Bermain Kata-Kata Bukan Dusta?
Dalam kehidupan modern, retorika, diplomasi, dan permainan bahasa sering dipandang sebagai seni. Banyak orang pandai menyusun kata-kata sehingga tampak benar, padahal mengaburkan makna. Mereka berkata:
“Saya tidak bohong. Saya hanya pintar memilih kata.”
Benarkah bermain kata-kata itu bukan dusta?
1. Islam Menuntut Kejujuran, Bukan Kepintaran Merangkai Kata
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan seseorang yang senantiasa jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada kefajiran, dan kefajiran itu membawa ke neraka. Dan seseorang yang senantiasa berdusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, meskipun tidak secara eksplisit berdusta, menyampaikan sesuatu dengan niat menyembunyikan kebenaran tetap termasuk kategori khianat atau maksiat lisan.
2. Bermain Kata-Kata: Antara Diplomasi dan Tipu Daya
Dalam batas tertentu, memilih kata yang tepat dan santun adalah bagian dari akhlak mulia, seperti ketika Nabi Ibrahim berkata kepada kaumnya tentang patung-patung mereka:
“Sesungguhnya yang menghancurkan berhala itu adalah yang paling besar ini.” (QS. Al-Anbiya: 63)
Namun para ulama menegaskan: itu bukan kebohongan murni, tapi siasat dakwah dengan hikmah, bukan untuk menipu, melainkan menyadarkan.
Berbeda halnya dengan orang yang bermain kata-kata untuk menipu, menyesatkan, atau mengelabui orang lain — ini bukan diplomasi, tapi kedustaan yang dibungkus retorika.
3. Hakikat Dusta Bukan Sekadar Kata, Tapi Niat
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa dusta bukan hanya pada lisan, tapi juga pada maksud dan niat.
Jika seseorang mengatakan sesuatu yang secara harfiah benar, tetapi dengan niat menyesatkan, maka itu tetap termasuk ghurur (tipu daya) atau makna dusta.
Contoh: Seorang suami berkata kepada istrinya: “Aku tidak pernah ke rumah itu,” padahal yang dimaksud rumah yang satunya, padahal maksudnya ingin menyembunyikan perselingkuhan.
Seorang pemimpin berkata: “Kami tidak pernah menelantarkan rakyat,” padahal kenyataannya mereka hanya memindahkan tanggung jawab.
Kalimat seperti ini terdengar benar, tapi hakikatnya menyesatkan.
4. Allah Tidak Bisa Dikelabui Retorika
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri, dan mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9)
Mereka pandai bermain kata-kata, menata narasi, menyembunyikan maksud. Tapi Allah Maha Tahu isi hati. Bahkan dalam Al-Qur’an, munafik adalah contoh paling nyata dari orang yang pandai bersilat lidah, namun dibenci Allah.
5. Komunikasi dalam Islam: Jelas, Jujur, dan Amanah
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tanda orang munafik itu tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia ingkar; dan jika diberi amanah, ia khianat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka bermain kata untuk membela diri, menghindar dari tanggung jawab, atau menggiring opini ke arah yang keliru — adalah kebohongan terselubung.
Refleksi: Apakah Kita Termasuk yang Pandai Bersilat Lidah?
Mari kita tanya diri sendiri:
Apakah kita pernah berkata separuh kebenaran untuk menyembunyikan sisi yang lain?
Apakah kita memakai bahasa “halus” untuk memanipulasi fakta?
Apakah kita menyusun kalimat agar orang lain tidak memahami kenyataan yang sebenarnya?
Jika iya, mungkin kita tidak berdusta secara literal, tapi bermain di area abu-abu yang berbahaya.
Penutup: Jujurlah, Meski Tidak Menarik
Kejujuran kadang tidak terdengar indah. Tapi ia menenangkan hati dan menyelamatkan jiwa.
> “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Jangan bangga bisa merangkai kata demi menyelamatkan diri, tapi banggalah bisa jujur meski harus berani kehilangan. Karena di sisi Allah, bukan kefasihan yang akan ditanya, tapi niat dan kebenaran isi hati. (Tengku Iskandar, M. Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
