Sejarah hukum menstruasi (haidh) dalam Islam adalah kisah panjang tentang bagaimana para ulama berusaha menyeimbangkan antara kesucian ritual dan kehidupan sosial. Pada masa awal pembentukan hukum Islam, terutama antara abad ke-8 hingga ke-12, para ahli fikih dan penafsir Al-Qur’an tidak hanya bertumpu pada teks, tetapi juga membaca realitas masyarakat di sekitarnya.
Mengacu pada karya Tobias Scheunchen berjudul From Body to Substance: Islamic Menstruation Laws in the Shadow of Late Antiquity?, tulisan ini mencoba menelusuri bagaimana ulama Islam membangun logika baru bahwa darah haid adalah substansi pencemar, bukan tubuh perempuan secara keseluruhan. Transformasi konsep ini lahir di tengah tradisi hukum kuno akhir.
Tradisi Kuno dan Posisi Islam sebagai Jalan Tengah
Saat ayat-ayat tentang haid turun, praktik sosial di Jazirah Arab sangat beragam. Kaum Yahudi dan penganut Zoroastrianisme menerapkan aturan ketat: perempuan haid dilarang tinggal di rumah, menyentuh perabot, bahkan didudukkan di tempat terasing. Sebaliknya, sebagian orang Kristen saat itu justru terlalu longgar, sampai tetap melakukan hubungan seksual bersama perempuan haid.
Islam muncul dengan identitas sebagai ummatan wasaṭan, umat pertengahan. Para ulama menggunakan prinsip mukhālafah — mencari jalan berbeda dari ekstremitas yang berlaku. Di sinilah terjadi perubahan besar: mereka menyimpulkan bahwa yang najis bukan tubuh perempuan, tetapi darahnya sebagai substansi. Pergeseran ini menjadi kritik sekaligus perbedaan mendasar dengan hukum rabinik yang menganggap tubuh perempuan haid itu sendiri sebagai najis.
Kalau najis hanya melekat pada darah, maka interaksi sosial tetap bisa berjalan. Perempuan masih boleh makan bersama keluarga dan tetap berada di rumah. Beberapa riwayat menyebutkan Aisyah RA tetap tidur di dekat Rasulullah SAW selama ia memakai kain pembatas. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengucilkan perempuan saat menstruasi, tetapi hanya menjaga batas-batas ibadah ritual.
Batasan Ritual dan Kelonggaran Sosial
Aturan praktiknya menjadi jelas: perempuan haid tidak boleh salat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau melakukan hubungan seksual melalui vagina. Namun, mereka masih boleh berdagang, mengajar, berinteraksi sosial, bahkan bercumbu selama tidak melakukan jima’ vaginal. Ulama membedakan tegas antara larangan ibadah dan ruang sosial.
Para mufassir juga menafsirkan kata al-mahīd dalam Al-Qur’an sebagai tempat darah, bukan masa haid. Ini membatasi larangan hanya pada organ reproduksi, bukan seluruh tubuh perempuan. Penafsiran ini menjaga kedekatan emosional pasangan, sambil tetap mematuhi batas ritual.
Islam dan Martabat Perempuan
Dari proses ini tampak jelas: hukum haid dalam Islam bukan menjadi agenda pengucilan, tetapi upaya menjaga kesucian tanpa merendahkan perempuan. Islam menolak pandangan bahwa perempuan haid adalah makhluk najis, dan memberikan ruang agar mereka tetap menjalani kehidupan sosial.
Larangan yang ada bersifat terbatas dan rasional, bukan isolasi total. Inilah yang membedakan hukum Islam dari tradisi ekstrem lain pada masa Late Antiquity — baik yang terlalu keras maupun terlalu bebas.
Hukum menstruasi, pada akhirnya, adalah bagian dari agenda intelektual ulama untuk menegosiasi batas tubuh, ruang sosial, dan kesakralan. Fikih haid bukan hanya aturan ibadah, tetapi cermin bagaimana Islam membangun tatanan sosial yang adil dan manusiawi. Ia menjadi salah satu kontribusi penting Islam dalam memahami tubuh, kebersihan, dan martabat perempuan dalam ruang sosial.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
