Kalam
Beranda » Berita » Bukti Kecintaan Mukmin: Melampaui Kata, Menuju Ketaatan Nyata

Bukti Kecintaan Mukmin: Melampaui Kata, Menuju Ketaatan Nyata

Ilustrasi yang dibuat oleh AI (Beragama Sesuai dengan Syari'at)

Bukti Kecintaan Mukmin: Melampaui Kata, Menuju Ketaatan Nyata

SURAU.CODalam relung hati setiap insan beriman, cinta adalah puncaknya. Mencintai Allah dan Rasul-Nya merupakan syarat mutlak. Syarat ini menjadi penentu kebenaran iman seseorang. Tanpa cinta, iman hanyalah pengakuan hampa di lisan. Ia menjadi sebuah kebohongan yang menipu diri sendiri. Sebaliknya, cinta tanpa adanya pembuktian nyata adalah kemunafikan. Ia laksana pohon rindang yang tidak pernah berbuah. Oleh karena itu, Islam memberikan sebuah standar yang sangat jelas. Bukti cinta sejati kita kepada Allah adalah dengan mengikuti Rasulullah SAW. Kita harus menjadikannya sebagai rujukan utama dan teladan paripurna. Teladan ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Allah SWT sendiri telah mengabadikan standar ini dalam firman-Nya.

قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ( قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلْوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Artinya: “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa dosamu Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32).

Ittiba’ Rasulullah sebagai Ujian Ketulusan Cinta

Ayat di atas merupakan sebuah barometer ilahi yang sangat kuat. Ia menjadi pemisah antara pengakuan cinta yang tulus dengan yang palsu. Perhatikanlah bagaimana Allah memulai ayat ini dengan kata “Jika”. Ini adalah sebuah tantangan, sebuah ujian bagi setiap jiwa yang mengaku cinta. Allah tidak serta-merta menerima pengakuan kita. Sebaliknya, Dia memberikan sebuah syarat yang sangat konkret, yaitu fattabi’uni (ikutilah aku). Perintah ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya. Artinya, jalan untuk meraih cinta Allah hanyalah melalui satu pintu. Pintu itu adalah dengan mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW.

Mengikuti Rasulullah, atau yang dikenal dengan istilah ittiba’, bukanlah sekadar mengagumi sosoknya. Ia jauh lebih dalam dari itu. Ittiba’ adalah sebuah komitmen untuk meneladani sunnah-sunnahnya. Baik dalam urusan ibadah, akhlak, muamalah, maupun cara pandang terhadap kehidupan. Bagi saya, ayat ini adalah sebuah cermin yang sangat jujur. Ia memaksa kita semua untuk melakukan introspeksi mendalam. Apakah cinta kita hanya sebatas perayaan maulid? Ataukah sudah terwujud dalam amalan dan kebiasaan sehari-hari? Jawaban dari ayat ini sangat jelas. Ketika kita benar-benar mengikuti Rasulullah, Allah menjanjikan dua balasan luar biasa. Pertama, yuhbibkumullah, yakni Allah akan balik mencintai kita. Kedua, Allah akan mengampuni dosa-dosa kita. Cinta dari Allah adalah anugerah tertinggi, dan ia hanya bisa diraih dengan bukti ketaatan.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Saat Cinta pada Allah Melebihi Segalanya

Ketika seseorang telah benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, sebuah perubahan besar akan terjadi. Ia akan dengan mudah mendahulukan apa saja yang Allah dan Rasul-Nya kehendaki. Ia akan meletakkannya di atas segala kehendak lainnya. Prioritas ini berlaku sekalipun harus berhadapan dengan kehendak orang yang paling ia cintai. Bahkan, jika itu adalah orang tuanya sendiri. Prinsip ini bukan sekadar teori indah di atas kertas. Sejarah Islam telah mencatat banyak sekali teladan nyata. Salah satu kisah yang paling menggugah adalah kisah sahabat mulia Sa’d bin Abi Waqqash. Beliau memeluk Islam saat usianya masih sangat muda, yakni 17 tahun. Beliau juga termasuk dalam golongan As-Sabiqunal Awwalun, orang-orang pertama yang masuk Islam.

Sa’d adalah seorang anak yang dikenal sangat berbakti dan menghormati ibunya. Namun, ketika Sa’d bin Abi Waqqash masuk Islam, ibunya sangat tidak menyetujuinya. Sang ibu lantas menyuruh Sa’d untuk meninggalkan agama barunya. Ibunya bahkan memberikan ancaman yang sangat berat. “Wahai Sa’d, agama apa yang kamu peluk? Sekarang kau harus memilih, kembali kepada agama nenek moyangmu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati?” Menghadapi ultimatum ini, Sa’d hanya berkata dengan lembut namun tegas, “Jangan kau lakukan itu, wahai Ibu. Aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.”

Ibunya pun benar-benar melaksanakan ancamannya. Ia mogok makan dan minum selama berhari-hari. Hingga pada hari ketiga, kondisi ibunya sudah sangat payah dan mengkhawatirkan. Orang-orang kemudian menjemput Sa’d dan menghadapkannya pada sang ibu. Di saat yang sangat kritis itulah, Sa’d mengucapkan kalimat legendarisnya. “Demi Allah, jika ibu mempunyai seribu nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan meninggalkan agama Islam ini.” Melihat tekad baja anaknya yang tidak bisa ditawar lagi, sang ibu akhirnya mengalah. Ia pun kembali makan dan minum seperti biasa. Pilihan Sa’d adalah sebuah pelajaran abadi. Ia mengajarkan kita tentang prioritas iman. Terkadang, ketaatan menuntut pengorbanan yang paling berat.

Menuai Buah Manis dari Kecintaan yang Tulus

Apa yang dilakukan oleh Sa’d bin Abi Waqqash adalah cerminan sempurna. Cerminan dari keimanan yang benar dan kecintaan sejati kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikapnya adalah manifestasi langsung dari sabda Rasulullah SAW. “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pengorbanan besar Sa’d tidak pernah sia-sia. Allah memberikan berbagai kemuliaan kepadanya sebagai buah dari kecintaannya yang tulus. Salah satu kemuliaan terbesar yang Allah berikan adalah doanya selalu terkabulkan. Selain itu, di bawah kepemimpinannya, pasukan Islam berhasil menaklukkan ibu kota Persia, Mada’in. Dengan penaklukan itu, runtuhlah simbol kekuasaan Persia yang musyrik. Sebuah bangsa penyembah api yang telah bertahan selama ratusan tahun.

Riyadus Shalihin: Buku Panduan Kecerdasan Emosional (EQ) Tertua Dunia


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement