Khazanah
Beranda » Berita » Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad: Sohibul Haddad

Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad: Sohibul Haddad

Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad: Sohibul Haddad
Ilustrasi: Makam Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad di Tarim Hadramaut, Yaman

SURAU.CO – Di tengah padang pasir Hadramaut, Kota Tarim berdiri sebagai mercusuar ilmu dan spiritualitas Islam. Dari kota yang dipenuhi jejak para wali dan ulama ini, lahirlah sosok agung bernama Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad. Umat Islam mengenalnya sebagai Sohibul Ratib al-Haddad, ulama besar dan sufi yang menyalakan cahaya dzikir dan ilmu di hati jutaan manusia.

Asal Usul dan Masa Kecil Sohibul Haddad

Sayyid Abdullah lahir pada malam Senin, 5 Shafar 1044 H di As-Subair, Tarim. Ayahnya, Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, merupakan seorang wali yang dikenal karena kesalehan dan ketakwaannya. Suatu hari, ia mengunjungi Imam Ahmad bin Muhammad al-Habsyi, seorang arif billah, yang berkata, “Anak-anakmu adalah anak-anakku. Mereka membawa keberkahan.” Ucapan itu menjadi isyarat atas lahirnya sosok istimewa: Abdullah.

Tak lama kemudian, Habib Alwi menikah dengan Salma binti Aidarus bin Ahmad al-Habsyi, cucu dari Imam Ahmad. Dari pernikahan tersebut, lahirlah anak-anak saleh, dan di antaranya adalah Sayyid Abdullah.

Namun, takdir Allah menguji Abdullah sejak kecil. Pada usia empat tahun, ia mengalami kerusakan hingga kehilangan penglihatan. Meski begitu, Abdullah kecil tidak menyerah. Sebaliknya, ia justru tumbuh dengan semangat tinggi, penuh mujahadah, dan tekun beribadah. Ia menghafal Al-Qur’an, menunaikan shalat sunah ratusan rakaat, dan terus mendekatkan diri kepada Allah. Sang nenek sempat berkata, “Kasihanilah dirimu,” namun Abdullah kecil tetap teguh. Allah mencabut penglihatannya, tetapi menganugerahkan bashirah —cahaya hati—yang jauh lebih tajam dari mata biasa.

Perjalanan Ilmu dan Spiritualitas

Seiring bertambahnya usia, semangat belajarnya kian membara. Sayyid Abdullah menempuh perjalanan ilmu dengan penuh dedikasi. Ia berguru kepada ulama besar seperti Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas, Habib Aqil bin Abdurrahman as-Saqqaf, dan Habib Abdurrahman bin Syaikh Aidid. Bagi beliau, ilmu bukan sekedar pengetahuan, melainkan jalan untuk mengenal Allah secara lebih dekat dan mendalam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Lebih lanjut, ia menganjurkan para penuntut ilmu mempelajari dasar-dasar setiap jenis ilmuu dan menjadikannya dasar untuk mendekat kepada Allah. Menurutnya, seseorang cukup mendalami satu bidang, yakni ma’rifatullah. Mengenai bidang lainnya, cukup dengan memahami dasar-dasarnya. Untuk membangun bangunan iman yang kokoh, Beliau  menyebut empat kitab sebagai rukun agama dan asas-asasnya ada empat: Shahih Bukhari (hadis), Tafsir al-Baghawi , Minhaj karya Imam Nawawi (fikih), dan Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Keempatnya menjadi pilar keilmuan yang menyatukan syariat, hakikat, dan akhlak.

Dakwah dengan Hikmah dan Menghidupkan

Setelah mencapai kematangan spiritual dan intelektual, Sayyid Abdullah mulai berdakwah. Ia tidak menyampaikan ajarannya dengan kekerasan atau intimidasi. Sebaliknya, ia berdakwah dengan hikmah, kelembutan, dan kasih sayang. Ia menyesuaikan pendekatan dakwah dengan latar belakang dan kemampuan lawan bicara. Ucapannya lembut, nasihatnya menenangkan, dan sikapnya penuh perhatian.

Selain berdakwah, beliau juga mendidik banyak ulama besar. Di antaranya adalah putra-putranya sendiri, Habib Hasan bin Abdullah al-Haddad, serta tokoh-tokoh lain seperti Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi, Habib Abdurrahman Balfaqih, dan Habib Muhammad bin Umar as-Saqqaf. Pengaruh keilmuannya sangat luas, tak hanya melalui pengajaran langsung, tapi juga lewat kitab-kitabnya yang kini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Karya Agung Ratib al-Haddad

Salah satu karya beliau yang paling masyhur adalah Ratib al-Haddad, yaitu susunan wirid yang singkat namun sarat makna. Ratib ini beliau susun untuk membentengi umat dari gangguan setan sekaligus melembutkan hati dengan dzikir kepada Allah. Tak heran jika hingga hari ini, jutaan umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, menjadikan Ratib al-Haddad sebagai amalan rutin harian.

Tak hanya Ratib, Sayyid al-Haddad juga menulis banyak kitab, seperti Risalah al-Mu’awanah , al-Nashaih al-Diniyyah , dan Ithaf al-Sail. ketiga karya ini tidak hanya memuat ajaran syariat dan tasawuf, tetapi juga membimbing pembaca dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sebagian ulama menyebut bahwa karya-karya beliau merupakan intisari dari pemikiran Imam al-Ghazali. Dengan bahasa yang sederhana namun dalam makna, beliau mampu menyatukan syariat, hakikat, dan akhlak secara harmonis.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Di Indonesia, kitab-kitab ini banyak diajarkan di pesantren dan menjadi bahan kajian di berbagai majelis ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu dan hikmah beliau tetap relevan dan dibutuhkan.

Majelis Ilmu dan Warisan Abadi

Tak hanya menulis, Sayyid Abdullah juga mendirikan majelis ilmu di Tarim. Majelis ini selalu diisi oleh para pencari ilmu dari berbagai kalangan. Uniknya, mereka yang hadir bisa melupakan dunia sesaat, bahkan orang yang sedang sakit pun bisa melupakan rasa sakitnya. Majelis beliau menjadi oase rohani di tengah hiruk-pikuk dunia.

Selain itu, beliau juga sangat menjaga sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia hidup dalam ketekunan menjalankan shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan berdakwah. Akidahnya kokoh dalam manhaj Ahlussunnah wal Jamaah, mengikuti jejak Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Pada hari Kamis, 27 Ramadhan 1123 H, beliau jatuh sakit. Setelah empat puluh hari menjalani sakit dengan penuh kesabaran, beliau wafat pada malam Selasa, 7 Dzulqaidah 1123 H, dalam usia hampir 80 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Basyar, Tarim—tempat yang penuh keberkahan.

Warisan yang Menyinari Dunia

Meskipun beliau telah wafat secara fisik, cahaya ilmu dan spiritnya terus hidup. Ratib al-Haddad menjadi jembatan ruhani yang menyambungkan hati manusia dengan Allah. Ajarannya tetap abadi dalam dzikir, dalam laku hidup para muridnya, dan dalam pesan-pesan hikmah yang terus dikaji dari generasi ke generasi.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah obor peradaban. Ia tidak hanya membimbing umat untuk mengenal Allah, tetapi juga menunjukkan bagaimana menjalani hidup sebagai manusia yang rendah hati, sabar, dan istiqamah.

sama pesannya dalam salah satu risalahnya:

“Jika kamu ingin kekasih menjadi Allah, maka jangan pernah lalai membersihkan hatimu dan memperbanyak dzikirmu. Karena hati yang bersih dan lidah yang basah dengan nama-Nya adalah pintu menuju cinta-Nya.”

Sohibul Haddad, engkaulah mata air hikmah yang tak pernah kering. (heniwati)

Referensi:

  1. Al-Haddad, Abdullah bin Alawi. Risalah al-Mu’awanah . Dar al-Hawi.
  2. Al-Haddad, Abdullah bin Alawi. Ratib al-Haddad .
  3. Umar, Muhammad. Sayyid Tarim: Biografi Sayyid al-Haddad . IB Tauris.

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement