SURAU.CO – Hidayah atau petunjuk adalah anugerah termahal dari Allah SWT. Ia lebih berharga dari seluruh isi dunia. Namun, tidak semua hati siap menerimanya. Ada satu penyakit hati yang sangat berbahaya. Penyakit ini membangun dinding tebal yang menghalangi cahaya petunjuk. Penyakit itu adalah kesombongan (al-kibr).
Sifat sombong bekerja seperti racun yang mematikan iman. Ia membuat seseorang merasa lebih hebat dari yang lain. Akibatnya, ia menolak kebenaran meskipun sudah jelas di depan mata. Memahami bahaya kesombongan adalah langkah pertama untuk melawannya. Dengan begitu, kita bisa membuka hati kita lebar-lebar untuk menyambut hidayah Allah.
Mendefinisikan Kesombongan yang Sebenarnya
Banyak orang salah kaprah tentang makna sombong. Mereka mengira kesombongan berkaitan dengan pakaian bagus atau harta yang melimpah. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meluruskan pemahaman ini. Beliau menjelaskan definisi kesombongan dengan sangat gamblang dalam sebuah hadis:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Dari hadis ini, kita bisa melihat dua pilar utama kesombongan. Pertama, batharul haq atau menolak kebenaran. Seseorang tahu bahwa sesuatu itu benar. Dalilnya dari Al-Qur’an dan Sunnah sudah jelas. Namun, ia menolaknya karena bertentangan dengan hawa nafsunya.
Kedua, ghamtun naas atau meremehkan orang lain. Ia memandang orang lain dengan sebelah mata. Ia merasa lebih mulia karena status sosial, ilmu, atau nasabnya. Kedua sifat inilah inti dari kesombongan yang terlarang.
Iblis, Pelopor Kesombongan Pertama
Untuk melihat dampak destruktif dari kesombongan, kita bisa berkaca pada kisah Iblis. Iblis bukanlah makhluk bodoh. Ia tahu siapa Allah dan ia pernah beribadah bersama para malaikat. Namun, satu perintah sederhana menghancurkan segalanya. Allah memerintahkannya untuk sujud kepada Adam.
Iblis dengan tegas menolak perintah itu. Mengapa? Karena kesombongan telah menguasai hatinya. Ia merasa dirinya lebih superior. Allah SWT mengabadikan perkataan Iblis dalam Al-Qur’an:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Logika sederhana inilah yang menjadi sumber malapetaka baginya. Ia menolak kebenaran (perintah Allah) dan meremehkan Adam. Akibatnya, Allah melaknatnya dan mengusirnya dari surga untuk selamanya.
Cermin dari Kisah Firaun dan Kaum Terdahulu
Kisah serupa juga berulang pada diri Firaun. Ia menyaksikan mukjizat Nabi Musa ‘alaihis salam. Tongkat menjadi ular dan tangan yang bercahaya adalah bukti nyata. Namun, Firaun tetap menolak untuk beriman. Kesombongannya sebagai penguasa Mesir menghalanginya. Mengakui kenabian Musa berarti meruntuhkan status ketuhanannya.
Hatinya telah terkunci oleh keangkuhan. Allah menjelaskan fenomena ini dalam firman-Nya:
“Demikianlah Allah mengunci mati hati setiap orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Ghafir: 35)
Ayat ini adalah sebuah kaidah ilahiah. Siapa pun yang memelihara kesombongan dalam hatinya, Allah akan menghalanginya dari petunjuk. Hatinya menjadi keras. Ia tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Waspada, Gejala Kesombongan di Zaman Modern
Penyakit sombong tidak hanya menjangkiti Iblis dan Firaun. Ia bisa menginfeksi siapa saja di zaman modern ini, termasuk kita. Gejalanya terkadang sangat halus dan tidak terasa.
Misalnya, seseorang menolak nasihat hanya karena penyampainya lebih muda. Ia juga enggan menerima kebenaran dari orang yang status sosialnya lebih rendah. Ada pula yang merasa paling paham agama. Akibatnya, ia meremehkan pendapat ulama lain yang berbeda dengannya. Semua ini adalah cabang-cabang dari pohon kesombongan.
Meraih Hidayah dengan Sifat Tawadhu’
Kesombongan adalah musuh utama bagi para pencari kebenaran. Ia adalah penghalang terbesar antara seorang hamba dengan rahmat Allah. Oleh karena itu, kita harus terus-menerus memeriksanya di dalam hati.
Lawan dari kesombongan adalah tawadhu’ atau kerendahan hati. Sifat tawadhu’ membuat seseorang mudah menerima kebenaran dari siapa pun. Ia juga senantiasa menghormati orang lain tanpa memandang status mereka. Dengan memupuk sifat tawadhu’, kita sedang melapangkan jalan bagi hidayah untuk masuk dan menerangi jiwa kita. Semoga Allah melindungi kita dari bahaya sifat sombong.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.