tSURAU.CO – Kisah Inspiratif Sahabat Nabi Yang Tawadhu’. Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal, termasuk dalam menyikapi nikmat dunia. Salah satu akhlak mulia yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam adalah sikap tawadhu’ atau sikap rendah hati. Tawadhu’ berarti menyadari bahwa semua nikmat dan kelebihan hanyalah titipan Allah SWT, bukan hasil jerih payah manusia semata.
Rasulullah SAW sendiri adalah teladan utama dalam sikap ketawadhu’an. Beliau, meski sebagai manusia paling mulia dan pemimpin seluruh umat, namun hidup sederhana. Beliau sering duduk di antara para sahabat tanpa pembeda, bahkan turut membantu pekerjaan rumah tangga. Para sahabat dan sahabiyah kemudian mewarisi akhlak mulia Rasulullah ini.
Di masa kini, generasi Islam penting untuk mengetahui ataupun menjadikan contoh sifat tawadhu Rasulullah dan para sahabat. Tulisan ini akan menguraikan beberapa kisah inspiratif sahabat Nabi yang tawadhu’, yang dapat menjadi cermin bagi kita pada zaman modern kini.
Makna Tawadhu’ Dalam Islam
Secara bahasa, tawadhu’ berarti merendahkan diri. Namun, bukan berarti hina atau lemah, melainkan rendah hati tanpa kesombongan. Orang yang tawadhu’ tetap mulia, justru Allah akan mengangkat derajatnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, tawadhu’ merupakan jalan untuk meraih kemuliaan pada sisi Allah, baik dunia maupun akhirat.
Abu Bakar Ash-Shiddiq ; Khalifah Yang Kerendahan Hati
Abu Bakar r.a. adalah khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Meski memegang kedudukan tertinggi dalam pemerintahan Islam, ia tetap menampilkan kerendahan hati luar biasa.
Alkisah, ketika pertama kali menerima kedudukan sebagai khalifah, Abu Bakar berkata dalam khutbahnya:
“Wahai manusia, aku telah menerima amanah menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Jika aku berbuat salah, maka luruskanlah aku.”
Ucapan ini menunjukkan betapa tawadhu’nya Abu Bakar, meskipun ia adalah sahabat paling utama dan paling dicintai Nabi.
Bahkan, Abu Bakar sering memerah susu kambing untuk tetangga-tetangganya. Ketika menjadi khalifah, tetangganya khawatir ia tidak akan melakukannya lagi. Namun Abu Bakar menenangkan mereka:
“Aku tetap akan memerahkannya untuk kalian. Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan pekerjaan itu.”
Inilah bentuk tawadhu’ sejati, tidak merasa tinggi meskipun menjadi pemimpin besar.
Umar bin Khattab ; Pemimpin Yang Hidup Sederhana
Umar bin Khattab r.a. terkenal tegas dan berwibawa. Namun, di balik ketegasannya, ia sangat tawadhu’.
Suatu hari, Umar bin Khatab masuk ke pasar dengan memikul sendiri sekarung gandum di punggungnya. Para sahabat bertanya, “Mengapa engkau melakukan itu, wahai Amirul Mukminin, padahal engkau bisa menyuruh budak atau pengawalmu?”
Umar menjawab, “Aku ingin menundukkan diriku agar tidak ada kesombongan dalam hatiku.”
Selain itu, meski sebagai khalifah, Umar sering tidur di bawah pohon tanpa pengawal. Kerendahan hatinya membuat rakyatnya mencintainya, bahkan musuh pun segan kepadanya.
Utsman bin Affan ; Dermawan Yang Tidak Sombong
Utsman bin Affan r.a. adalah sahabat yang kaya raya. Ia menggunakan hartanya untuk kepentingan umat Islam, seperti membeli sumur, rumah dan mewakafkannya untuk kaum muslimin, serta membiayai persiapan perang Tabuk dengan ribuan unta.
Namun, meski dermawan, Utsman tetap tawadhu’. Ia tidak suka menonjolkan kebaikannya. Bahkan, ia sering menangis bila membaca Al-Qur’an dan mengingat akhirat.
Suatu ketika, orang-orang memujinya karena kedermawanannya. Utsman justru berkata, “Aku takut sekali, jangan sampai Allah tidak menerima amal ini, lalu aku termasuk orang-orang yang merugi.”
Ali bin Abi Thalib ; Singa Allah yang Tawadhu’
Ali bin Abi Thalib r.a. adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW. Ia terkenal sebagai singa Allah karena keberanian dan keilmuannya. Namun, meski memiliki kedudukan tinggi, Ali sangat tawadhu’.
Riwayat mengisahkan, ketika menjabat sebagai khalifah, Ali bin Abi Thalib sering berjalan di pasar hanya untuk memberi nasihat kepada pedagang agar jujur. Ia juga tidak segan-segan menjahit sendiri sandalnya yang sobek.
Suatu kali, ada seorang lelaki yang mencela Ali di hadapan umum. Ali tidak marah, malah berkata, “Jika benar apa yang engkau katakan, semoga Allah mengampuniku. Jika tidak benar, semoga Allah mengampunimu.”
Inilah ketawadhu’an yang membuat kawan maupun lawan menghormati Ali bin Abi Thalib.
Bilal bin Rabah ; Budak Yang Dimuliakan Allah
Bilal bin Rabah r.a. adalah budak Habasyi yang disiksa oleh tuannya karena keislamannya. Setelah merdeka, Rasulullah SAW mengangkatnya menjadi muazin pertama dalam Islam.
Meski mendapat kedudukan mulia, Bilal tetap tawadhu’. Ia tidak pernah merasa lebih tinggi dari sahabat lain. Bahkan ketika Umar bin Khattab berkata, “Abu Bakar adalah tuan kita, dan ia telah memerdekakan tuan kita, Bilal,” Bilal justru menunduk penuh rendah hati.
Kisah Bilal mengajarkan bahwa kemuliaan bukan terletak pada harta atau keturunan, melainkan pada iman, amal, dan ketawadhu’an.
Hikmah dari Kisah Tawadhu’ Sahabat
Dari kisah-kisah para sahabat di atas, kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting:
- Tawadhu’ tidak mengurangi kehormatan, justru menambah kemuliaan. Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khatab tetap dihormati meskipun mereka merendahkan diri.
- Nikmat dunia hanyalah titipan. Utsman bin Affan kaya raya, tetapi tetap rendah hati.
- Kerendahan hati harus mengiringi Ilmu dan kekuasaan. Ali bin Abi Thalib menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari kerendahan hati.
- Asal-usul bukan ukuran kemuliaan. Bilal bin Rabah, mantan budak, Allah memuliakan Bilal karena imannya dan ketawadhu’annya.
Relevansi Tawadhu’ Sahabat dengan Kehidupan Modern
Di zaman sekarang, banyak orang berlomba-lomba menunjukkan kesuksesan, kekayaan, atau kepandaian di media sosial. Hal ini rentan melahirkan kesombongan.
Belajar dari sahabat Nabi Muhammad SAW, kita mengambil nilai belajar untuk selalu tawadhu’ dalam setiap kondisi. Jika memiliki harta, gunakan untuk membantu sesama. Saa punya ilmu, ajarkan dengan rendah hati. Jika punya jabatan, gunakan untuk menegakkan keadilan, bukan kesombongan.
Ketawadhu’an adalah akhlak mulia warisan Rasulullah kepada para sahabatnya. Abu Bakar dengan kelembutan dan kesederhanaannya, Umar dengan ketegasan namun penuh rendah hati, Utsman dengan kedermawanannya, Ali dengan keberanian dan ilmunya, serta Bilal dengan keikhlasan dan kerendahan dirinya, semuanya adalah teladan bagi kita.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa tawadhu’ adalah jalan menuju kemuliaan sejati. Semoga kita mampu meneladani sikap tawadhu’ para sahabat Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nikmat yang kita miliki selalu menjadi berkah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
