SURAU.CO – Cinta tidak selalu berakhir bahagia. Ada cinta yang berbalas, tapi ada pula yang kandas meski salah satunya masih berharap. Kisah Barirah dan Mughits mengajarkan bahwa tidak semua rasa bisa kita paksakan. Dalam urusan hati, Islam memberi ruang kebebasan untuk memilih. Nabi Muhammad ﷺ menangani masalah ini dengan penuh kebijaksanaan. Beliau tidak memihak secara emosional, namun tetap memuliakan hak dan perasaan kedua belah pihak.
Latar Belakang Kisah
Barirah adalah seorang budak perempuan milik keluarga Al-Mughirah. Keluarganya menikahkannya dengan Mughits, seorang budak laki-laki yang sangat mencintainya. Cinta Mughits kepada Barirah begitu besar. Bahkan setelah Barirah merdeka, Mughits tetap ingin melanjutkan rumah tangga mereka.
Hukum Islam memberi hak kepada perempuan yang dimerdekakan untuk menentukan apakah ia ingin tetap bersama suami atau berpisah. Riwayat hadis Al-Bukhari menegaskan bahwa seorang budak perempuan yang merdeka berhak memilih antara tetap bersama suaminya atau berpisah darinya. Hak inilah yang dimiliki Barirah.
Keputusan Barirah
Setelah merdeka, Barirah memutuskan untuk berpisah. Keputusan ini membuat Mughits patah hati. Ibnu Abbas memeriwayatkan bahwa Mughits berjalan di jalan-jalan Madinah sambil menangis dan memohon agar Barirah mau kembali.
Ibnu Abbas berkata, “Seakan-akan aku melihat Mughits berjalan di belakang Barirah sambil menangis, sementara air matanya membasahi janggutnya.” (HR.Bukhari)
Barirah tetap teguh pada keputusannya. Riwayat tidak menjelaskan alasannya secara rinci, tetapi jelas bahwa ia tidak ingin melanjutkan pernikahan tersebut. Keputusan ini menunjukkan bahwa Islam memandang pernikahan bukan sekadar ikatan hukum, melainkan juga kerelaan hati.
Sikap Nabi Muhammad ﷺ
Melihat keadaan itu, Nabi Muhammad ﷺ merasa iba kepada Mughits. Beliau mencoba menengahi dengan memberi saran kepada Barirah:
“Seandainya engkau mau kembali kepadanya, itu akan lebih baik bagimu.”
Barirah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini perintah atau sekadar saran?”
Nabi ﷺ menjawab, “Bukan perintah, hanya saran.”
Barirah menegaskan, “Kalau begitu, aku tidak mau.”
Dialog ini menunjukkan betapa Nabi ﷺ menghormati hak pribadi seseorang. Beliau tidak memaksa Barirah meski mengetahui ada seseorang yang sangat mencintainya. Nabi ﷺ memahami bahwa cinta tidak tumbuh karena perintah; cinta membutuhkan kerelaan hati.
Hikmah dari Kisah Ini
Kisah Barirah dan Mughits menyimpan pelajaran berharga:
- Hak Memilih dalam Pernikahan
Islam memberi hak penuh kepada perempuan, terutama ketika ia bebas dari ikatan bercinta, untuk menentukan masa depannya. Kebebasan memilih pasangan adalah kemuliaan yang dijunjung tinggi syariat. - Cinta tidak bisa dipaksakan
Meskipun Mughits sangat mencintai Barirah, Nabi ﷺ tidak memerintahkan Barirah untuk kembali. Pernikahan tanpa kerelaan hati hanya menimbulkan penderitaan. - Empati tanpa intervensi berlebihan
Nabi ﷺ menunjukkan empati kepada Mughits dengan memberi saran kepada Barirah. Namun, beliau tetap menjaga batas agar tidak melanggar hak pribadi. Ini menggambarkan keadilan dan kebijaksanaan. - Keteguhan pada Prinsip
Barirah tetap teguh pada pilihannya meski ia tahu Mughits sangat mencintainya. Ia mengambil keputusan bukan untuk menyakiti, tetapi untuk jujur pada diri sendiri.
Relevansi dengan Kehidupan Masa Kini
Kisah ini sangat relevan pada era modern. Banyak orang bertahan dalam hubungan hanya karena tekanan sosial, rasa iba, atau takut pada pandangan orang lain. Padahal, pernikahan adalah komitmen panjang yang memerlukan kesiapan lahir dan batin.
Kita sering melihat kasus di mana salah satu pihak merasa terpaksa, sehingga hubungan menjadi penuh konflik. Islam, melalui kisah ini, mengajarkan bahwa kebebasan memilih pasangan adalah hak asasi yang tidak boleh kita ganggu.
Kita juga belajar untuk menghargai perasaan orang lain. Nabi ﷺ tidak mengabaikan kesedihan Mughits. Beliau menunjukkan kepedulian, namun tetap adil. Teladan ini mengajarkan kita menjadi penengah yang hadir untuk mendengar dan memberi nasihat tanpa memaksakan solusi.
Cinta yang Bertepuk Sebelah Tangan
Mughits menjadi gambaran nyata seseorang yang mencintai sepenuh hati tetapi tidak mendapat balasan. Air mata dan kesedihannya menjadi saksi bahwa cinta bisa begitu dalam, namun tidak cukup untuk mempertahankan hubungan jika tidak ada kesediaan kedua pihak.
Dalam Islam, cinta yang bertepuk sebelah tangan bukanlah aib. Yang penting adalah bagaimana seseorang meresponsnya. Mughits tidak melakukan kekerasan atau pemaksaan; ia hanya menunjukkan rasa cintanya, meski akhirnya harus menerima kenyataan.
Bagi Mughits, kisah ini adalah duka yang mendalam. Bagi Barirah, ini keputusan untuk hidup sesuai keinginannya. Kemudian, Bagi kita semua, kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang cinta, kebebasan, dan kebijaksanaan.
Kita belajar bahwa cinta adalah hak, bukan kewajiban. Kita bebas mencintai, tapi tidak berhak memaksa orang lain untuk membalasnya. Dan seperti yang Nabi ﷺ tunjukkan, menghormati hak orang lain lebih mulia daripada memenangkan satu pihak saja.
(Dikutip dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
