Opinion
Beranda » Berita » Kenapa Harus “Beragama yang Biasa Saja”?

Kenapa Harus “Beragama yang Biasa Saja”?

Ilustrasi yang dibuat oleh AI (Beragama Sesuai dengan Syari'at)

SURAU.CO – Kita tentu sering mendengar slogan “beragama itu yang biasa-biasa saja”. Sepintas, kalimat ini terdengar sangat bijak dan menenangkan. Slogan ini seolah mengajak kita untuk menghindari fanatisme atau sikap ekstrem dalam menjalankan ajaran agama. Akan tetapi, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya lebih dalam. Apa sebenarnya definisi “biasa-biasa saja” itu? Apakah standar tersebut kita tentukan sendiri, atau harus merujuk pada tuntunan syariat?

Masalahnya, jika yang dimaksud adalah sikap santai dan cenderung menggampangkan, maka pemahaman ini jelas keliru. Sebaliknya, jika maksudnya adalah menghindari sikap berlebihan (ghuluw), maka ini sudah sejalan dengan prinsip dasar Islam. Oleh karena itu, kuncinya terletak pada standar yang kita gunakan. Standar “biasa” bagi seorang Muslim bukanlah perasaan, budaya, atau kebiasaan masyarakat, melainkan petunjuk lurus dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Memahami Bahaya Sikap Ghuluw (Berlebihan)

Pertama-tama, Islam secara tegas melarang umatnya dari sikap ghuluw atau melampaui batas. Sikap ini muncul ketika seseorang dengan sengaja menambah-nambahi ajaran agama. Mereka menciptakan cara-cara ibadah baru yang tidak pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan. Meskipun niatnya mungkin baik, tindakan mereka sejatinya telah menyimpang dari jalan yang lurus.

Terkait hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan peringatan yang sangat keras. Beliau bersabda:

“Celakalah orang-orang yang mutanatthi’un (berlebih-lebihan dalam beragama).” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. (HR. Muslim)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Lebih lanjut, sikap ghuluw ini sangat berbahaya karena dapat memicu perasaan sombong dan merasa lebih suci dari orang lain. Sikap ini juga menjadi gerbang utama bagi munculnya berbagai macam bidah dalam agama. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi yang terkenal alim, bahkan pernah berkata:

“Sungguh celaka! Mereka itu (orang-orang Khawarij) lebih jelek daripada para penyembah berhala.”

Dari sini, kita bisa melihat betapa berbahayanya penyimpangan yang lahir dari sikap berlebihan.

Menemukan Standar Kebiasaan yang Benar

Lalu, bagaimana kita menentukan standar “biasa” yang benar menurut Islam? Jawabannya sangat jelas dan tegas. Standar kita adalah cara beragama Rasulullah dan para sahabatnya. Praktik ibadah merekalah yang menjadi tolok ukur kebenaran. Bukan pendapat pribadi, bukan pula tradisi turun-temurun yang tidak memiliki landasan dalil.

Inilah esensi dari prinsip ittiba’, yaitu mengikuti jejak generasi terbaik yang telah Allah jamin kebaikannya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga memberikan nasihat emas yang relevan sepanjang masa:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Ikutilah (petunjuk Nabi), dan janganlah kalian berbuat bidah. Sungguh kalian telah dicukupi (dengan petunjuk Nabi).”

Nasihat ini menegaskan bahwa ajaran Islam yang Nabi Muhammad bawa sudah sempurna. Kita tidak perlu lagi menambah atau menguranginya. Tugas kita hanyalah mempelajari sunnah beliau, lalu mengamalkannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Inilah makna “biasa” yang sesungguhnya.

Jalan Tengah Sejati Adalah Berpegang pada Sunnah

Sering kali orang salah memahami konsep jalan tengah atau moderasi (wasathiyah). Moderasi dalam Islam bukanlah mencari titik kompromi antara kebenaran dan kebatilan. Sebaliknya, jalan tengah yang sejati adalah berjalan tegap dan lurus di atas sunnah.

Bayangkan sunnah sebagai sebuah garis lurus. Berjalan tepat di atas garis itulah yang disebut moderat. Jika kita menyimpang ke kanan dengan menambah amalan, kita jatuh pada sikap ghuluw. Namun, jika kita menyimpang ke kiri dengan mengurangi atau meremehkan ajaran, kita terperosok dalam sikap tasahul (menggampangkan). Keduanya adalah bentuk penyimpangan.

Sebagai contoh, seorang Muslim yang benar-benar “moderat” sesuai sunnah akan:

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

  1. Bersemangat shalat lima waktu berjamaah di masjid.
  2. Menjalankan puasa wajib dan menghidupkan puasa sunnah.
  3. Menjaga lisan dari ghibah, fitnah, dan perkataan sia-sia.
  4. Para wanitanya menjaga kehormatan dengan menutup aurat secara sempurna.

Bagi sebagian orang, praktik-praktik ini mungkin terlihat “tidak biasa” atau bahkan “ekstrem”. Padahal, inilah standar “biasa” yang telah dicontohkan oleh teladan utama kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Menjadi Muslim dengan Standar Rasulullah

Pada akhirnya, kita harus meluruskan pemahaman terhadap slogan “beragama yang biasa-biasa saja”. Slogan ini seharusnya menjadi pengingat agar kita tidak terjebak dalam ghuluw. Namun, jangan sampai ia menjadi pembenaran untuk bermalas-malasan dalam ibadah. Standar kebiasaan kita adalah sunnah Nabi, dan berpegang teguh padanya adalah jalan keselamatan. Inilah moderasi hakiki yang akan mengantarkan kita menuju ridha Allah Ta’ala.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement