SURAU.CO – Di tengah dinamika bangsa yang majemuk, masyarakat Indonesia terus mengingat nama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai simbol toleransi dan keberagaman. Presiden keempat Republik Indonesia ini tidak hanya berperan sebagai ulama dan pemimpin negara, tetapi juga menampilkan dedikasi luar biasa dalam menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, keadilan, dan kemanusiaan.
Pluralisme: Jalan Hidup, Bukan Sekadar Konsep
Gus Dur memandang pluralisme bukan sebagai istilah akademik yang rumit. Ia justru menjadikannya sebagai prinsip hidup sehari-hari. Singkatnya, seluruh warga Indonesia memiliki tempat yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa memandang agama, suku, ras, atau latar belakang budaya. Oleh karena itu, ia meyakini bahwa keberagaman merupakan karunia Tuhan yang perlu kita syukuri.
Sebagai ulama besar sekaligus pemikir Islam progresif, Gus Dur secara konsisten memadukan nilai-nilai keislaman dengan semangat keterbukaan dan menghargai sesama. Ia menolak dengan tegas segala bentuk diskriminasi dalam bentuk apapun. Seperti yang ia ungkapkan dalam sebuah kesempatan, “Tidak penting apa agama atau sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik kepada semua orang, orang tidak bertanya kamu siapa.” Kalimat ini tidak sekedar kutipan, tetapi mencerminkan prinsip hidup yang ia jalankan dengan konsisten.
Komitmen Nyata terhadap Kelompok Minoritas
Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme tidak berhenti pada wacana. Ia mengambil langkah nyata dan berani untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas yang selama masa Orde Baru mengalami tekanan sistematis., terutama komunitas Tionghoa dan pemeluk agama Konghucu.
Misalnya, Gus Dur mencabut larangan perayaan Imlek melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Kebijakan ini mengizinkan masyarakat Tionghoa kembali merayakan tradisi mereka secara terbuka. Tak hanya itu, Gus Dur juga mengakui Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Dengan langkah ini, sebuah langkah berani yang mengembalikan hak-hak sipil yang lama terpinggirkan.
Selain itu, Gus Dur juga membubarkan Departemen Penerangan. Ia memandang bahwa lembaga tersebut selama Orde Baru sering digunakan pemerintah sebagai alat kontrol terhadap media dan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, ia memilih menutupnya demi membuka ruang yang lebih sehat dan adil bagi demokrasi serta media yang bebas dan adil bagi media dan masyarajat sipil.
Mengedepankan Dialog, Bukan Kekerasan
Ketika banyak pemimpin memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan konflik, Gus Dur justru menunjukkan jalan yang berbeda. Ia lebih memilih menyelesaikan persoalan dengan jalan dialog. Dalam menghadapi persoalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), misalnya, ia membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Melalui lembaga ini, ia membuka ruang penyelesaian konflik secara damai dan berkeadilan bagi semua pihak.
Langkah tersebut menampilkan keyakinan Gus Dur bahwa hanya dialog yang mampu menghadirkan solusi jangka panjang. Ia percaya, jalan damai lebih mampu menyembuhkan luka-luka sosial masyarakat daripada pendekatan kekuasaan dan kekerasan.
Pembela Hak Asasi Manusia
Lebih jauh lagi, Gus Dur juga menunjukkan komitmen kuat terhadap perjuangan hak asasi manusia. Ia menolak segala bentuk diskriminasi dan memperjuangkan hak-hak dasar bagi semua warga negara. Menurutnya, semua orang memiliki derajat yang sama di hadapan hukum, termasuk kelompok minoritas. Oleh karena itu, ia memperjuangkan kebebasan mereka untuk mengekspresikan identitas secara terbuka.
Sikap ini tidak lahir dari pandangan politik semata. Justru, Gus Dur memperjuangkan HAM berlandaskan pada ajaran Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kasih sayang dan keadilan. Ia sering menyampaikan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, menurutnya, agama tidak boleh dijadikan alat untuk menindas, menghakimi, atau mengeksklusikan pihak lain.
Meski Gus Dur wafat pada tahun 2009, semangat dan pemikirannya tetap hidup dalam denyut nadi bangsa Indonesia. Ia tidak sekedar orang kenang sebagai Presiden, tetapi sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Julukan ini masyarakat sematkan sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya yang tulus dalam membangun bangsa Indonesia yang inklusif dan adil bagi semua.
Bahkan hingga kini, jejak langkah Gus Dur tetap menjadi inspirasi bagi generasi muda. Ketika intoleransi, kebencian, dan politik identitas kian marak, nilai-nilai pluralisme dan keadilan sosial yang Gus Dur ajarkan mampu menjadi kompas moral yang penting. Ia mengajarkan bahwa mencintai Indonesia berarti menghargai keberagaman dan memperjuangkan keadilan untuk semua.
Dari Gus Dur, kita belajar bahwa keadilan, kemanusiaan, dan toleransi harus menjadi roh kehidupan berbangsa. Indonesia adalah rumah bersama, dan kita semua bertanggung jawab untuk merawatnya.
Referensi:
- Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000
- Komnas HAM dan dokumentasi hak minoritas
- Kutipan Gus Dur dalam forum publik dan wawancara
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
