Opinion
Beranda » Berita » Kekerasan Kolektif di Barak Militer: Tidak Diajarkan Agama dan Bertentangan Dengan Pancasila

Kekerasan Kolektif di Barak Militer: Tidak Diajarkan Agama dan Bertentangan Dengan Pancasila

Kekerasan Kolektif di Barak Militer: Tidak Diajarkan Agama dan Bertentangan Dengan Pancasila

Kekerasan Kolektif di Barak Militer.

 

Kekerasan terhadap junior yang dilakukan oleh senior di lingkungan TNI kembali terjadi. Kali ini, korbannya adalah Prada Lucky, seorang prajurit yang baru bergabung menjadi anggota TNI dan merupakan anak dari seorang bintara.

Sebanyak 20 anggota TNI dari Teritorial Pembangunan 834 Wakanga Mere, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), ditetapkan sebagai tersangka, salah satunya berpangkat perwira.

Kasus ini tentu bukan yang pertama terjadi di lingkungan TNI, sehingga dapat diduga sebagai fenomena gunung es di barak militer. Barak militer adalah lingkungan yang disiplin, kemimpinan hirarki dan tempat yang identik dengan tekanan fisik dan mental

Ar-Rafiq al-A’la: Perjalanan Rasulullah Menuju Sang Kekasih

Seorang ahli psikologi Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai ” any avoidable impediment to self-realization” yaitu segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang terhadap proses pengaktualisasikan potensi diri secara wajar

Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan terjadinya kekerasan kolektif di barak militer:

Teori Perilaku Agresif

Mengacu pada Frustration–Aggression Hypothesis (Dollard et al.), agresi muncul ketika seseorang mengalami frustrasi dan melampiaskannya pada target yang dianggap lemah atau aman.

Ketika frustrasi tidak tersalurkan secara sehat, junior menjadi sasaran karena posisi mereka inferior dan tidak memiliki daya untuk melawan.

Menurut teori Dollard  “Frustasi-Agresi” menunjukkan juga bahwa frustasi selalu menimbulkan agresi dan agresi terjadi semata-mata karena frustasi, oleh karena itu bila frustasi meningkat maka agresivitas juga meningkat

PAHALA MENGALIR WALAUPUN JASAD TELAH HANCUR

Teori Belajar Sosial (Bandura)

Perilaku agresif dapat dipelajari melalui pengamatan dan peniruan, terutama jika perilaku tersebut pernah mendapat “penguatan” (misalnya berupa penghargaan atau penerimaan sosial).

Menurut Bandura perilaku agresif merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa individu sejak lahir karena perilaku agresif dipelajari dari lingkungan sosial seperti interaksi dengan keluarga, rekan sebaya dan media

Jika seorang senior pernah dipukul atau diperlakukan kasar saat menjadi junior, ia cenderung meniru pola tersebut ketika memperoleh posisi berkuasa.

Kekerasan di Lingkungan Tertutup

Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Philip Zimbardo (Stanford Prison Experiment, 1971) menunjukkan bahwa peran sosial dan lingkungan tertutup dapat mengubah perilaku seseorang secara drastis.

Dalam simulasi penjara, mahasiswa yang berperan sebagai sipir menjadi kejam dan abusif terhadap “narapidana”, meski sebelumnya mereka tidak memiliki riwayat perilaku agresif.

YAKIN DENGAN PEKERJAAN: TAWAKKAL KEPADA ALLAH

Zimbardo menemukan bahwa peran, hierarki, dan lingkungan yang terisolasi dapat menumbuhkan kekerasan yang tidak akan muncul di luar konteks tersebut. Fenomena ini juga terjadi di barak militer, di mana hierarki yang jelas memberi senior kekuasaan penuh atas junior.

Selain itu, dalam aksi kelompok, rasa bersalah individu berkurang (diffusion of responsibility), sehingga membuka peluang terjadinya kekerasan bahkan hingga pembunuhan.

Jiwa Korsa yang Berlebihan

Jiwa korsa seharusnya menjadi semangat persaudaraan, loyalitas, dan solidaritas antarsesama prajurit. Namun, jika dipadukan dengan budaya senioritas yang keras, jiwa korsa dapat berubah menjadi solidaritas negatif.

Dalam kelompok senior, hal ini bisa memicu:
•    In-group yang kuat (senior) melawan out-group (junior).
•    Kekerasan dibenarkan sebagai “uji mental” demi kesatuan.
•    Anggota kelompok saling melindungi dari hukuman luar.

Fenomena ini mirip dengan yang terjadi pada eksperimen Zimbardo, di mana norma kelompok menjadi lebih dominan dibanding aturan resmi.

Teori Dinamika Kelompok (Kurt Lewin)

Dinamika kelompok adalah studi psikologi tentang proses-proses psikologi dan sosial yang terjadi dalam kelompok, mulai dari bagaimana kelompok terbentuk, berkembang dan mempengaruhi anggotanya. Kelompok militer memiliki kohesi yang tinggi tetapi bisa menjadi masalah bila nilai dan norma yang berkembang menyimpang

Konformitas yang berlebihan, norma yang tidak sehat (kekerasan dianggap wajar), tekanan hirarki (struktur yang otoriter membuat bawahan sulit melaporkan kekerasan yang dialami kepada atasan, Kepemimpinan Toksik ( pemimpin yang tidak sehata secara psikologis dapat menciptakan lingkungan penuh tekanan dan kekerasan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kekerasan kolektif di barak militer mencerminkan pentingnya kontrol sosial dan kontrol diri bagi setiap prajurit, karena tekanan dan frustasi yang tinggi memerlukan kemampuan psikologi yang baik

Pembinaan mental dan pembentukan karakter cinta tanah air harus diperkuat dengan nilai agama dan spiritual, sehingga doktrin militer dan jiwa korsa dapat diarahkan ke perilaku positif.

Membunuh dan melakukan kekerasan tidak diajarkan dalam agama, dan bertentangan dengan nilai Pancasila, khususnya sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Sistem pengawasan di barak militer perlu diperketat untuk mencegah kekerasan, baik oleh individu maupun kelompok. Ujian mental bagi prajurit harus mempertimbangkan kondisi psikologis dan kemanusiaan setiap individu, karena prajurit juga manusia yang membutuhkan perhatian serta perlakuan yang layak.

Kepemimpinan yang tegas tetapi tetap mengedepankan nilai-nilai humanis sangat penting, pemimpin di barak militer harus memiliki kemampuan “coaching” yang dapat memberikan motivasi dan menjadi keluarga bagi anggotanya. Psikolog, Assoc. Prof. Universitas Paramadina, Alumni PPRA-54 Lemhannas RI (Muhammad Iqbal)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement