SURAU.CO – Pulau Buton yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara adalah salah satu kawasan penting dalam sejarah perdagangan rempah dunia. Buton menjadi titik penting dalam jalur perdagangan yang menghubungkan berbagai wilayah di Nusantara dan bahkan dunia. Pedagang dari India, Arab, Eropa, dan Cina sering melewati jalur ini untuk mencapai Maluku, pusat asal rempah-rempah. Demikian pula dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia bagian timur. Buton mencatat sejarah penting. Mengulas tentang Islamisasi di Buton, kita pun mesti mengenal Syaikh Abdul Wahid, ulama yan g mengislamkan Buton.
Dalam catatan sejarah Islamisasi Buton, terdapat sosok ulama besar yang sangat berpengaruh dan disegani, yakni Syaikh Abdul Wahid, ulama yang mengislamkan Buton. Ulama ini bernama lengkapa Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani. Beliau bukan hanya dikenang sebagai seorang dai yang menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini, melainkan juga sebagai tokoh spiritual, guru, dan arsitek peradaban Islam yang meletakkan dasar sistem pemerintahan Kesultanan Buton.
Sejarah Islamisasi di Indonesia
Sebelum membahas kiprah Syaikh Abdul Wahid secara lebih dalam, penting untuk melihat konteks sejarah masuknya Islam ke wilayah Indonesia. Islam pertama kali masuk ke nusantara melalui jalur perdagangan, interaksi budaya, dan pernikahan. Para pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arab banyak berdagang di pelabuhan-pelabuhan nusantara sejak abad ke-7 hingga ke-13 M. Dari situ, interaksi dengan masyarakat lokal terjadi secara damai dan perlahan membentuk komunitas Muslim di wilayah pesisir.
Proses Islamisasi di Indonesia berlangsung secara bertahap dan unik di tiap daerah. Di wilayah barat, seperti Sumatera dan Jawa, Islam datang lebih awal dan berkembang cepat. Sementara itu, di kawasan timur Indonesia, Islam datang belakangan dan melalui jalur yang sedikit berbeda, yakni melalui peran tokoh-tokoh ulama yang datang langsung dari Timur Tengah. Syaikh Abdul Wahid adalah salah satu tokoh sentral dalam proses ini, khususnya di Pulau Buton.
Kedatangan Syaikh Abdul Wahid ke Buton
Menurut berbagai sumber sejarah dan tradisi lisan masyarakat Buton, Syaikh Abdul Wahid berasal dari Yaman, tepatnya dari wilayah Hadhramaut, sebuah kawasan yang terkenal sebagai tempat lahirnya para ulama dan da’i. Hadhramaut telah lama memiliki hubungan dagang dan keilmuan dengan nusantara, dan banyak ulama dari sana yang mengembara untuk menyebarkan ajaran Islam di nusantara.
Tidak ada catatan pasti mengenai waktu kedatangan Syaikh Abdul Wahid ke Buton, tetapi para sejarawan memperkirakan kehadirannya terjadi pada awal abad ke-16. Saat itu, Buton masih merupakan kerajaan tradisional dengan sistem kepercayaan animisme dan dinamisme, meskipun pengaruh Hindu-Buddha sudah mulai masuk dari wilayah lain di Indonesia.
Catatan lain menyebutkan, sebelum tiba di Buton, Syekh Abdul Wahid tinggal di Johor Malaysia dan kemudian pindah ke Adonara, Nusa Tenggara Timur, bersama istrinya. Pada tahun 1526 M, Syekh Abdul Wahid bin Sulaiman al-Fathani dan keluarganya hijrah ke Pulau Batu Atas, sebuah pulau kecil dekat Laut Banda yang termasuk dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Buton. Di sanalah ia bertemu dengan Imam Pasai yang kembali dari Maluku. Imam Pasai menyarankan Syekh Abdul Wahid untuk pergi ke Buton dan menyebarkan agama Islam.
Syaikh Abdul Wahid datang bukan hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga membawa nilai-nilai peradaban, ilmu pengetahuan, hukum, dan tatanan sosial baru yang kelak mengubah arah sejarah Pulau Buton secara menyeluruh.
Strategi Dakwah yang Damai dan Bijaksana
Salah satu keistimewaan Syaikh Abdul Wahid adalah metode dakwahnya yang damai, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai lokal. Ia tidak datang dengan pendekatan pemaksaan atau kekerasan, melainkan dengan cara-cara yang santun, persuasif, dan sangat memperhatikan kearifan budaya setempat.
Beliau memahami bahwa perubahan keyakinan tidak bisa dengan cara instan, apalagi pada masyarakat yang sangat kuat memegang tradisi leluhur. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan sosial-kultural, mempererat hubungan dengan masyarakat, membantu mereka dalam urusan sehari-hari, serta memberikan contoh nyata akhlak Islam melalui perilaku dan keteladanannya.
Syaikh Abdul Wahid terkenal sebagai pribadi yang bijaksana, penyabar, serta memiliki ilmu agama yang tinggi. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pandai berinteraksi dengan para pemimpin lokal, bangsawan, dan rakyat jelata. Kepribadiannya yang menarik ini memudahkan jalannya dalam menyampaikan dakwah dan menyebarkan ajaran Islam.
Mengislamkan Raja Buton: Peristiwa Bersejarah
Puncak dari dakwah Syaikh Abdul Wahid adalah saat ia berhasil mengislamkan Raja Buton ke-6, yang bernama Murhun. Setelah memeluk Islam, sang raja kemudian berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis, dan beliau menjadi sultan pertama dalam sejarah Kesultanan Buton.
Peristiwa ini merupakan tonggak penting dalam sejarah Islam di Sulawesi Tenggara. Karena pengislaman seorang raja memiliki dampak sangat besar dalam struktur sosial masyarakat. Rakyat Buton yang sangat menghormati rajanya pun mengikuti jejak sang pemimpin dan berbondong-bondong memeluk Islam.
Pengislaman Raja Murhun tidak hanya mengubah kepercayaan pribadi seorang raja, tetapi juga mengubah arah pemerintahan. Dengan demikian, kerajaan Buton resmi bertransformasi menjadi Kesultanan Islam, dengan struktur pemerintahan, hukum, dan budaya yang berlandaskan syariat.
Peran Sentral dalam Pendirian Kesultanan Buton
Setelah pengislaman sang raja dan terbentuknya Kesultanan Buton, Syaikh Abdul Wahid tidak lantas berhenti berperan. Justru sebaliknya, beliau aktif terlibat dalam menyusun struktur pemerintahan dan konstitusi Kesultanan Buton. Salah satu warisan penting yang berasal dari pemikiran beliau adalah sistem konstitusi Martabat Tujuh. Yaitu tatanan pemerintahan dan kehidupan sosial yang memadukan nilai-nilai Islam dan adat lokal.
Beliau juga turut membentuk lembaga pendidikan Islam, tempat para pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat belajar Al-Qur’an, fiqih, tasawuf, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Lembaga-lembaga inilah yang kelak mencetak para ulama dan intelektual Buton yang melanjutkan dakwah Islam ke daerah lain di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya.
Syaikh Abdul Wahid menjadi penasihat spiritual dan politik bagi sultan, serta berperan menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai prinsip-prinsip Islam. Beliau meletakkan dasar bagi pemerintahan yang adil, berbasis syariah, dan menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.
Warisan Abadi dan Pengaruhnya Hingga Kini
Meski Syaikh Abdul Wahid telah lama wafat, pengaruh dan warisannya tetap hidup dan terjaga di tengah masyarakat Buton hingga saat ini. Makam beliau yang berada di wilayah Batu Poaro Kota Baubau dan menjadi salah satu situs ziarah penting. Baik bagi masyarakat lokal maupun pengunjung dari luar Buton dan Baubau.
Nama dan keteladanannya masih sering terungkap dalam berbagai kegiatan keagamaan, budaya, dan pendidikan di Buton. Banyak pesantren dan madrasah di Buton yang tetap mengajarkan ajaran-ajaran yang sejalan dengan nilai-nilai yang beliau tanamkan.
Sementara itu, Kesultanan Buton sendiri bertahan selama berabad-abad, bahkan hingga masa kemerdekaan Indonesia. Struktur sosial dan budaya Buton saat ini masih menyimpan jejak dari sistem Kesultanan. Dahulu yang merintisnya adalah Sultan Murhum bersama Syaikh Abdul Wahid. Tradisi keislaman, seperti upacara Maulid Nabi, pengajian akbar, dan pembacaan syair keagamaan, tetap lestari oleh masyarakat di jazirah Buton.
Keteladanan Ulama Sejati
Syaikh Abdul Wahid bukan hanya seorang dai, tetapi juga tokoh perubahan dan pemimpin peradaban. Beliau menunjukkan bahwa dakwah Islam bisa terwujud dengan pendekatan yang penuh kasih sayang, akhlak mulia, dan penghargaan terhadap budaya lokal. Melalui kerja keras dan keteladanannya, ia berhasil mengubah sebuah kerajaan menjadi pusat peradaban Islam yang berpengaruh di kawasan timur Indonesia.
Kisah Syaikh Abdul Wahid adalah contoh nyata bagaimana Islam menyebar bukan melalui pedang. Melainkan melalui ilmu, kebijaksanaan, dan cinta kepada sesama manusia. Ia adalah ulama besar yang patut diteladani oleh generasi Muslim masa kini.
Dengan mengenang jasa dan perjuangan beliau, kita tidak hanya menghormati sejarah, tetapi juga mendapatkan inspirasi untuk membangun masyarakat yang adil, religius, dan beradab, sebagaimana yang pernah beliau wujudkan di tanah Buton.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
