Berita
Beranda » Berita » Gus Mus, Kemerdekaan, dan Manusia Merdeka

Gus Mus, Kemerdekaan, dan Manusia Merdeka

Gus Mus, Kemerdekaan, dan Manusia Merdeka
KH Ahmad Mustofa Bisri

SURAU.CO – Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, banyak yang langsung mengingat tanggal 17 Agustus, upacara bendera, atau kisah para pahlawan yang mengangkat senjata melawan penjajah. Namun KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus mengajak kita melihat kemerdekaan dengan cara yang lebih dalam. Bagi kiai kharismatik dari Rembang ini, kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari penjajahan secara fisik. Lebih dari itu, kemerdekaan berarti kebebasan jiwa, kebebasan berpikir, dan kebebasan menjadi manusia seutuhnya.

Gus Mus sering mengatakan bahwa manusia baru mencapai kemerdekaan sejati ketika ia mampu membebaskan diri dari belenggu dalam dirinya sendiri. Penjajahan dari luar memang menyakitkan, tetapi penjajahan dari dalam seperti hawa nafsu, keserakahan, dan kebencian jauh lebih sulit kita kalahkan. Orang yang melekatkan hatinya pada amarah dan dendam, meskipun hidup di negara merdeka, tetap menjadi “tawanan” bagi dirinya sendiri.

Kemerdekaan yang Tak Berhenti di Gerbang Negara

Gus Mus menegaskan bahwa kita tidak boleh berhenti di gerbang kemerdekaan negara. Artinya, setelah bangsa kita meraih kemerdekaan dari penjajahan pada tahun 1945, kita memikul tugas untuk terus menghidupkan kemerdekaan dalam cara berpikir, bertindak, dan memperlakukan sesama.

Dilansir dari NU Online, Dalam Doa Kemerdekaan yang ia tulis pada tanggal 16 Agustus 2014, ia menegaskan: “…merdekakanlah kami dari belenggu penjajahan apa saja—termasuk penjajahan diri kami sendiri.

Menurut Gus Mus, warga negara merdeka harus berani berpikir jernih, menyuarakan kebenaran, dan menolak ketidakadilan. Namun, ia juga mengingatkan agar keberanian ini selalu berjalan beriringan dengan kebijaksanaan dan akhlak yang baik. Sebab, kemerdekaan tanpa akhlak justru berubah menjadi kebebasan yang merusak.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kata Gus Mus dalam salah satu ceramahnya, “Orang yang benar-benar merdeka adalah menggunakan kebebasannya untuk kebaikan, bukan untuk menindas orang lain.” Pesan ini sederhana namun mendalam—kemerdekaan sejati hadir ketika kita memanfaatkan kebebasan untuk kebaikan.

Manusia Merdeka: Tidak Takut dan Tidak Menakuti

Gus Mus menggambarkan manusia merdeka sebagai pribadi yang tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Tuhan, dan tidak menakuti siapa pun kecuali setan. Gambaran ini mengajarkan kita keberanian moral sekaligus kebersihan hati.

Orang yang benar-benar merdeka tidak tunduk pada tekanan ketika harus mempertahankan kebenaran. Ia tidak menjual prinsipnya demi kekayaan, jabatan, atau popularitas. Pada saat yang sama, ia tidak menggunakan kekuatan atau pengaruhnya untuk menindas orang lain.

Bagi Gus Mus, kemerdekaan juga menuntut kita menerima perbedaan. Manusia merdeka tidak merasa terancam oleh orang yang berbeda pendapat atau keyakinan. Sebaliknya, ia menghargai perbedaan sebagai kekayaan hidup. Itulah sebabnya Gus Mus terus menebarkan pesan toleransi dan kasih sayang di tengah masyarakat majemuk.

Menghidupkan Kemerdekaan dalam Kehidupan Sehari-hari

Pesan kemerdekaan dari Gus Mus tidak berhenti pada tataran gagasan. Ia mengajak kita menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, di lingkungan keluarga, kita bisa memberi ruang bagi anak untuk tumbuh sesuai potensinya, sambil tetap membimbing dengan nilai-nilai kebaikan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Di tempat kerja, kita bisa menunjukkan kemandirian dengan menolak budaya korupsi, meskipun lingkungan sekitar melakukannya. Di media sosial, kita bisa menjaga kebebasan dengan menyaring informasi dan menolak provokasi dari kabar bohong atau kebencian.

Kemerdekaan, dalam arti ini, menjadi tanpa proses henti. Setiap hari, kita menghadapi pilihan—apakah kita akan bertindak merdeka atau membiarkan diri menjadi budak ego, ketakutan, atau godaan.

Kemerdekaan dan Tanggung Jawab

Gus Mus selalu mengingatkan bahwa kemerdekaan hadir bersama tanggung jawab. Tidak ada kemerdekaan tanpa batas, karena kita harus menghentikan kebebasan pada saat kebebasan itu merugikan orang lain.

Kemerdekaan yang sehat justru membangun keteraturan dan kebaikan bersama. Ia mendorong kita untuk saling menghargai, membantu, dan melindungi. Kemerdekaan sejati memerdekakan semua orang, bukan hanya diri sendiri.

Gus Mus kerap mencontohkan sikap para pendiri bangsa yang berjuang demi kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia, bukan demi kepentingan pribadi. Semangat inilah yang perlu kita warisi.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Merdeka Lahir dan Batin

Zaman sekarang menghadirkan tantangan baru. Penjajahan fisik memang sudah berakhir, tetapi penjajahan bentuk baru terus mengintai. Ia bisa hadir dalam bentuk hegemoni budaya, arus konsumerisme, atau ketergantungan teknologi yang membuat kita lupa berpikir kritis.

Menjadi manusia merdeka di era ini berarti kita mampu memakai teknologi untuk kebaikan, bukan menjadi budaknya. Kita perlu berani memilih hidup sederhana di tengah budaya pamer, berani berkata jujur di tengah arus sejarah, dan berani menjaga hati tetap bersih di tengah godaan yang merajalela.

Pesan Gus Mus tentang kemerdekaan mengajak kita merdeka lahir dan batin. Kemerdekaan lahir terlihat ketika kita hidup di negara berdaulat. Kemerdekaan batin hadir ketika kita memerdekakan diri dari sifat-sifat merusak, seperti iri hati, kesombongan, dan kebencian.

Menjadi manusia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan seumur hidup. Sepanjang perjalanan itu, kita belajar menjadi lebih bijak, tulus, dan berani. Dengan demikian, kita menghidupkan kemerdekaan yang para pahlawan perjuangkan—tidak hanya setiap 17 Agustus, tetapi setiap hari.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement