SURAU.CO – Di tengah derasnya arus modernisasi dan tantangan global, istilah Civil Islam menjadi semakin relevan untuk dibicarakan. Istilah ini, yang populer lewat karya Robert W. Hefner, merujuk pada wajah Islam yang ramah, inklusif, demokratis, dan mampu hidup berdampingan dengan berbagai golongan. Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu organisasi Islam yang konsisten menghidupkan semangat ini. Dan di antara para tokoh NU, nama Kiai Haji Marzuki Mustamar menonjol sebagai sosok yang menekankan keberanian, kearifan, dan komitmen pada nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Mengenal Kiai Marzuki
Kiai Marzuki Mustamar lahir di Malang, Jawa Timur, dari keluarga pesantren yang kuat memegang tradisi keilmuan Islam. Ia tumbuh dalam suasana yang membentuk karakter religius, terbuka, dan berpandangan luas. Sejak muda, ia aktif di berbagai kegiatan keagamaan dan organisasi, hingga dipercaya memimpin Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. Di tangan Kiai Marzuki, NU Jawa Timur tidak hanya menjadi benteng akidah Ahlussunnah wal Jamaah, tetapi juga ruang dialog dan kerja sama lintas agama.
Kiai Marzuki dikenal lantang menyuarakan kebenaran. Namun, keberaniannya selalu dibingkai dengan etika dan adab ala pesantren. Ia tidak segan mengkritik kebijakan yang dinilai merugikan umat atau mengancam kebinekaan, namun selalu mengedepankan argumentasi yang rasional dan berdasar pada ajaran Islam.
NU dan Semangat Civil Islam
NU sejak awal berdirinya tahun 1926 telah menyebarkan prinsip Civil Islam dalam konteks Indonesia. Para pendirinya mengajarkan Islam yang tidak eksklusif, melainkan berpadu dengan budaya lokal, menghormati perbedaan, dan mengedepankan maslahat. Sikap ini terbukti penting dalam menjaga persatuan bangsa, terutama di negara-negara yang plural seperti Indonesia.
Kiai Marzuki meneruskan tradisi ini dengan penuh kesadaran. Ia mengajak warga NU dan umat Islam untuk memahami bahwa menjadi muslim yang baik tidak berarti menutup diri dari dunia luar. Sebaliknya, Islam yang kuat adalah Islam yang siap berdialog, bekerja sama, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas.
Dalam berbagai ceramahnya, ia sering mengingatkan, “Islam itu hadir untuk menjadi rahmat bagi semesta. Kalau sampai menebar kebencian, itu bukan ajaran Nabi.” Pesan ini sederhana, namun menjadi penegas komitmen NU dalam menjaga wajah Islam yang teduh.
Perjuangan di Era Disrupsi
Era digital membawa peluang sekaligus ancaman. Arus informasi yang deras seringkali memicu polarisasi, kebencian, kebencian, bahkan radikalisasi. Di sini Kiai Marzuki menunjukkan peran pentingnya. Ia aktif mengedukasi jamaah agar tidak mudah termakan hoaks dan propaganda yang memecah belah.
Ia paham, Civil Islam di abad ke-21 harus diwujudkan tidak hanya di mimbar-mimbar masjid, tetapi juga di ruang digital. Kiai Marzuki mengisi YouTube, media sosial, dan forum berani menyebarkan pesan damai, moderat, dan toleran. Strateginya sederhana: masuk ke ruang-ruang publik di mana umat muda berada, lalu menanamkan nilai-nilai yang benar.
Keberanian Menghadapi Tantangan
Tidak semua perjuangan berjalan mulus. Sikap tegas Kiai Marzuki seringkali memancing kritik, bahkan serangan dari pihak yang tidak sejalan. Namun, dia tidak goyah. Ia selalu menegaskan bahwa kebenaran harus disampaikan, meskipun risikonya besar.
Sikap ini sejalan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar , yang dalam bingkai Civil Islam berarti mengajak kepada kebaikan dengan cara yang santun dan mencegah kemungkaran tanpa kekerasan. Ia percaya, keberanian yang dilandasi ilmu dan akhlak akan lebih efektif daripada teriakan tanpa dasar.
Menghidupkan Tradisi Pesantren
Salah satu kekuatan Kiai Marzuki adalah kemampuannya menjembatani tradisi pesantren dengan tantangan zaman. Ia tidak membiarkan santri terkungkung dalam romantisme masa lalu, tetapi membekali mereka dengan wawasan kebangsaan, pengetahuan teknologi, dan keterampilan sosial.
Tradisi pesantren yang ia bawa selalu relevan dengan semangat Civil Islam . Santri mengajar untuk berpikir kritis, tetapi tetap menghormati guru dan tradisi. Mereka dibina untuk menjadi pribadi yang kokoh dalam iman, luas dalam wawasan, dan lembut dalam berinteraksi.
Inspirasi untuk Umat
Kiai Marzuki mengajarkan bahwa Civil Islam bukan sekadar konsep akademik, tetapi praktik hidup sehari-hari. Menghormati tetangga yang berbeda agama, menolong tanpa memandang bulu, menghindari fitnah, dan menjaga persatuan bangsa—itulah wujud nyata Civil Islam .
Di tengah tantangan yang semakin kompleks, tokoh seperti Kiai Marzuki mengingatkan kita bahwa Islam di Indonesia punya kekuatan besar untuk menjadi perekat umat. NU dengan segala jaringannya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya generasi muslim yang moderat, inklusif, dan cinta damai.
Perjalanan Kiai Marzuki Mustamar bersama NU adalah kisah tentang keteguhan hati, keluasan wawasan, dan komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kerangka Civil Islam , perjuangannya menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara soal ritual ibadah, tetapi juga soal bagaimana membangun masyarakat yang adil, damai, dan saling menghormati.
Dari pesantren di Malang hingga ruang digital yang menjangkau jutaan orang, Kiai Marzuki membuktikan bahwa Civil Islam bisa menjadi jalan tengah yang memperkuat iman sekaligus menjaga kebinekaan. Pesannya jelas: Islam rahmatan lil ‘alamin bukan sekedar slogan, namun amanah yang harus kita wujudkan dalam tindakan nyata.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
