Fondasi Ilahiah: Martabat Manusia sebagai Anugerah Tuhan
SURAU.CO – Ilmu tentang hak asasi manusia (HAM) sering kali memiliki anggapan sebagai produk pemikiran modern. Ia menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak-hak inheren yang melekat sejak lahir dan tidak bisa tercabut dengan kekuatan mana pun. Wacana global umumnya merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang terumuskan oleh PBB sebagai tonggak utamanya. Namun, sebuah penelusuran sejarah yang jujur akan membawa kita pada sebuah kesimpulan yang menakjubkan. Islam, melalui sumber-sumber otentiknya, telah mengatur prinsip-prinsip HAM jauh sebelum dokumen modern tersebut terumuskan. Landasan yang terpakai pun bersifat transenden, karena bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Islam memulai pembicaraannya tentang hak asasi dari titik yang paling fundamental, yaitu martabat manusia. Islam menegaskan bahwa setiap manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sangat mulia. Dalam Surah Al-Isra’ ayat 70, Allah SWT berfirman dengan sangat indah bahwa manusia telah dimuliakan, mendapat rezeki yang baik, dan lebih istimewa daripada banyak makhluk lainnya. Prinsip inilah yang menjadi fondasi utama. Bahwa martabat manusia harus terjaga tanpa memandang suku, warna kulit, agama, atau status sosial. Dari fondasi ini, kemudian lahirlah jaminan atas hak-hak dasar lainnya. Hak untuk hidup, misalnya, memiliki anggapan sebagai hak yang paling sakral. Al-Qur’an dalam surah Al-Maidah ayat 32 bahkan menyamakan pembunuhan satu jiwa tanpa alasan yang benar dengan membunuh seluruh umat manusia. Selanjutnya, ada pula jaminan atas hak kebebasan beragama. Sebuah prinsip agung yang tertuang dalam kalimat pendek namun padat makna, “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256). Ini adalah sebuah penegasan revolusioner pada masanya. Islam juga menjamin hak atas kepemilikan. Setiap orang berhak memiliki, menikmati, dan mengelola harta yang diperolehnya secara sah.
Dialog Kritis: Membedah Perspektif Islam dan Barat
Meskipun terdapat banyak titik temu dan kesamaan nilai antara konsep HAM dalam Islam dan kerangka HAM sekuler Barat, terdapat pula perbedaan-perbedaan mendasar dalam pendekatannya. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk menghindari kerancuan. Perbedaan pertama dan paling utama terletak pada sumber prinsipnya. Hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari wahyu ilahi, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini menjadikannya bersifat absolut, permanen, dan tidak bisa berubah dengan kesepakatan manusia. Sebaliknya, HAM dalam tradisi Barat lahir dari pemikiran filsafat, evolusi sosial, dan kesepakatan manusia. Sumber yang berbeda ini tentu menghasilkan konsekuensi yang berbeda pula.
Perbedaan kedua terletak pada batasan kebebasan. Saya sering merenung, di sinilah letak perbedaan yang paling krusial. Dalam Islam, kebebasan bukanlah sesuatu yang tanpa batas. Setiap hak dan kebebasan senantiasa dibatasi oleh koridor syariat yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar (maslahah ‘ammah). Kebebasan individu tidak boleh sampai merusak tatanan moral, sosial, dan hak orang lain. Sementara itu, dalam beberapa pemikiran HAM Barat, batasan kebebasan lebih banyak ditentukan oleh kesepakatan sosial yang bisa berubah-ubah dan terkadang lebih berorientasi pada kebebasan individu secara mutlak. Terakhir, orientasi keduanya pun memiliki penekanan yang berbeda. Islam sangat menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Setiap hak yang kita terima selalu beriringan dengan kewajiban yang harus kita tunaikan. Sementara dalam beberapa interpretasi HAM Barat, fokusnya terkadang terasa lebih kuat pada penuntutan hak-hak individu, dengan porsi pembahasan kewajiban yang lebih sedikit. Keadilan dalam Islam juga sangat ditekankan. Bahkan, Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk berlaku adil kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang kita benci (QS. Al-Maidah: 8).
Dari Konsep ke Realitas: Tantangan Implementasi dan Jalan ke Depan
Meskipun konsep HAM dalam ajaran Islam begitu luhur dan komprehensif, kita tidak bisa menutup mata dari realitas yang ada. Praktik di sebagian negara muslim sering kali belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai agung tersebut. Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan. Ajaran yang begitu memuliakan manusia justru sering kali terdistorsi dalam implementasinya. Ada beberapa faktor yang menjadi penghalang utama. Faktor politik dan kepentingan penguasa sering kali menjadi tembok tebal yang menghalangi tegaknya keadilan dan hak-hak rakyat. Selain itu, pengaruh budaya lokal yang bersifat patriarkis atau feodal terkadang lebih mendominasi daripada ajaran Islam yang murni. Hal inilah yang kemudian memunculkan persepsi negatif di dunia internasional. Mereka menganggap bahwa Islam membatasi hak-hak tertentu, terutama hak perempuan. Padahal, masalah utamanya tidak terletak pada ajaran Islam itu sendiri, melainkan pada interpretasi yang keliru dan implementasi yang menyeleweng.
Oleh karena itu, pendekatan kritis terhadap wacana HAM dalam Islam menjadi sebuah urgensi yang tidak bisa tawar menawar lagi. Analisis kritis ini perlu kita lakukan untuk beberapa tujuan strategis. Pertama, untuk memastikan pemahaman yang benar dan utuh terhadap dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Kita harus mampu membedakan mana yang merupakan ajaran asli dan mana yang sekadar produk budaya atau interpretasi personal. Kedua, kita perlu menyaring pengaruh-pengaruh budaya yang secara nyata bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Terakhir, pendekatan kritis ini akan membekali kita dengan argumen yang kokoh untuk menjawab berbagai tuduhan atau kesalahpahaman yang sering mengarah kepada ajaran Islam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
