Berbicara tentang jiwa adalah kita membicarakan sesuatu yang abstrak, yang takbtampak dalam dunia nyata, penuh teka teki berbicara tentang jiwa butuh bimbingan wahyu yang bersandar pada dalil shahih dan berpijak dalam riwayat shahih bukan hayalan belaka.
Mengukir jiwa pekerjasn berat yang berat dan butuh analisa mendalam dan menyentuh inti persoalan kehidupan yang sangat butuh bimbingan wahyu dan menyerahkan semua kepada Allah.
Mengukir Jiwa adalah ungkapan yang puitis dan penuh makna. Ia menggambarkan proses mendalam dalam membentuk, memperhalus, dan memperindah batin seseorang seperti seorang seniman yang sabar memahat batu menjadi karya seni, demikian pula jiwa manusia dibentuk oleh pengalaman, ilmu, dan kesadaran akan Tuhan. Berikut beberapa refleksi atas makna “Mengukir Jiwa”:
Jiwa Tidak Datang Sempurna
Manusia lahir dengan jiwa yang masih polos. Ia akan terisi dan terbentuk oleh apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan diyakini. Maka dari itu, proses mengukir jiwa adalah tanggung jawab seumur hidup—dari kecil hingga ajal tiba.
Ukiran Itu Bernama Akhlak: Yang paling indah dalam diri manusia bukan wajahnya, tapi akhlaknya. Jiwa yang terukir indah akan memancarkan kebaikan, kelembutan, dan keteguhan. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Pahatannya adalah Ilmu dan Zikir
Ilmu ibarat pahat, dan zikir adalah cahaya. Dengan keduanya, kita bisa mengikis karat dosa, memahat bentuk jiwa, dan menghiasnya dengan makna.
Jiwa yang kosong dari ilmu dan zikir akan rapuh, tak berdaya menghadapi ujian hidup.
Ujian Adalah Palunya: Dalam proses ukiran, palu kerap digunakan. Begitu pula dalam hidup, ujian adalah palu yang mengetuk jiwa, agar bentuknya lebih dalam, kokoh, dan bernilai. Jangan takut pada ujian—karena di situlah Allah sedang menata bentuk terbaik dari jiwamu.
Air Mata Adalah Cairan Penghalusnya
Air mata karena taubat, rindu, atau syukur adalah bagian dari proses penyucian. Jiwa yang menangis karena Allah, akan terangkat nilainya di sisi-Nya. Bukankah Rasulullah ﷺ bersabda:
“Dua mata yang tidak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah…” (HR. Tirmidzi)
Mengukir Jiwa di Keheningan: Saat dunia sibuk dengan kebisingannya, jiwa yang terukir indah justru dibentuk dalam keheningan—di waktu malam, dalam sujud panjang, atau tafakur seorang diri. Di sanalah seseorang bisa jujur kepada dirinya dan Rabb-nya.
Setiap Ukiran Butuh Kesabaran
Tak ada pahatan yang sempurna dalam sekali ketukan. Demikian pula jiwa manusia. Ia butuh kesabaran, konsistensi, dan keberanian untuk terus memperbaiki diri. Bahkan jatuh bangun dalam perjalanan itu bagian dari proses keindahan.
Penutup: “Mengukir jiwa” adalah seni hidup seorang mukmin.
Ia tak selalu terlihat, tapi terasa. Tak selalu berbunyi, tapi menggetarkan. Hanya orang yang sungguh-sungguh mendekat kepada Allah yang mampu membentuk jiwanya menjadi lentera bagi dirinya dan orang lain.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Kata Hati Selalu Benar?
Sering kita dengar ungkapan: “Ikuti kata hati, karena kata hati selalu benar.”
Ungkapan ini terdengar indah dan memotivasi. Namun benarkah bahwa kata hati selalu benar? Mari kita kaji secara lebih dalam dari sisi fitrah, akal, dan wahyu.
1. Fitrah: Hati sebagai Kompas Moral
Dalam Islam, hati (qalb) memang diciptakan sebagai bagian yang sensitif terhadap kebenaran.
Nabi ﷺ bersabda:
“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa yang membuat jiwamu tenang, sedangkan dosa adalah apa yang membuat hatimu gelisah, meskipun orang-orang memberikan fatwa kepadamu.” (HR. Ahmad dan ad-Darimi, hasan)
Hadis ini menunjukkan bahwa hati yang bersih bisa membimbing pada kebenaran. Namun syaratnya: hati itu harus lurus, jujur, dan tidak tertutup oleh hawa nafsu.
2. Hati Bisa Salah: Jika Tertutup Dosa dan Hawa Nafsu
Allah juga mengingatkan bahwa tidak semua hati bersih. Ada hati yang:
Terkunci (QS. Al-Baqarah: 7)
Sakit (QS. Al-Baqarah: 10)
Keras (QS. Al-Baqarah: 74)
Tertutup oleh dosa (QS. Al-Muthaffifin: 14)
Jadi, tidak semua kata hati itu benar, terlebih jika hati telah dikotori oleh syahwat, cinta dunia, atau pemikiran yang menyimpang dari wahyu.
3. Ukuran Kebenaran: Wahyu, Bukan Perasaan
Islam menempatkan wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai tolak ukur utama kebenaran, bukan perasaan atau bisikan hati semata.
> “Maka apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka akan menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(QS. An-Nisa: 82)
Ketika hati mengatakan satu hal, tapi wahyu menegur atau menyalahkan, maka yang kita ikuti adalah wahyu, bukan rasa.
4. Peran Akal Sehat dan Ilmu
Selain hati dan wahyu, Islam juga menganjurkan penggunaan akal yang jernih dan ilmu yang benar. Allah berulang kali menyeru:
> “Afala ta’qilun?” (Tidakkah kalian berpikir?)
“Afala tatafakkarun?” (Tidakkah kalian merenung?)
Tanpa ilmu, “kata hati” bisa berubah menjadi sekadar bisikan nafsu atau was-was setan. Maka, hati harus diberi cahaya ilmu dan iman agar ia bisa menilai dengan tepat.
5. Hati yang Bersih Selalu Cenderung pada Kebaikan
Memang benar, jika hati telah dijaga dengan zikir, ilmu, dan amal saleh, maka ia akan peka terhadap kebenaran.
Seorang ulama salaf pernah berkata:
“Barang siapa menghiasi batinnya dengan muraqabah (merasa diawasi Allah), maka hatinya akan menjadi mata baginya.”
Maka penting bagi kita untuk membersihkan hati, bukan membenarkan semua yang dikatakan hati.
Kesimpulan: Kata Hati Bisa Benar, Tapi Tidak Selalu
Kata hati bisa menjadi petunjuk, jika hati itu bersih dan jujur.
Tapi kata hati bisa salah, jika dikotori oleh nafsu, kebodohan, atau kesombongan.
Maka, jangan jadikan kata hati sebagai satu-satunya penentu kebenaran. Gunakan wahyu sebagai kompas utama, dengan bimbingan akal dan ilmu yang lurus.
Penutup: Hati yang Hidup adalah Hati yang Dipandu Wahyu
“Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rawat hatimu dengan iman, bersihkan dengan taubat, dan pandulah dengan wahyu. Maka kata hati akan benar — karena ia dipandu oleh Allah. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.