Opinion
Beranda » Berita » Nasehat Tentang Lidah dan Aib Sesama

Nasehat Tentang Lidah dan Aib Sesama

Nasehat Tentang Lidah dan Aib Sesama

NASEHAT TENTANG LIDAH DAN AIB SESAMA.

Kita hidup di tengah masyarakat yang penuh warna, di mana setiap orang memiliki perjalanan, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Namun, sering kali kita lebih peka terhadap kekurangan orang lain ketimbang menyadari kelemahan diri sendiri. Sebagaimana pesan indah yang tertulis pada gambar di atas:

“Memang lebih mudah melihat kusutnya pakaian orang lain daripada melihat sobeknya pakaian sendiri. Tahanlah lidahmu untuk tidak menceritakan kekurangan dan aib orang lain, karena kamu juga memiliki kekurangan dan orang lain juga bisa berbicara tentangmu.

Lidah: Kecil tapi Berbahaya

Lidah hanyalah sepotong daging kecil, namun darinya bisa keluar ucapan yang membawa kebaikan atau kehancuran. Dengan lidah kita bisa menebar salam, doa, dan ilmu yang bermanfaat. Tetapi dengan lidah pula kita bisa menyakiti hati, membuka aib, bahkan merusak hubungan yang sudah terjalin lama.

Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Mudah Menilai Orang, Sulit Menyadari Diri: Kita sering lebih cepat melihat kesalahan orang lain, padahal diri sendiri tidak luput dari kekhilafan. Bagai melihat noda di baju orang lain, sementara sobekan besar di pakaian kita sendiri luput dari perhatian. Inilah sifat manusia: cenderung menghakimi sebelum bercermin.

Aib: Rahasia yang Harus Dijaga

Setiap manusia pasti memiliki aib. Bila kita membuka aib orang lain, jangan heran jika suatu hari Allah membuka aib kita di hadapan manusia. Sebaliknya, siapa yang menutupi aib saudaranya, Allah akan menutupi aibnya kelak di dunia maupun akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Belajar Menahan Diri: Menjaga lisan bukan perkara mudah. Tetapi, melatih diri untuk tidak mudah berkomentar buruk adalah bagian dari akhlak mulia. Saat kita tergoda untuk membicarakan orang lain, ingatlah: “Aku juga punya kekurangan, dan orang lain juga punya lidah.” Bisa jadi ucapan kita berbalik menjadi fitnah yang lebih besar.

Penutup: Jagalah Lisan dan Tutupilah Aib Saudara

Marilah kita gunakan lidah untuk menebar kebaikan, bukan membuka aib. Sebab setiap kata akan tercatat, dan setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban. Jagalah lisan, tutupilah aib saudara kita, dan sibukkan diri dengan memperbaiki kekurangan diri sendiri.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Cukuplah seseorang dianggap buruk akhlaknya ketika ia suka menceritakan aib saudaranya.” (Imam Nawawi rahimahullah)

Mari kita mulai dari diri sendiri: lebih banyak diam, lebih banyak istighfar, dan lebih banyak menebar kebaikan.

 

 


 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

UANG KOIN: JEJAK SEJARAH EKONOMI INDONESIA.

Bagi sebagian orang, koin logam hanyalah uang receh yang sering terselip di laci, tergeletak di lantai, atau ditinggalkan begitu saja di meja warung kopi. Namun, bila ditelusuri lebih dalam, koin-koin itu menyimpan kisah panjang perjalanan ekonomi, budaya, dan bahkan memori kehidupan masyarakat Indonesia.

Simbol Perjalanan Zaman: Dalam foto terlihat berbagai jenis koin Rupiah, mulai dari pecahan Rp100, Rp500, hingga Rp50 yang berbahan kuningan. Koin-koin ini bukan sekadar alat tukar, melainkan representasi era tertentu dalam sejarah ekonomi bangsa.

Koin Rp100 bergambar rumah gadang dan kakaktua jambul kuning pernah menjadi sahabat setia anak-anak sekolah dasar tahun 90-an untuk membeli jajanan di kantin.

Koin Rp500 berwarna kuning dengan gambar bunga melati begitu identik dengan masa ketika harga bakso atau gorengan masih sangat terjangkau.

Bahkan koin Rp50 kecil yang kini jarang sekali ditemukan, dahulu pernah memiliki daya beli nyata: cukup untuk membeli permen atau es lilin.

Nilai Historis dan Nostalgia: Bagi kolektor numismatik, koin lama memiliki nilai sejarah yang tinggi. Setiap desain yang tercetak di permukaannya mencerminkan identitas bangsa, mulai dari flora, fauna, hingga lambang negara Garuda Pancasila. Sementara bagi masyarakat umum, koin-koin ini membawa nostalgia. Siapa yang tak rindu masa kecil ketika masih bisa jajan hanya dengan beberapa keping logam.

Pelajaran Ekonomi dan Inflasi

Kehadiran koin juga mengingatkan kita pada realitas ekonomi: nilai uang yang terus berubah akibat inflasi. Koin Rp100 yang dulu bisa membeli banyak barang, kini mungkin tak lagi dipandang berharga. Namun, di situlah letak hikmahnya: kita belajar bahwa harta benda di dunia ini bersifat fana dan tidak kekal. Islam mengajarkan agar harta digunakan dengan bijak, tidak berlebihan, serta dibarengi dengan sedekah sebagai bentuk syukur kepada Allah.

Renungan Kehidupan. Koin-koin ini seakan berpesan: “Kami dulu bernilai, sekarang mungkin dianggap sepele. Begitu pula manusia, akan mengalami masa jaya dan masa redup. Yang abadi hanyalah amal shalih.” Artinya, jangan sampai kita terjebak mengejar dunia semata, karena nilai sejati manusia bukan pada harta yang ia kumpulkan, melainkan pada kebaikan yang ia lakukan.

Penutup: Kumpulan koin ini lebih dari sekadar logam kecil. Ia adalah saksi bisu perjalanan bangsa, pengingat akan perubahan zaman, sekaligus cermin bagi kita untuk menata kembali pandangan terhadap harta dan kehidupan.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261). (Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement