahatan korupsi tidak menghapus unsur pidana. Jika seorang pencuri mengembalikan motor hasil curiannya, apakah ia otomatis mendapat pengampunan dan berfoto bersama aparat sebagai pahlawan?

Belum habis kabar buruk itu, muncul gejolak lain dari warga Pati yang memprotes kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250%. Ribuan orang turun ke jalan, menunjukkan bahwa suara rakyat masih ada, meski sering kali diabaikan. Mirisnya, di tengah jeritan rakyat kecil, pemerintah daerah justru sibuk menggelontorkan anggaran besar untuk proyek-proyek kosmetik seperti pembangunan jumbotron dan renovasi alun-alun. Ketimpangan prioritas ini mencerminkan betapa jauhnya kebijakan publik dari kebutuhan riil masyarakat.

Fenomena ini mengingatkan kita pada istilah yang penuh makna: rahmat yang terampas. Dana publik yang seharusnya menjadi berkah bagi rakyat, disalurkan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, malah diselewengkan demi ambisi politik, keuntungan pribadi, dan pencitraan semu. Korupsi, dalam konteks ini, bukan hanya kejahatan keuangan. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap tanggung jawab publik dan perampasan atas kasih sayang Tuhan yang seharusnya sampai ke tangan rakyat kecil.

Korupsi, jika kita pahami lebih dalam, bukan hanya soal mencuri uang negara. Ia adalah bentuk pengkhianatan spiritual. Uang yang diambil adalah nasi dari piring anak-anak miskin, buku dari tangan murid desa, dan obat dari pasien yang seharusnya disembuhkan. Ketika pejabat menggelapkan dana publik, mereka bukan hanya mencuri materi, tetapi turut menutup pintu rahmat yang Allah turunkan melalui jalur keadilan sosial.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pertanggungjawaban Pemimpin

Imam al-Ghazali dalam karya monumental Ihya’ Ulumiddin pernah menegaskan bahwa kerusakan rakyat merupakan refleksi dari kerusakan penguasa. “Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa.”  Pernyataan ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi sebuah peringatan tentang keterkaitan langsung antara kualitas kepemimpinan dan nasib suatu bangsa. Ketika pemimpin abai terhadap amanah, maka yang menderita adalah masyarakat. Rakyat hidup dalam ketidakpastian, hukum ditegakkan secara pilih kasih, dan kesejahteraan menjadi angan-angan yang kian jauh dari jangkauan.

Padahal, Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sabdanya, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari).

Namun banyak pemimpin hari ini lebih memilih menjadi penuntut pertanggungjawaban ketimbang pelaksana tanggung jawab. Pajak dinaikkan tanpa pertimbangan keadilan, pungutan digandakan tanpa transparansi, sementara mereka sendiri gagal menunjukkan teladan.

Skandal di Pati hanyalah puncak gunung es. Di tingkat nasional, kita menyaksikan skandal-skandal besar seperti dugaan korupsi di Pertamina yang nilainya mencapai hampir Rp 1.000 triliun. Jumlah itu mencerminkan kerusakan sistemik yang telah menyusup ke jantung birokrasi. Ironisnya, ketika negara lain berlomba menciptakan teknologi dan inovasi, kita justru terkenal karena kelincahan dalam menciptakan skema rumit untuk menilap uang rakyat.

Peran Kita Sebagai Rakyat

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Islam sebagai agama rahmat tidak hanya menawarkan tuntunan spiritual, tetapi juga mengajarkan prinsip integritas dan empati. Setiap bentuk kecurangan, sekecil apa pun, adalah bagian dari kezaliman yang menghalangi turunnya rahmat. Maka, melawan korupsi bukan hanya tugas penegak hukum, tetapi tanggung jawab moral setiap warga negara.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Sikap menolak gratifikasi, menghindari konflik kepentingan, serta berani berkata “tidak” terhadap praktik-praktik busuk dalam birokrasi adalah bagian dari jihad sosial yang sangat penting. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji” (HR. Ahmad). Maka, menjaga kejujuran adalah inti dari keimanan itu sendiri.

Sudah saatnya rakyat bangkit bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai agen perubahan. Diam adalah bentuk pembiaran. Jika kita terus memilih bungkam di tengah kezaliman, maka kita pun turut menandatangani kontrak atas hilangnya rahmat dari bumi ini.

Wallahu a’lam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement