Tahajud: Menangislah di Hadapan-Nya.
Tahajud bukan sekadar shalat sunnah di sepertiga malam, ia adalah momen terindah antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Saat dunia terlelap, langit masih pekat, dan suara kehidupan nyaris tak terdengar, di situlah pintu-pintu rahmat terbuka lebar.
Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata:
“Jika kau bangkit di gelapnya malam di hadapan Sang Pencipta, hadirkan tingkahnya anak kecil yang jika meminta sesuatu kepada ayahnya lalu tidak diberi, ia pun menangis.”
Kalimat ini mengajarkan bahwa tahajjud adalah ibadah yang bukan hanya butuh fisik yang bangkit dari tidur, tapi juga hati yang hidup, lembut, dan penuh kerendahan.
Rahasia Kekuatan Tahajjud
Allah ﷻ berfirman:
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajjud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79)
Tahajjud menjadi jalan menggapai maqam yang mulia, karena di waktu ini, doa-doa lebih didengar, hati lebih khusyuk, dan air mata lebih mudah mengalir.
Menghadirkan Rasa Seperti Anak Kecil
Seorang anak kecil yang memohon kepada ayahnya melakukannya dengan penuh keyakinan bahwa permintaannya akan dipenuhi. Begitu pula kita di hadapan Allah: memohon dengan pasrah, jujur, dan tanpa ragu.
Bahkan jika belum langsung dikabulkan, kita tetap memohon dengan linangan air mata, karena yakin Allah tahu yang terbaik untuk kita.
Air Mata di Sepertiga Malam: Menangis saat tahajjud bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kepekaan iman. Rasulullah ﷺ sendiri menangis hingga janggutnya basah ketika membaca ayat-ayat tentang rahmat dan azab Allah.
Tips Agar Hati Lembut di Waktu Tahajjud
Tidur lebih awal dan niatkan bangun malam karena Allah.
Ingat dosa-dosa yang pernah kita lakukan.
Renungkan nikmat yang telah Allah berikan.
Bacalah ayat-ayat Al-Qur’an yang menggetarkan hati, seperti akhir Surah Ali Imran atau awal Surah As-Sajdah.
Penutup: Tahajjud adalah kesempatan emas untuk merasakan kedekatan yang tidak bisa dihadirkan oleh shalat di waktu lain. Datanglah dengan hati yang pasrah, bibir yang berzikir, dan mata yang siap menangis. Karena pada waktu itulah, Sang Pencipta sedang dekat, dan doa-doa sedang diangkat ke langit.
“Bangunlah di tengah malam, bukan untuk dunia, tapi untuk Dia yang menguasai dunia.”
Kelancangan Lisan: Tanda Kebinasaan.
Lisan adalah karunia besar dari Allah ﷻ. Dengannya kita bisa berkomunikasi, mengekspresikan perasaan, dan menyampaikan kebenaran. Namun, jika tidak dijaga, lisan bisa menjadi sumber malapetaka yang menyeret pemiliknya menuju kehancuran. Tidak sedikit manusia yang binasa bukan karena fisiknya lemah, tetapi karena ucapannya yang lancang, menyakiti, atau merendahkan orang lain.
1. Lisan: Kecil Bentuknya, Besar Pengaruhnya
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua pahanya, maka aku akan menjamin untuknya surga.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh lisan terhadap nasib seseorang di dunia dan akhirat. Sekali salah ucap, kita bisa melukai hati, merusak persaudaraan, bahkan memicu fitnah besar.
2. Kelancangan Lisan: Bentuk-bentuk yang Sering Terjadi
Ghibah (menggunjing): Membicarakan aib orang lain yang jika ia mendengarnya akan tersakiti, meskipun hal itu benar.
Namimah (adu domba): Menyebarkan informasi untuk memecah belah hubungan.
Ucapan kotor dan kasar: Kata-kata hinaan atau celaan yang tidak pantas diucapkan seorang muslim.
Menyebar berita tanpa tabayyun: Mengulang-ulang informasi yang belum jelas kebenarannya, apalagi jika memicu keresahan.
3. Akibat Kelancangan Lisan
Merusak hubungan: Persaudaraan yang dibangun bertahun-tahun bisa hancur dalam hitungan detik.
Mendapat dosa besar: Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa kebanyakan manusia diseret ke neraka karena panen dari ucapan lisannya.
Hilangnya wibawa: Orang yang sering berbicara tanpa kontrol akan kehilangan rasa hormat dari orang lain.
4. Menjaga Lisan: Tanda Kematangan Iman
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)
Diam dalam kebaikan lebih mulia daripada bicara yang melahirkan keburukan. Lisan yang terjaga adalah tanda hati yang bersih dan iman yang kuat.
5. Cara Melatih Diri Menjaga Lisan
Berpikir sebelum bicara: Tanyakan pada diri, “Apakah ucapanku ini bermanfaat?”
Perbanyak dzikir: Mengisi lisan dengan mengingat Allah mengurangi peluang untuk berkata buruk.
Menghindari majelis yang penuh ghibah: Lingkungan sangat mempengaruhi kebiasaan berbicara.
Belajar berkata lembut: Gunakan kata yang sopan dan menenangkan, meski dalam keadaan marah.
Penutup: Lisan adalah amanah. Kelancangan lisan adalah tanda awal kebinasaan, sementara lisan yang dijaga adalah jalan menuju keselamatan. Semoga Allah ﷻ menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang mampu mengendalikan ucapan, sehingga setiap kata yang keluar menjadi saksi kebaikan di hari perhitungan.
“Tidaklah manusia dilemparkan ke dalam neraka di atas wajah mereka, melainkan karena panen dari lisan-lisan mereka.” (HR. Tirmidzi). (Iskandar)