SURAU.CO. Pepatah lama mengingatkan kita, “Macan mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading.” Ungkapan ini menegaskan bahwa manusia seyogianya meninggalkan sesuatu yang bernilai bagi generasi penerus. Dalam konteks keluarga, warisan tersebut bukan sekadar harta, melainkan nilai, ilmu, dan keteladanan hidup.
Sebagian orang tua memandang anak sebagai tanggung jawab. Namun tidak sedikit pula yang menilai anak sebagai beban, sehingga mereka memilih hidup berumah tangga tanpa kehadiran keturunan. Pandangan ini kontras dengan kisah Nabi Zakaria ‘alaihis salam, yang justru memohon keturunan karena ia ingin mewariskan nilai-nilai tauhid dan kebenaran kepada umatnya. Ia khawatir tidak ada yang melanjutkan perjuangannya dalam menegakkan iman. Kisah tersebut membuktikan bahwa anak adalah aset berharga, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi agama dan bangsa.
Ada juga sebagian orang tua memandang anak sebagai aset berharga dan investasi jangka panjang untuk kepentingan duniawi mereka. Karena itu, mereka secara aktif mengupayakan yang terbaik. Mereka memilihkan pendidikan terbaik, menyediakan makanan bergizi, serta menyiapkan harta yang cukup, bahkan berlimpah, agar anak-anak mereka terhindar dari kesulitan hidup. Mereka berharap keturunannya mampu melanjutkan usaha keluarga hingga beranak-cucu tanpa kekurangan.
Pandangan semacam ini tidak keliru, karena Islam pun mendorong umatnya untuk menjauhi kefakiran dan menunaikan amanah sebagai pencari nafkah. Namun, kaum muslimin perlu menyadari bahwa hakikat warisan sejati bukanlah tumpukan harta, melainkan nilai-nilai keimanan, ilmu yang bermanfaat, dan akhlak mulia. Harta bersifat fana dan terbatas, sementara ilmu dan iman bersifat kekal dan menyelamatkan, baik di dunia maupun akhirat.
Pelajaran dari Dua Khalifah: Warisan Nilai vs. Warisan Materi
Sejarah Islam mencatat dua sosok khalifah besar: Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik. Kita bisa memetik pelajaran berharga dari kisah perjalanan hidup dua khalifah ini, terutama tentang perbedaan mencolok dalam warisan yang mereka berikan kepada anak-anaknya, meskipun keduanya hidup di zaman yang berbeda. Keduanya memiliki 11 anak, namun mewariskan hal yang sangat berbeda.
Hani Al-Hajj dalam kitab Alfu Qishatin (Kairo, Maktabah Taufiqiyah, t.t) mengisahkan Umar bin Abdul Aziz tidak meninggalkan kekayaan besar pada anak-anaknya. Ia memberikan warisan dalam jumlah kecil kepada anak-anaknya, bahkan sebagian dari mereka hanya mendapatkan setengah dinar. Meski demikian, anak-anak Umar tumbuh menjadi pribadi yang beriman dan kaya lahir batin. Salah seorang putranya bahkan mampu membiayai 100.000 pasukan berkuda dari harta pribadinya untuk berjihad di jalan Allah.
Sebaliknya, anak-anak Hisyam bin Abdul Malik mewarisi jutaan dinar, namun hidup mereka tidak satupun yang meraih kesuksesan. Harta itu sirna tanpa manfaat dan lenyap tak berbekas. Mereka justru hidup dalam keadaan fakir.
Kisah ini menunjukkan bahwa warisan harta tidak menjamin keberhasilan hidup anak-anak, tetapi warisan iman, ilmu, dan akhlak mulia justru menjadi bekal sejati yang tak ternilai.
Ilmu: Warisan Abadi Para Nabi
Para Nabi dan Rasul, yang merupakan manusia paling mulia di zamannya, telah meninggalkan warisan agung yang tak lekang oleh waktu: ilmu. Siapa pun yang benar-benar menginginkannya dapat mengakses warisan ini, dengan memohon kepada Allah Ta’ala dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Nabi mewariskan ilmu yang mampu menuntun manusia keluar dari gelapnya kebodohan menuju cahaya kebenaran. Yang lebih mengagumkan, Islam tidak sekadar menganjurkan, melainkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Kewajiban ini seolah menjadi seruan langsung dari Nabi agar setiap muslim mengambil bagian dari warisan kenabian tersebut.
Ilmu bukan sekadar kumpulan informasi atau wawasan, tetapi merupakan jalan menuju ketaqwaan. Seorang muslim yang mempelajari ilmu agama dengan niat yang benar akan membentuk kepribadian yang tunduk kepada Allah, berakhlak mulia, dan berkontribusi nyata dalam kehidupan. Maka, seorang muslim yang menuntut ilmu, sedang memperkaya dirinya dengan warisan termahal yang pernah diwariskan oleh para Nabi.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”(H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Ilmu yang dimaksud bukan sembarang ilmu, melainkan ilmu syar’I yaitu ilmu tentang keimanan, ibadah, halal dan haram, serta adab dan muamalah. Para ulama menjelaskan bahwa ketika Allah SWT atau Rasul-Nya menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama).
Islam mewajibkan setiap muslim untuk mempelajarinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (H.R. Ibnu Majah)
Dalam sistem waris Islam, harta terbagi berdasarkan ketentuan syariat kepada ahli waris. Namun warisan ilmu berbeda: warisan ini ditinggalkan oleh para nabi dan siapa pun bisa mewarisinya, tanpa memandang keturunan, status, atau kekayaan.
Islam membuka pintu yang sama bagi setiap muslim untuk mengejar warisan para Nabi yang bernama ilmu.
Ilmu Menumbuhkan Takwa
Ketika seseorang mengizinkan ilmu untuk menyatu dalam dirinya, ia mulai memetik berbagai kebaikan yang mengarahkannya kepada ketaatan. Ilmu tidak hanya memperluas wawasan, tetapi mengarahkan hati menuju ketakwaan. Dalam Islam, ilmu bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju kedekatan dengan Allah.
Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menyebutkan bahwa: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari semata-mata untuk bertakwa kepada Allah dengan ilmu tersebut. Dan sesungguhnya ilmu agama itu dimuliakan dari ilmu-ilmu yang lain karena dengan ilmu agama, seseorang dapat bertakwa kepada Allah.” (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, hlm. 665)
Ilmu itu akan membentuk kekhusyukan dalam sikap, kebersihan lisan dalam ucapan, kesopanan dalam pandangan, serta ketertiban dalam setiap gerak tubuhnya. Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah juga berkata, “Dahulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh positif ilmu tersebut) pada sifat khusyuknya (tunduk kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangan (anggota badan) nya.” (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, I/215)
Ilmu yang benar dan bermanfaat akan melahirkan amal saleh, bukan sekadar menjadi alat debat atau kebanggaan akademik. Ilmu seperti inilah yang membawa seseorang meraih derajat wali Allah. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa “Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).
Fenomena Warisan Akhir Zaman
Di berbagai tempat, kita sering menyaksikan bagaimana warisan bisa menjadi sumber konflik dalam sebuah keluarga. Banyak saudara kandung, kakak dan adik memutus hubungan silaturahmi karena berselisih dalam pembagian warisan peninggalan orang tua. Mereka memperjuangkan hak waris sebagai bekal melanjutkan hidup, meskipun kesedihan atas wafatnya orang yang dicintai masih menyelimuti. Mereka tahu bahwa warisan dapat bermanfaat, tetapi lupa tanpa ilmu dan iman, warisan itu berpotensi menimbulkan konflik.
Sebagaimana besar kecilnya warisan yang diterima anak seorang raja tentu berbeda dengan yang diwarisi oleh anak seorang budak, maka kehidupan mereka setelah ditinggal orang tuanya pun berjalan dalam jalan yang tak sama. Masyarakat pun sering melabeli orang yang lahir dari keluarga berada sebagai sosok yang “penuh privilege”.
Banyak orang berlomba-lomba mendapatkan warisan harta demi mengejar rasa aman dan nyaman dalam hidup. Namun kenyamanan sejati tidak terletak pada limpahan harta, melainkan pada ketenangan yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya yang bertakwa.
Islam tidak pernah menciptakan ketimpangan hakikat dalam rezeki batin. Allah SWT memberikan kesempatan yang setara bagi seluruh manusia untuk meraih warisan para nabi, yaitu ilmu dan iman, tanpa membedakan status sosial, garis keturunan, atau jumlah harta.
Maka, saat dunia membagi warisan dengan ukuran materi, Islam membukakan pintu warisan dengan ukuran kedekatan kepada Allah. Warisan berupa ilmu, iman, dan amal saleh memiliki keabadian dan kemuliaan yang jauh lebih besar daripada emas, properti, atau kekuasaan.
Harta bisa habis, namun ilmu yang bermanfaat akan terus mengalirkan pahala. Oleh karena itu, orang tua seharusnya tidak hanya sibuk mengumpulkan kekayaan untuk diwariskan, tetapi fokus membentuk karakter anak melalui ilmu dan keteladanan.
Mari kita jadikan ilmu sebagai warisan utama. Karena dengan ilmu, anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang mandiri, bertakwa, dan mampu memberi manfaat bagi umat. Itulah warisan sejati yang membuat kita tenang di alam kubur dan anak-anak kita mulia di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
