Pendidikan
Beranda » Berita » Anak yang Suka Mengganggu dalam Akhlaq lil Banin Juz 1 Karya Umar Baraja (Pelajaran Klasik untuk Hari Ini)

Anak yang Suka Mengganggu dalam Akhlaq lil Banin Juz 1 Karya Umar Baraja (Pelajaran Klasik untuk Hari Ini)

Anak yang suka menganggu
"Suasana pagi di halaman pesantren tradisional, santri bersarung dan peci berjalan sopan

SURAU.CO – Di antara banyak cerita pendidikan akhlak yang tersaji dalam khazanah kitab klasik, ada satu kisah sederhana namun sarat makna: seorang anak kaya yang memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka mengganggu orang lain—terutama para pelayan di rumahnya. Walau terkesan sepele, kisah ini memuat pesan mendalam tentang adab, empati, dan kesadaran diri.

Kitab Akhlaq lil Banin disusun oleh Umar bin Ahmad Baraja, seorang ulama abad ke-20 yang berasal dari Hadhramaut, Yaman. Karyanya banyak digunakan di madrasah dan pesantren, khususnya di Nusantara, untuk membentuk budi pekerti anak sejak dini. Kitab ini ditulis sebagai panduan akhlak praktis bagi para santri dan siswa madrasah, dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, namun tetap berakar pada ajaran Islam yang kuat.
Di mata para pendidik, Akhlaq lil Banin bukan sekadar buku pelajaran, melainkan “cermin” yang memantulkan kembali perilaku anak agar mereka sadar dan mau memperbaiki diri.

1. Nasihat Seorang Ayah kepada Anaknya

Dalam bab ini, Umar bin Ahmad Baraja mengisahkan:

كان لرجل غني ولد سيء الأخلاق، يحب التفاخر ويؤذي الناس وخاصة الخدم.
فنصحه أبوه مراراً فلم يسمع له.
فقال له يوماً: “يا بني، كما أنك لا تحب أن يؤذيك أحد، فلا تؤذِ أحداً، فإن أذية الناس خلق ذميم، ودليل على سوء التربية. فإياك واحتقار الخدم، فإنهم بشر مثلنا، ولهم مشاعر كما لنا.”

Artinya:
“Seorang kaya mempunyai anak yang buruk akhlaknya. Ia suka membanggakan diri, mengganggu orang, khususnya para pelayan. Ayahnya sering menasihati, namun ia tak mau mendengar. Suatu hari sang ayah berkata: ‘Wahai anakku, sebagaimana engkau tidak suka disakiti, janganlah engkau menyakiti orang lain. Mengganggu orang adalah akhlak tercela dan tanda buruknya pendidikan. Jangan merendahkan pelayan, karena mereka manusia seperti kita dan memiliki perasaan sebagaimana kita’.”

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Nasihat ini sederhana namun tegas. Sang ayah mengajak anaknya untuk berpikir secara empatik: membayangkan perasaan orang lain sebelum bertindak.

2. Mengajarkan Empati Sejak Dini

Kisah ini menunjukkan bahwa pendidikan akhlak dimulai dari rumah. Sayangnya, di zaman modern, banyak anak yang belajar menghina tanpa sadar entah dari media sosial, tontonan, atau lingkungan bermain. Kita jarang mengajarkan anak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Dalam psikologi modern, ini dikenal sebagai mirroring membayangkan diri kita di posisi orang lain sebelum bertindak. Ternyata, hal ini sudah diajarkan oleh para ulama sejak ratusan tahun lalu. Seorang anak yang dibiasakan memahami perasaan orang lain akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati, bukan arogan.

3. Akhlak terhadap Pelayan dan Sesama Manusia

Sikap merendahkan pelayan dalam kisah ini adalah gambaran dari penyakit hati: sombong (kibr). Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
(Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan) – HR. Muslim.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Menghormati pelayan bukan hanya soal kebaikan hati, tapi juga pengakuan bahwa semua manusia setara di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah takwa dan amalnya.

Dalam konteks modern, “pelayan” bisa diartikan luas: staf kebersihan, pegawai rendahan, atau siapapun yang posisinya sering diremehkan. Menghormati mereka berarti menghormati kemanusiaan itu sendiri.

Hikmah untuk Zaman Kita

Kisah ini berakhir dengan perubahan hati sang anak. Setelah merenungkan nasihat ayahnya, ia bertobat, menjadi lebih baik, dan memperlakukan pelayan dengan kasih sayang.
Pelajaran ini relevan untuk semua usia: ukur perilaku kita dari dampaknya pada orang lain. Jika kita tidak suka diperlakukan buruk, jangan lakukan hal itu pada siapapun.

Mungkin hari ini kita bukan anak kaya yang punya pelayan, tapi kita punya kuasa dalam bentuk lain—status sosial, jabatan, bahkan sekadar pengaruh di media sosial. Gunakan kuasa itu untuk membahagiakan, bukan menyakiti.

Semoga Allah menghiasi hati kita dengan rendah hati dan kasih sayang kepada semua makhluk.

Menerapkan Parenting Nabawi: Panduan Mendidik Karakter Anak Lewat Riyadus Shalihin


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement