Ketika Dunia Tidak Lagi Berharga: Memahami Hakikat Kehidupan yang Fana
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ اهْتَدَى الْمُهْتَدُونَ، وَبِعَدْلِهِ ضَلَّ الضَّالُونَ وَأَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الْمَأْمُونَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِينَ هُمْ بِهَدْيِهِ مُسْتَمْسِكُونَ أَمَّا بَعْدُ
SURAU.CO – Setiap insan yang beriman harus memiliki kesadaran penuh. Kesadaran untuk mengerti tentang hakikat kehidupan dunia dan akhirat. Dunia bagi seorang mukmin bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah sebuah tempat persinggahan yang fana dan sementara. Posisinya tak ubahnya seperti seorang musafir yang sedang dalam perjalanan. Ia berhenti sejenak untuk beristirahat. Namun, ia tahu pasti bahwa ia akan segera melanjutkan perjalanan pulang. Semua yang ada di dunia ini pada akhirnya akan berakhir. Kematian dan hari kiamat akan menjadi penutup dari segala cerita. Segala sesuatu yang kita kumpulkan dengan susah payah. Semua yang kita miliki dan banggakan akan menjadi hak bagi para ahli waris.
Sementara itu, kita sendiri akan kembali menuju dunia keabadian. Kita akan menghadap Sang Pencipta seorang diri. Kita hanya akan membawa bekal yang kita siapkan sendiri. Bekal itu berbentuk investasi amal saleh selama hidup di dunia. Oleh karena itu, Islam senantiasa mengingatkan kita. Agar kita tidak terjebak dalam panggung sandiwara. Agar kita tidak terperdaya oleh permainan dunia yang penuh tipu daya. Sebagaimana Allah SWT telah menegaskan hal ini dalam banyak ayat. Salah satunya adalah dalam Surah Al-Hadid ayat 20.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَهُوَ وَزِيْنَةٌ وَتَفَاخُرُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Panggung Sandiwara Dunia yang Penuh Tipu Daya
Ayat di atas adalah sebuah diagnosis ilahi yang sangat akurat. Allah membongkar hakikat kehidupan dunia lapis demi lapis. Pertama, dunia disebut sebagai la’ibun wa lahwun, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Seperti anak kecil yang asyik dengan permainannya. Mereka lupa waktu, lupa makan, dan lupa segalanya. Begitulah banyak manusia terbuai oleh dunia. Mereka sibuk mengejar kesenangan sesaat hingga lupa pada tujuan penciptaan mereka. Kemudian, dunia adalah zinatun, sebuah perhiasan. Ia tampak indah dan memukau mata. Namun, keindahannya semu dan tidak akan bertahan lama.
Selanjutnya, Allah menyebut dunia sebagai ajang tafakhur dan takatsur. Ajang untuk saling bermegah-megahan dan berlomba memperbanyak harta serta anak. Bagi saya, ini adalah gambaran paling relevan dengan zaman modern. Media sosial menjadi panggung utama untuk memamerkan kekayaan. Orang-orang berlomba menunjukkan pencapaian duniawi mereka. Semua itu dilakukan demi validasi dan pengakuan dari orang lain. Mereka lupa bahwa semua itu hanyalah fatamorgana. Allah kemudian memberikan perumpamaan yang sangat indah. Dunia ini laksana tanaman yang tumbuh subur setelah diguyur hujan. Para petani begitu takjub melihatnya. Namun, tak lama kemudian, tanaman itu menjadi kering. Warnanya berubah menjadi kuning, lalu akhirnya hancur menjadi serpihan tak berharga. Itulah siklus kehidupan dunia. Ia mekar sejenak, lalu layu dan musnah selamanya. Di ujung perjalanan, hanya ada dua pilihan di akhirat. Azab yang pedih, atau ampunan serta ridha dari Allah.
Cermin Kematian di Hadapan Singgasana Kekuasaan
Kehidupan dunia memang dapat menipu siapa saja. Terutama bagi mereka yang hatinya mudah tertipu oleh gemerlapnya. Namun, ada satu kepastian yang tidak bisa ditawar. Hari itu pasti akan terjadi bagi siapa pun. Usia muda bukanlah jaminan untuk menundanya. Gelar akademik dan tumpukan kekayaan tidak bisa menghalanginya. Banyaknya teman dan pasukan tidak akan mampu mengubah takdirnya. Hari itu adalah hari kematian bagi setiap anak manusia. Sebuah kisah agung dari masa lalu memberikan pelajaran berharga.
Suatu hari, seorang khalifah yang saleh dan berkuasa, Harun Ar-Rasyid, pergi berburu. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan seorang lelaki bijak bernama Bahlul. Harun berkata, “Berilah aku nasihat, hai Bahlul!” Lelaki itu kemudian bertanya dengan sangat sederhana, “Wahai Amirul Mukminin, di manakah bapak dan kakekmu sejak dari Rasulullah hingga bapakmu?” Harun menjawab, “Semuanya telah mati.” Bahlul bertanya lagi, “Di manakah istana mereka?” Harun menunjuk, “Itu istana mereka.” “Lalu di mana kubur mereka?” tanya Bahlul. “Ini, di sini kubur mereka,” jawab Harun. Bahlul kemudian berkata dengan kalimat yang menusuk, “Di situ istana mereka, di sini kubur mereka. Bukankah sekarang istana itu sedikit pun tidak memberi manfaat bagi mereka?“
Harun tertegun dan berkata, “Kamu benar. Tambahlah nasihatmu, hai Bahlul!” Bahlul melanjutkan, “Wahai Amirul Mukminin, engkau diberi kuasa atas perbendaharaan dunia. Engkau juga diberi umur yang panjang. Namun, apa yang dapat kau lakukan? Bukankah kubur adalah perhentian terakhir bagi setiap yang hidup?” Setelah percakapan itu, Harun pulang dan jatuh sakit. Saat ajalnya mendekat, ia berteriak kepada para pegawainya, “Kumpulkan semua tentaraku.” Ribuan prajurit datang lengkap dengan pedang dan perisainya. Melihat pasukannya yang begitu besar, Harun menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berkata, “Wahai Zat Yang tidak pernah kehilangan kekuasaan, kasihanilah hamba-Mu yang telah kehilangan kekuasaan ini.” Tangisan itu tidak berhenti hingga ajal mencabut nyawanya. Kisah ini adalah pengingat yang sangat kuat. Bahwa di hadapan kematian, mahkota seorang raja tidak lebih berharga dari kain kafan seorang fakir.
Memilih Bekal Abadi di Persinggahan yang Fana
Demikianlah kematian akan mengakhiri semua drama kehidupan dunia. Ia menutup semua cerita dengan segala warna dan dinamikanya. Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ia adalah gerbang awal menuju kehidupan yang sebenarnya. Awal dari kenikmatan abadi atau penderitaan tiada henti. Bagi orang-orang saleh yang telah mempersiapkan diri, kematian adalah kabar gembira. Ia adalah awal dari kenikmatan hakiki yang akan mereka rasakan selamanya.
Sebaliknya, bagi hamba yang durhaka, kematian adalah sebuah prahara. Ia adalah musibah besar yang memilukan tanpa batas. Pada saat itu, tidak ada satu pun yang mampu menyelamatkan. Tidak ada harta, jabatan, maupun keluarga. Kecuali satu hal, yaitu amal saleh yang kita lakukan selama di dunia. Masing-masing dari kita akan merasakan balasan atas amal perbuatannya. Sungguh, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh para hamba-Nya. Oleh karena itu, selagi masih ada waktu, mari kita fokus mempersiapkan bekal. Bekal terbaik untuk perjalanan panjang menuju keabadian.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
