Ibadah
Beranda » Berita » Apakah Tawasul Kepada Nabi Sampai?

Apakah Tawasul Kepada Nabi Sampai?

Apakah Tawasul Kepada Nabi Sampai?
Ilustrasi Bertawasul Kepada Nabi Muhammad SAW. Sumer Foto: Meta AI

SURAU.CO – Dalam tradisi Islam, umat senantiasa berdoa untuk menyampaikan hajat kepada Allah. Banyak doa yang diawali dengan tawassul melalui Nabi Muhammad ﷺ, para wali, atau orang-orang saleh. Dengan cara ini, mereka berharap doa lebih cepat terkabul karena membawa perantara yang mulia di sisi Allah. Namun, sebagian kalangan beranggapan tawassul kepada Nabi hanya berlaku ketika dia masih hidup. Setelah wafat, mereka menganggap Nabi tidak lagi mendengar atau memberi syafaat.

Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, ulama besar Masjidil Haram, menolak anggapan itu dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushohha. Beliau menegaskan bahwa keyakinan yang membatasi tawassul hanya ketika Nabi hidup tidak memiliki dasar. Justru banyak dalil dan riwayat yang membuktikan bahwa ruh tetap hidup, mampu merasakan, bahkan berinteraksi dengan umatnya. Terlebih lagi, ruh Nabi Muhammad ﷺ yang memiliki derajat paling mulia.

Ruh Tetap Hidup: Pandangan Ahlussunnah wal Jamaah

Ulama Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa kematian hanya memutus hubungan ruh dengan jasad. Imam al-Baihaqi dalam al-I’tiqad menegaskan bahwa ruh orang beriman tetap hidup. Ruh itu merasakan nikmat dan azab serta mendengar salam dari orang yang menziarahinya.

Sayyid Al-Maliki menjelaskan bahwa ruh bersifat abstrak. Pancaindra memang tidak bisa meraba ruh, tapi mata hati yang tajam dapat merasakannya. Nabi Muhammad ﷺ sendiri pernah menunjukkan hal itu. Dalam sejarah sahih, beliau memanggil orang-orang Quraisy yang mati dalam Perang Badar: `Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, dan Abu Jahl. Nabi bertanya kepada mereka, “Apakah kalian sudah melihat apa yang dijanjikan Allah itu benar?” Para sahabat merasa heran. Nabi pun berkata, “Mereka mendengar ucapanku, hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika ruh orang kafir saja masih mendengar, maka ruh Nabi ﷺ tentu lebih mampu mendengarkan dan menjawab salam dari umatnya, jelas baginya kondisi umatnya, memintakan ampunan dan memuji kepada Allah atas kebaikan-kebaikan yang dilakukan umatnya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Tawassul dalam Pandangan Ulama

Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak salam kepada Nabi ﷺ, karena beliau mendengar dan membalas salam itu. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam melainkan Allah mengembalikan ruhku membelinya hingga aku membalas salam itu.”

Dengan dasar ini, Sayyid Al-Maliki menegaskan bahwa umat tetap bisa bertawassul kepada Nabi setelah wafatnya. Apalagi para sahabat sudah melakukannya. Ketika masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi kekeringan, seorang sahabat bernama Bilal bin al-Harits mendatangi makam Nabi dan berkata: “Ya Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu.” Tidak lama kemudian, hujan turun. Imam al-Baihaqi meriwayatkan peristiwa ini dalam Dala’il an-Nubuwwah.

Mata Hati: Kunci Memahami Hakikat Ruh

Sayyid Al-Maliki menekankan bahwa manusia tidak cukup bernilai hanya karena hidup secara jasmani. Banyak orang yang memang hidup, tetapi mata hatinya tertutup oleh kesombongan sehingga tidak memberi manfaat. Sebaliknya, meskipun jasad seseorang sudah tiada, ruhnya tetap mulia, memberi manfaat, dan menjadi perantara doa.

Mata hati merupakan kemampuan batin yang membuat seseorang merasakan kebenaran yang tidak kasatmata. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut mata hati sebagai cermin jiwa yang menangkap cahaya Ilahi. Dengan kejernihan hati, seseorang bisa memahami hakikat ruh, tawassul, dan kedekatan dengan Allah melalui para kekasih-Nya.

Konteks Generasi Milenial

Lalu bagaimana generasi milenial memahami ketajaman mata hati ini?

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Generasi hari ini tumbuh dalam derasnya arus informasi digital. Mereka sering mengukur segala sesuatu dengan logika rasional dan bukti empiris. Oleh karena itu, mereka cenderung menolak hal yang tidak kasatmata. Padahal, Islam mengajarkan bahwa ada dimensi batiniah yang tidak terjangkau ilmu pengetahuan, tetapi bisa dirasakan oleh hati yang jernih.

Generasi milenial perlu menajamkan mata hati agar tidak terjebak dalam materialisme. Mereka bisa melakukannya dengan beberapa cara:

  1. Memperbanyak dzikir dan shalawat – dengan cara ini hati tetap hidup, peka, dan terhubung dengan Nabi ﷺ.
  2. Menghormati tradisi ulama – tawassul bukan sekedar kebiasaan, melainkan warisan Ahlussunnah yang berdasar kuat.
  3. Menggabungkan logika sehat dan hati lembut – generasi modern membutuhkan teknologi, tetapi juga memerlukan kepekaan spiritual.
  4. Menjaga adab dan cinta kepada Nabi ﷺ – karena cinta membuka pintu keberkahan doa.

Kesimpulan

Tawassul kepada Nabi ﷺ setelah wafat tetap sampai dan tidak terputus. Hadis dan riwayat sahabat menunjukkan bahwa ruh Nabi hidup, mendengar, dan mendoakan umatnya. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki melalui Mafahim Yajibu an Tushohha berasumsian keliru yang membatasi tawassul hanya pada masa hidup Nabi.

Bagi generasi milenial, pesan pentingnya terletak pada tajamnya mata hati. Di tengah modernitas, mereka harus menjaga kejernihan hati untuk memahami hakikat spiritual, termasuk keyakinan terhadap keberkahan tawassul. Dengan hati yang bening, mereka tidak hanya merasa dekat dengan Rasulullah ﷺ dalam doa, namun juga meneladani akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Referensi:

  • Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushohha .
  • Imam al-Baihaqi, Dala’il an-Nubuwwah.
  • Imam an-Nawawi, al-Adzkar.
  • Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement