SURAU.CO – Di tengah dunia yang ramai dengan pencitraan dan haus pengakuan, sikap tawadlu’ hadir sebagai oase yang menyejukkan jiwa. Tawadlu’ atau rendah hati, tidak mencerminkan kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan batin seseorang. Sikap ini tumbuh dari kesadaran bahwa Allah SWT hanya menitipkan ilmu, harta, kekuasaan, maupun popularitas kepada manusia. Maka, manusia tidak memiliki alasan untuk bersikap sombong.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa tawadlu’ merupakan buah dari ilmu yang benar dan pengenalan diri yang mendalam. Semakin seseorang menyadari kelemahan dirinya di hadapan Allah, semakin ia merendahkan hatinya kepada sesama.
Teladan Tawadlu’ dari Rasulullah ﷺ
Rasulullah Muhammad ﷺ menjadi teladan terbaik dalam menampilkan sikap tawadlu’. Meskipun beliau menjadi pemimpin umat dan utusan Allah, beliau menjalani hidup dengan penuh kerendahan hati. Dalam satu riwayat, para sahabat menyaksikan Rasulullah duduk dan makan bersama mereka tanpa membeda-bedakan tempat atau makanan. Bahkan, beliau menjahit sendiri pakaiannya dan membantu pekerjaan rumah tangga (HR. Bukhari).
Ketika seorang wanita merasa takut saat bertemu Rasulullah karena kewibawaannya, beliau berkata:
لا تقلق، أنا ابن امرأة قريشية تأكل القديد” (رواه ابن ماجه)”
“Tenanglah, aku ini hanyalah anak dari seorang wanita Quraisy yang biasa memakan daging yang dikeringkan .” (HR. Ibnu Majah)
Dengan kalimat itu, Rasulullah menunjukkan sikap rendah hati meskipun beliau merupakan manusia paling mulia.
Tawadlu’ dalam Kehidupan Sehari-hari
Setiap orang bisa menanamkan sifat tawadlu’, tidak hanya para nabi dan ulama. Seorang guru yang bersikap tawadlu’ tidak merasa dirinya paling tahu. Ia terus belajar, bahkan dari muridnya. Seorang pemimpin yang tawadlu’ mau mendengarkan masukan bawahannya dan lebih mengedepankan pelayanan daripada kekuasaan.
Di dalam keluarga, orang tua yang tawadlu’ tidak segan meminta maaf kepada anak saat berbuat salah. Sikap ini justru memberi contoh kejujuran dan keberanian untuk mengakui kekeliruan.
Di era digital seperti sekarang, tawadlu’ juga bisa hadir di media sosial. Saat banyak orang berlomba menunjukkan pencitraan untuk diakui, orang yang tawadlu’ memilih tampil sederhana. Ia tidak mencari “suka” atau komentar, karena ia tahu bahwa nilai dirinya bergantung pada keridhaan Allah, bukan pada pujian manusia.
Mengapa Tawadlu’ Itu Penting?
Pertama, tawadlu’ membuka jalan menuju surga. Rasulullah ﷺ bersabda:
من جاهد نفسه لله رفعه الله” (رواه مسلم)”
“Barangsiapa menegaskan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Kedua, tawadlu’ mengundang cinta dari Allah dan sesama manusia. Abu Laits As-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin menyebutkan bahwa orang yang tawadlu’ lebih mudah dicintai, karena ia tidak menyakiti hati orang lain dan tidak memanipulasi orang lain demi kepentingannya.
Ketiga, tawadlu’ membuat hati menjadi lebih lapang. Orang yang rendah hati tidak sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia merasa cukup dengan apa yang ia miliki dan tidak merasa lebih baik dari siapa pun.
Menumbuhkan Sikap Tawadlu’
Tawadlu’ bukan sifat yang lahir begitu saja, melainkan hasil dari latihan dan kesadaran. Seseorang perlu menyadari bahwa semua kelebihan yang ia miliki berasal dari Allah. Ilmu bisa hilang, jabatan bisa berganti, dan harta bisa lenyap kapan saja.
Untuk itu, beberapa langkah sederhana bisa kita lakukan, antara lain:
- Tidak merasa lebih baik dari orang lain.
- Menerima kritik dan nasihat dengan lapang dada.
- Menghindari pamer, baik dalam kehidupan nyata maupun di media sosial.
- Mengakui kesalahan dan belajar dari siapa saja, termasuk dari orang yang lebih muda atau tidak dikenal.
Penutup
Tawadlu’ bukan sekadar sikap baik, tetapi jalan sunyi yang mengantar pada keindahan hidup. Di tengah dunia yang semakin individualistik dan kompetitif, sikap rendah hati menjadi kekuatan langka yang menyinari.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“ومن يتكبر يرفعه الله، ومن يتكبر يضعه الله”
“Barangsiapa bersifat tawadlu’, niscaya Allah akan mengangkatnya; dan barangsiapa yang bermaksud sombong, Allah akan menghinakannya.” (HR. Ahmad)
Mari kita berjalan di atas jalan tawadlu’. Bukan untuk mencari pujian, melainkan untuk mendekat kepada Allah dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Sebab, semakin tinggi seseorang di mata manusia, seharusnya semakin rendah dirinya di hadapan Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.