Islam dan Interaksi Antaragama: Membangun Jembatan di Tengah Perbedaan
SURAU.CO – Indonesia merupakan sebuah mozaik budaya yang kaya. Keberagaman agama menjadi salah satu warna utamanya. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang interaksi antarumat beragama sangatlah vital. Hal ini bukan hanya sekadar teori. Namun, ini adalah kebutuhan nyata untuk menjaga keutuhan bangsa. Dalam konteks ajaran Islam, toleransi bukanlah konsep baru. Penghormatan terhadap perbedaan justru menjadi pilar utama. Ajaran ini bersumber langsung dari Al-Qur’an serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Interaksi antaragama sejatinya tidak hanya bertujuan agar semua bisa hidup berdampingan. Lebih dari itu, tujuannya adalah membangun jembatan pengertian yang kokoh. Jembatan ini harus mampu berdiri tegak di tengah lautan perbedaan keyakinan.
Memahami esensi ini adalah langkah awal yang krusial. Tanpa pemahaman, interaksi yang terjadi sering kali dangkal. Akibatnya, hubungan menjadi rapuh dan mudah retak oleh isu-isu sensitif. Islam hadir menawarkan sebuah kerangka kerja yang komprehensif. Kerangka ini mengatur bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap. Sikap tersebut berlaku saat berhadapan dengan penganut agama lain. Ini adalah sebuah pandangan yang sangat mendalam, melampaui sekadar basa-basi sosial. Ia menyentuh akar teologis tentang bagaimana Allah memandang ciptaan-Nya. Dengan demikian, setiap Muslim memiliki tanggung jawab moral. Tanggung jawab untuk menjadi agen perdamaian dalam masyarakatnya.
Fondasi Teologis Islam dalam Memandang Keragaman
Al-Qur’an secara tegas mengakui keberagaman sebagai sebuah ketetapan ilahi. Konsep ini dikenal sebagai sunnatullah atau hukum alam ciptaan Allah. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman, “…Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” Ayat ini menjadi landasan filosofis yang sangat kuat. Ia mengajarkan bahwa perbedaan, termasuk perbedaan agama, tercipta karena sebuah tujuan mulia. Tujuannya adalah li ta’arafu, yakni untuk saling mengenal. Bukan untuk saling mencurigai. Apalagi untuk saling memusuhi. Ironisnya, pesan universal ini terkadang justru terlupakan oleh sebagian kalangan.
Selanjutnya, Islam meletakkan prinsip kebebasan berkeyakinan sebagai pilar fundamental. Hal ini termaktub dengan sangat jelas dalam Surah Al-Baqarah ayat 256. Di sana disebutkan, “La ikraha fid din” (tidak ada paksaan dalam beragama). Pernyataan ini bukan sekadar slogan. Ia adalah jaminan teologis yang melindungi hak setiap individu. Setiap orang berhak memilih jalan spiritualnya tanpa intimidasi. Prinsip ini secara langsung menolak segala bentuk pemaksaan keyakinan. Secara pribadi, saya melihat ini sebagai bentuk penghormatan tertinggi dari Sang Pencipta terhadap akal dan kehendak bebas manusia. Allah tidak menginginkan keimanan yang lahir dari keterpaksaan. Sebaliknya, Dia menginginkan keimanan yang lahir dari kesadaran dan pencarian tulus.
Prinsip-Prinsip Praktis dalam Hubungan Lintas Iman
Ajaran Islam tidak berhenti pada tataran konsep teologis semata. Ia juga memberikan panduan praktis dalam interaksi sehari-hari. Salah satu prinsip utamanya adalah menghormati keyakinan orang lain. Seorang Muslim mendapat perintah secara eksplisit untuk tidak menghina sesembahan agama lain. Perintah ini tertuang dalam Surah Al-An’am ayat 108. Larangan ini memiliki hikmah yang sangat besar. Menghina kepercayaan orang lain hanya akan memicu reaksi serupa. Hal tersebut justru akan menyulut api permusuhan yang tidak perlu. Dengan demikian, menjaga lisan dari ucapan yang merendahkan adalah kunci utama. Kunci ini membuka pintu keharmonisan sosial yang lebih luas.
Kemudian, ketika terjadi perbedaan pandangan, Islam menganjurkan dialog. Namun, dialog yang tersebut bukanlah debat kusir. Dialog harus dilakukan dengan cara yang santun dan argumentatif. Panduan ini tertulis dalam Surah An-Nahl ayat 125. Ayat tersebut memerintahkan untuk mengajak ke jalan Tuhan bil hikmah wal mau’idhatil hasanah (dengan hikmah dan pengajaran yang baik). Pendekatan ini menuntut kebijaksanaan dalam memilih kata. Selain itu, perlu penyampaian nasihat yang menyentuh hati. Dialog yang baik tidak bertujuan untuk mempermalukan lawan bicara. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling bisa diterima.
Lebih jauh lagi, Islam mendorong kerja sama dalam kebaikan. Umat Islam dianjurkan untuk berkolaborasi dengan semua pihak tanpa memandang latar belakang. Kolaborasi ini dapat dilakukan dalam hal-hal yang membawa manfaat umum. Misalnya, kegiatan kemanusiaan, proyek pendidikan, hingga pelestarian lingkungan. Prinsip ini didasarkan pada Surah Al-Ma’idah ayat 2, yang mengajak untuk tolong-menolong dalam kebajikan. Selama kerja sama itu tidak melanggar prinsip dasar syariat, maka ia sangat dianjurkan. Bentuk kerja sama seperti ini menjadi bukti nyata. Bukti bahwa perbedaan keyakinan bukanlah penghalang untuk membangun dunia yang lebih baik.
Menghadapi Tantangan dan Membangun Jembatan Harmoni
Meskipun ajaran Islam sangat jelas mendorong perdamaian, realitas di lapangan tidak selalu ideal. Berbagai tantangan masih sering muncul. Prasangka buruk antarumat beragama masih menjadi duri dalam daging. Misinformasi dan hoaks yang menyudutkan kelompok lain juga mudah tersebar. Selain itu, fanatisme sempit sering kali menutup ruang untuk dialog yang sehat. Kesalahpahaman terhadap esensi ajaran agama dapat memicu konflik horizontal. Konflik ini sebetulnya bisa kita hindari. Syaratnya adalah jika ada kemauan untuk berkomunikasi secara terbuka. Terlebih lagi, butuh sikap tulus untuk saling menghargai.
Oleh karena itu, upaya membangun pemahaman dan harmoni harus terus dilakukan. Pendidikan menjadi garda terdepan dalam usaha ini. Pengenalan lintas budaya dan agama perlu diintegrasikan. Proses ini bisa dimulai sejak di bangku sekolah hingga di tengah masyarakat. Selanjutnya, forum dialog antaragama harus lebih banyak lagi. Forum ini menjadi wadah untuk membahas isu-isu bersama secara dewasa dan terbuka. Di sinilah kesalahpahaman dapat diluruskan. Di sini pula rasa saling percaya dapat dipupuk. Namun, semua inisiatif tersebut tidak akan efektif tanpa adanya keteladanan. Para tokoh agama memegang peran sentral. Mereka harus menjadi contoh nyata dalam memperlihatkan sikap toleransi dan kasih sayang kepada semua.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
