Opinion
Beranda » Berita » ASN, Terorisme, dan Tanggung Jawab Menjaga Agama dari Dalam: Refleksi atas Penangkapan ASN Kemenag oleh Densus 88

ASN, Terorisme, dan Tanggung Jawab Menjaga Agama dari Dalam: Refleksi atas Penangkapan ASN Kemenag oleh Densus 88

ASN, Terorisme, dan Tanggung Jawab Menjaga Agama dari Dalam: Refleksi atas Penangkapan ASN Kemenag oleh Densus 88

ASN, Terorisme, dan Tanggung Jawab Menjaga Agama dari Dalam: Refleksi atas Penangkapan ASN Kemenag oleh Densus 88.

Kabar mengejutkan datang dari Aceh. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kementerian Agama diduga terlibat dalam aktivitas terorisme dan telah ditangkap oleh Densus 88. Inisialnya MZ, seorang Pegawai Negeri Sipil yang seharusnya menjadi pelayan publik dan teladan moderasi beragama, justru diduga menyeleweng dari garis itu.

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Kemenag, Kamaruddin Amin, menyatakan dukungannya terhadap proses hukum yang dilakukan oleh Densus 88, sembari menekankan pentingnya asas praduga tak bersalah. Namun yang tak kalah penting, beliau menegaskan bahwa Kemenag tidak akan mentolerir keterlibatan ASN dalam gerakan ekstremisme atau terorisme.

Antara Pelayan Umat dan Ancaman dari Dalam

ASN Kemenag bukan sekadar birokrat. Mereka adalah wajah negara di tengah masyarakat dalam urusan agama. Maka keterlibatan satu saja dari mereka dalam jaringan terorisme bukan hanya mencoreng lembaga, tapi juga mengancam misi keagamaan dan kebangsaan yang selama ini diemban. Ini menjadi pengingat bahwa bahaya radikalisme bisa merayap bahkan hingga ke tubuh institusi yang paling religius sekalipun.

Terorisme dalam sejarahnya seringkali bersembunyi di balik dalih agama. Padahal, Islam yang hakiki justru hadir sebagai rahmat bagi semesta alam. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

Diam: Seni Menemukan Problem Solving

> “Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Rahmat tidak akan pernah bisa lahir dari kebencian, pengeboman, pembunuhan, atau kekerasan atas nama agama. Maka ketika seorang ASN, yang seharusnya menjadi ujung tombak moderasi beragama, justru ditengarai terseret dalam jejaring ekstremisme, hal itu adalah pengkhianatan terhadap amanah keagamaan dan konstitusional sekaligus.

Mengapa ASN Bisa Terpapar Radikalisme?

Kita tak bisa hanya menyalahkan individu semata tanpa melihat akar persoalan. Mengapa seorang ASN bisa terpapar ideologi kekerasan?

Pertama, pemahaman keagamaan yang sempit dan eksklusif. Banyak orang yang terpapar karena tidak memiliki dasar keilmuan yang kokoh, mudah terpesona oleh narasi ‘jihad’ yang dipelintir, dan menganggap jalan kekerasan sebagai solusi.

Kedua, pengaruh lingkungan sosial dan media dakwah digital. Platform digital saat ini menjadi medan subur penyebaran paham radikal, terutama melalui ceramah-ceramah yang menyebarkan kebencian terhadap negara, kelompok lain, dan nilai-nilai toleransi.

Kurikulum Cinta dan Dakwah Perempuan

Ketiga, rasa frustasi sosial dan ekonomi, yang menjadikan ideologi radikal sebagai pelarian. Ketika realitas hidup tidak sesuai harapan, sebagian orang mencari makna baru dalam ‘perjuangan suci’, padahal mereka hanya menjadi pion dalam agenda tersembunyi.

Moderasi Beragama: Kunci Penangkal

Dalam siaran persnya, Sekjen Kemenag menyatakan bahwa kementerian ini adalah leading sector moderasi beragama. Ini bukan sekadar jargon. Moderasi beragama adalah benteng pertama dan terakhir dalam menghadapi infiltrasi ideologi kekerasan.

Moderasi bukan berarti menyepelekan agama, bukan pula mencampuradukkan ajaran. Moderasi adalah jalan tengah yang seimbang: mengamalkan ajaran agama secara lurus namun tidak ekstrem, dan hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda dengan damai dan saling menghormati.

Moderasi adalah sikap Rasulullah ﷺ dalam hidup berdampingan dengan masyarakat multikultural di Madinah. Ia tidak memaksakan akidah, tetapi membangun masyarakat dengan prinsip rahmah, keadilan, dan akhlak mulia.

Rasulullah tidak pernah mengajarkan terorisme. Ia bahkan dengan tegas menolak kekerasan atas nama agama. Dalam hadis disebutkan:

IPGSC 2025 UI: Menjawab Politik Global Teknologi Digital

> “Siapa yang membunuh seorang non-Muslim yang berada dalam perjanjian damai, maka ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Bukhari)

Jika membunuh non-Muslim yang tak bersalah saja dilarang keras, apalagi membunuh sesama Muslim hanya karena berbeda pandangan?

Tantangan ASN Kemenag: Menjadi Duta Moderasi

Keterlibatan seorang ASN dalam dugaan terorisme adalah cermin bahwa kerja-kerja internalisasi nilai moderasi masih belum tuntas. ASN bukan sekadar pengisi absen harian, tetapi juga duta nilai di tengah masyarakat.

Sudah saatnya Kemenag memperkuat tiga hal:

1. Peningkatan literasi keagamaan ASN, terutama pemahaman terhadap tafsir-tafsir ekstrem yang sering digunakan oleh kelompok radikal. ASN harus menjadi pelopor kajian Islam yang kontekstual dan damai.
2. Kurikulum cinta tanah air, sebagaimana disinggung oleh Sekjen. Nasionalisme bukan lawan dari keimanan, tetapi bagian dari tanggung jawab keimanan. Rasulullah ﷺ mencintai Mekkah dan Madinah. Maka mencintai Indonesia bukan dosa, melainkan warisan Rasul.
3. Pengawasan internal dan regenerasi kader ASN yang benar-benar memiliki integritas dan komitmen terhadap NKRI. Tidak cukup hanya cerdas, ASN juga harus sehat secara ideologi dan akidah.

Praduga Tak Bersalah, Tapi Tetap Waspada

Dalam proses hukum, setiap warga negara berhak atas asas praduga tak bersalah. Maka kita tidak bisa menghakimi sebelum ada bukti kuat. Namun, ini juga tak berarti kita boleh abai.

Peringatan dini dan sistem deteksi dini terhadap radikalisme harus ditingkatkan. Jangan sampai lembaga keagamaan justru menjadi tempat persembunyian ideologi terlarang. Ini bukan semata soal institusi, tapi juga soal masa depan Indonesia sebagai rumah bersama.

Sebagaimana pesan Sekjen Kemenag:

“Kepada seluruh ASN Kemenag, saya minta untuk terus tingkatkan semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI. Di sini kita lahir dan bertumbuh. Menjadi kewajiban kita untuk menjaganya hingga akhir hayat.”

Pesan ini seharusnya tidak berhenti sebagai retorika birokrasi, tapi dijadikan sebagai napas harian dalam bekerja, berinteraksi, dan berdakwah.

Islam, Terorisme, dan Jalan Tengah

Sudah terlalu banyak darah tertumpah atas nama agama. Padahal agama sejatinya adalah penyejuk.

Di tengah gejolak ideologi yang menyesatkan, kita harus kembali pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Bukan pada tafsir liar, bukan pada propaganda kebencian.

Mari kita jaga Indonesia dengan ilmu dan akhlak. Mari kita jaga Islam dengan cinta dan hikmah. Mari kita jaga Kemenag sebagai lembaga yang membersihkan, bukan mencemari.

Penutup: Jangan Biarkan Satu Kasus Merusak Citra Seluruh ASN

Satu kasus tidak mewakili seluruh ASN. Namun satu kasus bisa menjadi pintu masuk evaluasi menyeluruh. Kita berharap proses hukum berjalan adil, transparan, dan tuntas.

Kita juga berharap, dari kasus ini lahir kesadaran baru bahwa menjaga negeri ini tidak cukup dengan seragam dan sumpah jabatan—tapi harus dengan jiwa, akidah, dan pemahaman agama yang benar.

Karena musuh paling berbahaya bukanlah yang berteriak di luar pagar. Tapi yang tersenyum dari dalam, membawa luka dalam senyap. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement