Sejarah
Beranda » Berita » Mengenang Kejayaan Haji Melalui Laut

Mengenang Kejayaan Haji Melalui Laut

Haji lewat laut mempunyai sejarah panjang dan pernah mencapai puncak keemesannya
Wacana haji lewat laut kembali dan ternyata mempunyai sejarah panjangn mulai dari kapal legendaris hingga biro haji yang marak kala itu. ( foto ist)

SURAU.CO. Gagasan memberangkatkan jemaah haji lewat laut kembali mengemuka. Wacana ini membangkitkan nostalgia perjalanan spiritual masa lalu. Namun, pemerintah menegaskan bahwa opsi ini masih dalam tahap penjajakan. Belum ada keputusan final yang diambil terkait realisasinya.
Menteri Agama, Nasaruddin Umar, memberikan penjelasan mengenai hal ini. Ia mengonfirmasi bahwa pemerintah belum membahasnya secara resmi.

“Belum ada pembahasan resmi di internal Kementerian Agama. Namun sudah banyak perusahaan yang pernah datang dan mempersentasikan itu,” ujar Menteri Agama Nasaruddin Umar, pada Juli lalu.  Meskipun belum ada pembahasan internal, Nasaruddin mengakui adanya minat besar. Banyak perusahaan swasta telah proaktif mendekati Kemenag. Mereka mempresentasikan berbagai skema perjalanan haji menggunakan kapal. Namun, realisasi gagasan ini menghadapi tantangan yang signifikan.

Saat ini, perjalanan ibadah via laut lebih lazim untuk paket umrah. Modelnya pun berupa kapal pesiar mewah dari negara-negara Timur Tengah. Rute tersebut tidak berangkat langsung dari pelabuhan Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya logistik jika diterapkan untuk haji. Namun pada akhirnya gagal juga ide tersebut.

Mengenang Perjuangan di Samudera Luas

Menengok perjalanan haji lewat laut membuka kembali lembaran sejarah panjang. Selama berabad-abad, kapal menjadi satu-satunya tumpuan jemaah Indonesia. Perjalanan menuju Hijaz bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan bulan. Jemaah harus sabar menunggu musim angin yang tepat. Mereka juga harus siap menghadapi badai ganas di tengah samudera.

Di masa kolonial Belanda, rintangan bukan hanya soal alam. Administrasi yang rumit menjadi beban tambahan. Gubernur Jenderal Daendels mewajibkan jemaah memiliki paspor haji. Pada 1825, harganya mencapai 110 gulden, angka yang sangat mahal kala itu. Jemaah juga wajib membuktikan memiliki cukup bekal untuk keluarga yang ditinggalkan.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kondisi di atas kapal jauh dari kata layak. Jemaah berdesakan di palka sempit. Setiap orang hanya mendapat ruang sekitar 1 hingga 1,5 meter persegi. Sanitasi yang buruk dan makanan terbatas menjadi pemandangan biasa. Tragedi pun tak terhindarkan. Pada 1893, kapal Samoa tenggelam diterjang badai, menewaskan 100 dari 3.600 jemaah.

Era Kejayaan dan Keruntuhan Operator Swasta

Meskipun penuh perjuangan, Indonesia pernah menjadi negara pengirim haji terbanyak. Pada puncaknya, kapal-kapal legendaris seperti Belle Abeto dan Gunung Jati menjadi andalan. Perusahaan swasta bahkan pernah meraih kejayaan dari bisnis ini. PT Arafat, yang berdiri pada 1964, menjadi pemain utama yang memonopoli layanan ini.

Menurut catatan sejarawan Prof. Dr. Deliar Noer, pada tahun 1926/1927, sebanyak 52.000 jemaah berangkat dari Indonesia yang sebagian besar menggunakan kapal laut. Setelah kemerdekaan, tradisi ini tetap berlanjut. Bahkan pada tahun 1950, Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim secara simbolis melepas jemaah haji dari Pelabuhan Tanjung Priok.

Kapal-kapal ternama seperti KM Gunung Jati dan Tjuk Nyak Dien menjadi favorit jamaah calon haji. Saat itu, jalur udara sebenarnya sudah ada sejak 1952, namun, biayanya sangat mahal. Biaya haji via pesawat mencapai Rp 16.691. Sementara jalur laut hanya Rp 7.500. Perbedaan harga inilah yang membuat kapal laut menjadi primadona kala itu

Untuk mengelola pendaftar, PT Arafat menerapkan sistem kuota. Calon jemaah cukup membayar uang muka untuk mengamankan tempat. Namun, sistem ini justru menjadi bumerang. Animo masyarakat meledak, jauh melampaui kapasitas. Praktik percaloan merajalela dan manajemen perusahaan menjadi kacau.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pemerintah Ambil Alih Kendali Penuh

Puncak kekacauan terjadi pada era 1970-an. PT Arafat dinyatakan pailit. Ribuan calon jemaah yang telah membayar berjuang menuntut uang mereka kembali. Kisruh besar ini akhirnya memaksa pemerintah turun tangan.

Pemerintah secara resmi mengambil alih seluruh penyelenggaraan haji. Kebijakan ini berdasar pada Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1969 dan Inpres No. 6 Tahun 1969. Sejak saat itu, regulasi menegaskan hanya pemerintah yang berhak mengurus haji. Peran swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji resmi dihentikan. Sejarah ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji lewat laut memiliki kerumitan tersendiri, baik dari sisi operasional maupun regulasi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement