Fiqih
Beranda » Berita » Menghindari Riba: Jalan Menuju Harta yang Suci dan Berkah

Menghindari Riba: Jalan Menuju Harta yang Suci dan Berkah

Hukum Asuransi dalam Islam

Menghindari Riba: Jalan Menuju Harta yang Suci dan Berkah

SURAU.CO – Dalam ajaran Islam yang komprehensif, terdapat beberapa dosa besar yang diancam dengan keras. Salah satu yang paling menonjol adalah riba. Larangan terhadap riba bukan sekadar aturan finansial. Sebaliknya, ia adalah fondasi untuk membangun tatanan ekonomi yang adil dan spiritualitas yang bersih. Allah SWT secara eksplisit mengharamkan praktik ini dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW pun menegaskan kembali larangan tersebut melalui banyak hadis. Oleh karena itu, setiap muslim memiliki kewajiban untuk memahami esensi riba. Selanjutnya, kita harus berjuang keras untuk menjauhinya dalam setiap sendi kehidupan, baik dalam skala besar maupun transaksi kecil sehari-hari.

Sering kali, kita terjebak dalam sistem ekonomi modern yang seolah menormalisasi riba. Pinjaman dengan bunga dianggap sebagai hal yang lumrah dan menjadi solusi cepat. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, tersembunyi bahaya besar yang mengancam keberkahan harta dan ketenangan jiwa. Memilih jalan yang bebas riba adalah sebuah bentuk ketakwaan. Ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa setiap rezeki yang kita nikmati berasal dari sumber yang halal dan mendapat rida oleh Sang Pencipta.

Mengurai Ancaman Riba yang Tegas dalam Syariat

Untuk menghindarinya, kita harus terlebih dahulu memahami apa itu riba. Secara bahasa, kata riba memiliki arti sederhana, yaitu tambahan atau pertumbuhan. Namun, dalam istilah syariat, maknanya menjadi sangat spesifik. Riba adalah setiap tambahan yang diambil dalam transaksi utang-piutang atau jual beli yang tidak dibenarkan oleh prinsip syariah. Tambahan ini muncul bukan karena adanya keuntungan dari usaha yang sah. Ia timbul murni karena berjalannya waktu atau sebagai syarat dalam sebuah pinjaman. Contoh paling umum dan mudah kita temukan adalah sistem pinjaman berbunga. Seseorang meminjamkan sejumlah uang dengan syarat pengembaliannya harus lebih besar dari pokok pinjaman.

Ancaman Allah SWT terhadap pelaku riba disampaikan dengan bahasa yang sangat keras dan tidak main-main. Hal ini menunjukkan betapa besar murka-Nya terhadap perbuatan ini. Allah berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah: 275)

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Ayat ini memberikan sebuah perumpamaan yang mengerikan. Kondisi pelaku riba di akhirat kelak seolah- olah seperti orang gila. Mereka kebingungan, tidak stabil, dan kehilangan arah. Ini adalah cerminan dari kehidupan mereka di dunia yang dipenuhi keresahan akibat harta haram. Allah kemudian membuat garis pemisah yang sangat jelas. Dia menghalalkan jual beli yang adil, tetapi secara mutlak mengharamkan riba. Ancaman ini bahkan meningkat ke level yang paling serius dalam ayat lainnya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
(QS. Al-Baqarah: 278–279)

Deklarasi perang dari Allah dan Rasul-Nya adalah ancaman tertinggi dalam Al-Qur’an. Tidak ada dosa lain, bahkan dosa besar sekalipun, yang berdampak pada hukuman sedahsyat ini. Hal tersebut seharusnya cukup untuk membuat setiap muslim bergetar dan berpikir ribuan kali sebelum mendekati praktik riba. Meninggalkan riba adalah bukti nyata dari keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah.

Dampak Destruktif Riba pada Kehidupan dan Harta

Larangan keras terhadap riba tentu memiliki hikmah yang sangat besar. Riba tidak hanya mendatangkan dosa, tetapi juga membawa dampak destruktif yang nyata. Ia merusak tatanan sosial, ekonomi, dan yang paling penting, spiritualitas individu. Salah satu dampak paling nyata adalah kezaliman. Riba secara inheren menindas pihak yang lemah. Orang yang meminjam biasanya berada dalam posisi terdesak dan membutuhkan bantuan. Namun, sistem riba justru mengeksploitasi kesulitan mereka dengan membebankan tambahan yang mencekik.

Selain itu, riba memicu ketimpangan ekonomi yang parah. Harta menjadi tidak produktif dan hanya berputar di kalangan orang-orang kaya. Mereka yang memiliki modal akan semakin kaya hanya dengan meminjamkan uangnya. Sementara itu, mereka yang membutuhkan modal untuk usaha produktif justru terjerat utang yang semakin besar. Akibatnya, jurang antara si kaya dan si miskin semakin melebar, menciptakan ketidakstabilan sosial. Namun, bahaya terbesar dari riba terletak pada aspek spiritual, yaitu hilangnya keberkahan. Rasulullah SAW bersabda:

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

“Riba itu walaupun banyak, maka akibatnya akan berakhir kepada kehancuran.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hadis ini adalah sebuah kepastian. Harta yang kita peroleh dari riba mungkin terlihat banyak secara kuantitas. Akan tetapi, ia hampa dari kualitas keberkahan. Harta tersebut tidak akan membawa ketenangan, justru mendatangkan masalah, keresahan, dan pada akhirnya akan habis tanpa bekas. Saya sering merenung, betapa banyak orang hari ini mengejar angka, tetapi lupa pada berkah. Mereka bangga dengan saldo rekening yang besar, tanpa menyadari bahwa jiwa mereka kosong dan hidup mereka jauh dari ketenangan sejati yang hanya bisa didapat dari rezeki halal.

Langkah Praktis Menuju Transaksi yang Bersih dan Berkah

Menghindari riba di zaman sekarang memang sebuah tantangan. Akan tetapi, itu bukanlah hal yang mustahil jika kita memiliki niat yang kuat dan ilmu yang cukup. Langkah paling fundamental adalah menjauhi segala bentuk pinjaman yang mensyaratkan bunga. Ini berlaku untuk pinjaman dari lembaga keuangan konvensional, pinjaman online, hingga pinjaman informal dari perorangan. Sebagai gantinya, kita harus aktif mencari alternatif yang sesuai syariah. Pilihlah lembaga keuangan syariah, seperti bank atau koperasi syariah. Mereka beroperasi dengan akad-akad yang adil, misalnya bagi hasil (mudharabah), kerja sama modal (musyarakah), atau jual beli dengan margin keuntungan (murabahah).

Sikap waspada juga harus kita terapkan dalam transaksi konsumtif. Berhati-hatilah saat membeli barang dengan sistem cicilan. Pastikan bahwa skema pembayaran tersebut tidak mengandung unsur denda keterlambatan yang merupakan riba atau bunga tersembunyi lainnya. Untuk bisa membedakannya, kita perlu membekali diri dengan ilmu. Pelajarilah dasar-dasar akad muamalah dalam Islam. Memahami prinsip di balik transaksi syariah akan menjadi benteng pertahanan kita dari praktik yang menyimpang. Di samping itu, pencegahan adalah strategi terbaik. Salah satu pemicu utama seseorang terjerat riba adalah kebutuhan mendesak yang tidak terduga. Oleh karena itu, mulailah menabung dan merencanakan keuangan dengan bijak. Dana darurat yang cukup dapat menyelamatkan kita dari keharusan berutang riba. Apabila Anda merasa ragu terhadap suatu transaksi, jangan pernah malu untuk bertanya kepada ahlinya. Konsultasikan masalah Anda kepada ustadz atau konsultan keuangan syariah yang tepercaya.

Nikah Siri Tanpa Izin Istri: Tinjauan Agama, Etika, dan Pidana

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement