Masjid
Beranda » Berita » Masjid 99 Kubah dan Renungan tentang Keteguhan Iman di Tengah Gelombang Zaman

Masjid 99 Kubah dan Renungan tentang Keteguhan Iman di Tengah Gelombang Zaman

Masjid 99 Kubah dan Renungan tentang Keteguhan Iman di Tengah Gelombang Zaman

Masjid 99 Kubah dan Renungan tentang Keteguhan Iman di Tengah Gelombang Zaman.

Di ufuk timur kota Makassar, tepat di tepi Pantai Losari yang terkenal, berdirilah sebuah mahakarya arsitektur Islam nan megah: Masjid 99 Kubah. Dalam bayangannya yang terpantul tenang di permukaan air, tersembunyi banyak makna yang bisa direnungi oleh hati yang ingin belajar, oleh ruh yang ingin dekat pada Ilahi, dan oleh akal yang haus akan hikmah.

Masjid ini bukan hanya sebuah bangunan tempat bersujud. Ia adalah simbol keteguhan iman, kekuatan doa, dan semangat umat Islam dalam menegakkan kalimat tauhid. Kubah-kubahnya yang berjumlah 99 bukan sekadar angka, tetapi merupakan representasi dari Asmaul Husna—nama-nama Allah yang indah dan agung.

Arsitektur Iman yang Tersusun Rapi

Coba kita lihat bentuk dan susunan kubah-kubah masjid tersebut. Tidak asal berdiri. Ada harmoni, ada perhitungan yang teliti, ada keteraturan dalam tata letaknya. Begitulah seharusnya kehidupan seorang mukmin. Iman kita harus dibangun secara bertahap, sistematis, dan kuat fondasinya. Seperti Rasulullah ﷺ membina para sahabat selama 13 tahun di Makkah, mengokohkan akidah sebelum memerintahkan jihad, mengajarkan tauhid sebelum menekankan syariat.

Dalam surat At-Tawbah ayat 109, Allah berfirman:

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

> “Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu lebih baik, ataukah orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh lalu bangunan itu pun runtuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. At-Tawbah: 109)

Bangunan iman, seperti juga bangunan masjid, harus dibangun di atas dasar takwa, bukan dunia semata. Kubah yang 99, jika dihayati, mengajarkan kepada kita untuk hidup dalam naungan nama-nama Allah. Jika kita meyakini bahwa Allah itu Ar-Razzaq, maka kita tidak akan khawatir rezeki. Jika kita yakin bahwa Allah itu Al-Hafizh, kita akan tenang dalam penjagaan-Nya.

Ketundukan di Tengah Kemajuan

Gambar yang tampak adalah kontras antara dua dunia: kemajuan arsitektur modern dengan kapal-kapal tinggi dan gedung menjulang, dan di tengahnya tegak berdiri sebuah masjid, sebagai poros spiritual di tengah peradaban material. Beginilah seharusnya Islam hadir di zaman modern.

Bukan sebagai musuh kemajuan, tapi sebagai pengarahnya. Bukan menolak teknologi, tapi membimbing teknologi agar tidak membinasakan manusia. Bukan menentang pembangunan, tapi memurnikan tujuan pembangunan: bukan hanya untuk mengejar keuntungan, tetapi juga keberkahan.

Masjid 99 Kubah menjadi pelajaran bahwa dalam hiruk-pikuk dunia, masih ada tempat untuk menunduk, bersujud, dan mengingat akhirat.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Laut yang Tenang, Jiwa yang Damai: Pantulan masjid di permukaan air yang tenang mengisyaratkan satu hal penting: ketenangan jiwa adalah refleksi dari kedekatan dengan Allah. Air tidak bisa memantulkan apa pun jika ia bergelombang. Demikian pula hati yang penuh kegelisahan dunia, tak bisa memantulkan cahaya petunjuk.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Ketahuilah, bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Cobalah sesekali duduk merenung di tepi laut, seperti dalam foto itu. Diam. Hening. Dengarkan ombak. Lihat cakrawala. Ingat kembali betapa kecilnya kita di hadapan kekuasaan-Nya. Masjid itu menjadi pengingat: seindah-indah pemandangan, tidak akan menenangkan hati jika tidak diiringi dengan zikir.

Makna 99 dalam Kehidupan

Kenapa 99 kubah? Kenapa tidak 100 atau 50? Tentu ini bukan tanpa makna. Angka 99 merujuk pada Asmaul Husna, sifat-sifat Allah yang sempurna. Dari situ kita diajarkan untuk membentuk pribadi yang meneladani sifat-sifat tersebut—bukan menjadi Tuhan, tentu saja, tetapi menjadi hamba yang bertaqwa.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Jika Allah itu Maha Pengampun (Al-Ghaffar), apakah kita mudah memaafkan?
Jika Allah itu Maha Penyayang (Ar-Rahim), apakah kita sudah lembut pada sesama?
Jika Allah itu Maha Bijaksana (Al-Hakim), apakah kita menggunakan akal dengan bijak?

Masjid ini seakan ingin berteriak kepada dunia: “Bangunlah umat yang mengenal Tuhan mereka!” Bukan hanya secara teoritis, tapi sampai ia hidup dalam keseharian mereka. Umat yang menyebut Ar-Rahman, tapi juga bersikap penuh kasih. Umat yang menyebut Al-Adl, lalu menegakkan keadilan.

Pantulan, Bukan Bayangan Palsu: Coba perhatikan pantulan masjid di permukaan laut. Terlihat sama seperti aslinya, tapi sebenarnya hanya pantulan. Tidak kokoh. Tidak bisa disentuh. Tak berwujud nyata.

Inilah peringatan bagi kita: jangan sampai hidup kita hanya menjadi “pantulan” keimanan. Tampak dari luar seperti orang beragama, tapi kosong dari dalam. Salat, tapi tanpa khusyuk. Mengaji, tapi tanpa makna. Berdakwah, tapi hatinya gersang.

Iman yang sejati adalah yang kokoh seperti bangunan masjidnya, bukan sekadar pantulan yang bisa hilang diterpa angin.

Kapal-Kapal dan Tujuan Hidup

Tampak dalam gambar, beberapa kapal bersandar di pelabuhan dekat masjid. Ini pun bisa menjadi simbol reflektif: hidup kita seperti pelayaran. Setiap kapal punya tujuan, dan setiap pelaut butuh kompas. Masjid adalah kompasnya. Iman adalah arah pelayaran.

Tanpa kompas, kapal bisa tersesat. Tanpa iman, hidup akan terombang-ambing. Dunia penuh badai fitnah. Teknologi, hedonisme, budaya populer, semua bisa menjadi ombak yang menghantam akidah jika tidak hati-hati.

Allah berfirman:

> “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.” (QS. Fussilat: 30)

Kembali Menjadi Hamba: Akhirnya, refleksi dari gambar ini mengajak kita untuk kembali menjadi hamba sejati. Di tengah bangunan-bangunan tinggi, di tengah ambisi dan rencana besar manusia, tetap ada masjid sebagai pusat pengingat.

Ia tak memekik, tapi ia berseru. Ia tak mengejar manusia, tapi ia menanti. Ia tak memaksa, tapi selalu membuka pintu.

Masjid, dalam kesunyiannya, adalah rumah bagi hati yang rindu kepada Tuhan. Dan setiap dari kita, seberapa pun jauh tersesat, bisa kembali pulang.

Penutup: Jadilah Seperti Masjid Itu

Dalam hidup ini, mari kita belajar menjadi seperti masjid dalam gambar itu:

Kokoh berdiri di tengah gelombang zaman.
Menjadi pusat ketenangan di tengah hiruk pikuk dunia.
Memantulkan nama-nama Allah dalam setiap sisi kehidupan.
Menjadi arah dan tujuan bagi para pelayar kehidupan.

Karena sejatinya, hidup ini adalah perjalanan menuju satu tempat: kembali kepada Allah.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ، وَثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ، وَاخْتِمْ لَنَا بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ.

Ya Allah, jadikan kami hamba-hamba-Mu yang shaleh. Teguhkan hati kami di atas agama-Mu. Dan wafatkan kami dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement