SURAU.CO. Upaya toleransi Abdurrahman Wahid atau yang akrab dikenal sebagai Gus Dur telah menginspirasi bangsa Indonesia dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Sosoknya tidak hanya berperan sebagai Presiden Republik Indonesia keempat, tetapi juga menjadi tokoh yang konsisten membela kesetaraan warga negara. Sejak muda, Gus Dur aktif mengembangkan dialog lintas iman, menghormati perbedaan, dan menolak segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Dengan pandangan yang terbuka, ia membangun jembatan persaudaraan di tengah masyarakat yang majemuk.
Selain itu, Gus Dur selalu menekankan bahwa toleransi bukan hanya wacana, melainkan tindakan nyata yang harus dihidupkan dalam kebijakan, perilaku, dan sikap sosial. Pandangan ini menjadikan dirinya tokoh yang disegani tidak hanya di kalangan umat Islam, tetapi juga di mata masyarakat lintas agama, bahkan di dunia internasional.
Latar Belakang Pemikiran Toleransi Gus Dur
Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga ulama besar Nahdlatul Ulama (NU). Lingkungan keluarganya menanamkan nilai-nilai Islam moderat sejak dini. Pergaulannya meluas hingga melibatkan orang dari berbagai agama dan budaya. Ketika menempuh pendidikan di Timur Tengah dan Eropa, wawasan toleransinya semakin berkembang. Dari pengalaman itu, ia memandang bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan aset yang memperkaya kehidupan bangsa.
Pendidikan yang ia jalani tidak sekadar memperdalam ilmu agama, melainkan juga membuka mata terhadap tantangan sosial yang dihadapi masyarakat global. Dengan kemampuan bahasa asing yang baik, Gus Dur mengakses berbagai literatur internasional yang memperluas pemikirannya. Oleh sebab itu, ia memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu-isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kebebasan beragama.
Upaya Toleransi Abdurrahman Wahid dalam Menghapus Diskriminasi
Langkah penting yang dilakukan Gus Dur adalah menghapus kebijakan diskriminatif dari masa Orde Baru. Pada tahun 2000, ia mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang membatasi budaya Tionghoa di ruang publik. Keputusan ini memungkinkan masyarakat Tionghoa merayakan Imlek secara terbuka. Tindakan tersebut tidak sekadar mengembalikan hak budaya, tetapi juga menegaskan prinsip bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk mengekspresikan identitasnya tanpa rasa takut.
Selain itu, ia mengembalikan agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Kebijakan ini menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan hak setara bagi semua kelompok. Dengan demikian, Gus Dur menunjukkan bahwa toleransi harus diterjemahkan menjadi kebijakan yang melindungi keberagaman.
Mendorong Dialog Antaragama dan Perdamaian Sosial
Upaya toleransi Abdurrahman Wahid juga tercermin dalam dukungannya terhadap dialog antaragama. Ia sering mengundang pemuka agama dari berbagai keyakinan untuk berdiskusi membahas isu kebangsaan. Melalui forum ini, ia membangun pemahaman bersama antara umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Tidak hanya mengandalkan pertemuan formal, Gus Dur juga hadir secara langsung di tengah masyarakat. Ia datang ke Maluku dan Poso saat konflik bernuansa agama memanas. Kehadirannya di lokasi konflik bukan sekadar simbolis, melainkan langkah nyata untuk mendorong perdamaian. Dengan pendekatan yang mengutamakan nilai kemanusiaan, ia mampu meredakan ketegangan dan mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk berdialog.
Pembelaan terhadap Kelompok Minoritas
Keberanian Gus Dur terlihat jelas ketika membela hak kelompok yang sering terpinggirkan, termasuk Ahmadiyah dan komunitas adat. Ia meyakini bahwa negara harus melindungi seluruh warganya tanpa memandang keyakinan. Menurutnya, menegakkan toleransi berarti menegakkan keadilan bagi semua.
Bahkan ketika banyak pihak menentang pandangannya, Gus Dur tetap berpegang pada prinsip kemanusiaan. Ia tidak membiarkan tekanan politik mengubah pendiriannya. Baginya, menjaga keberagaman berarti menjaga keutuhan bangsa. Sikap inilah yang membuatnya dijuluki sebagai Bapak Toleransi Indonesia.
Warisan Toleransi yang Terus Hidup
Meskipun Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009, gagasan toleransinya tetap hidup. Lembaga seperti Wahid Foundation melanjutkan misinya untuk memperkuat toleransi dan perdamaian di Indonesia. Nilai yang ia wariskan yaitu menghargai perbedaan, menolak diskriminasi, dan melindungi hak semua orang yang terus menjadi rujukan generasi muda.
Warisan itu juga terasa dalam kebijakan pemerintah dan gerakan masyarakat sipil yang mengedepankan pluralisme. Banyak generasi muda yang menjadikan Gus Dur sebagai inspirasi dalam mengembangkan program lintas agama dan kampanye anti-diskriminasi.
Meneladani Upaya Toleransi Abdurrahman Wahid
Upaya toleransi Abdurrahman Wahid bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga teladan yang relevan untuk masa kini. Dengan menempatkan kemanusiaan di atas identitas agama atau etnis, Gus Dur membuktikan bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, sikap ini menjadi kunci terciptanya kedamaian.
Meneladani Gus Dur berarti berani bersikap terbuka, adil, dan menghargai perbedaan, meskipun hal tersebut kadang tidak populer. Jika setiap pemimpin dan warga negara mampu mengamalkan nilai-nilai toleransi ini, Indonesia dapat terus berdiri kokoh sebagai bangsa yang damai dan bersatu
Artikel lainnya dari Vio Surau.co
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
