Khazanah
Beranda » Berita » Karena Diri Sendiri pun Perlu Dipeluk: Refleksi tentang Mencintai Diri Sendiri dengan Bijak

Karena Diri Sendiri pun Perlu Dipeluk: Refleksi tentang Mencintai Diri Sendiri dengan Bijak

Karena Diri Sendiri pun Perlu Dipeluk Refleksi tentang Mencintai Diri Sendiri dengan Bijak

Karena Diri Sendiri pun Perlu Dipeluk
Refleksi tentang Mencintai Diri Sendiri dengan Bijak

Di tengah hiruk pikuk dunia yang menuntut begitu banyak hal dari kita, sering kali kita lupa bahwa diri kita pun adalah manusia. Bukan mesin. Bukan robot. Kita hidup dalam pusaran ekspektasi: menjadi anak yang baik, pasangan yang setia, teman yang selalu ada, pekerja yang produktif, aktivis yang vokal, murid yang berprestasi. Namun, adakah waktu dalam hidup ini kita sempat duduk sejenak dan bertanya pada diri sendiri, “Apa kabarmu, wahai jiwa?”

Sunyi, dengan lampu remang di atas meja kosong—hanya ada rokok, secangkir kopi, dan tanaman kecil—membawa kita merenung. Di tengah gelap, seberkas cahaya mencoba memberi kehangatan. Begitu pula hidup kita. Dalam gelapnya tekanan, luka, dan kelelahan, selalu ada cahaya kecil yang bisa kita nyalakan. Cahaya itu adalah cinta pada diri sendiri.

Jangan Lupa Berbuat Baik pada Diri Sendiri

Seringkali kita diajarkan untuk berbuat baik pada orang lain: bantu mereka yang kesulitan, hibur yang bersedih, hadir untuk yang kesepian. Itu mulia. Namun sayangnya, kita tidak pernah benar-benar diajarkan untuk berbuat baik pada diri sendiri. Padahal, kebaikan yang kita berikan pada orang lain akan kosong jika sumbernya, yakni diri kita terluka dan kehabisan tenaga.

Berbuat baik pada diri sendiri bukanlah egois. Ia adalah bentuk tauhid praktis, pengakuan bahwa tubuh ini adalah amanah dari Allah, dan kita bertanggung jawab merawatnya. Dalam Islam, Rasulullah ﷺ pun menegur sahabat yang berlebihan beribadah hingga mengabaikan tidurnya, makannya, bahkan istrinya. Beliau bersabda:

Mengenal Ibnu Sabil: Musafir yang Berhak atas Zakat

“Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari)

Jadi, saat tubuhmu lelah, istirahatlah. Saat hatimu sakit, menangislah. Saat pikiranmu penuh, menyendirilah. Saat dirimu letih, jangan paksakan. Karena beristirahat bukanlah menyerah—itu adalah bentuk keberanian untuk peduli pada dirimu sendiri.

Penat, Lapar, Sakit, Mengantuk? Dengarkan Dirimu

Kalimat sederhana dalam gambar itu seolah seperti nasihat seorang sahabat yang jujur:

“Kalau penat, rehat. Kalau lapar, makan. Kalau sakit, pergi klinik. Kalau mengantuk, tidur.”

Terkadang kita terlalu keras pada diri sendiri. Kita biarkan tubuh ini kelaparan karena tenggelam dalam pekerjaan. Kita tahan kantuk demi menyelesaikan target. Kita abaikan sinyal kelelahan karena takut dibilang lemah. Tapi adakah kita sadar bahwa tubuh ini sedang menangis, meminta didengar?

Merenungkan Makna “27 Derajat” dalam Keutamaan Salat Berjamaah

Mendengarkan tubuh dan jiwamu bukanlah kelemahan. Itu adalah kebijaksanaan. Sebab siapa lagi yang tahu persis apa yang kamu rasakan selain dirimu sendiri?

Diri Sendiri pun Butuh Pelukan dan Perhatian

Ada saat-saat di mana dunia terasa sunyi. Tak ada pelukan, tak ada perhatian, tak ada orang yang bertanya: “Kamu kenapa?” Saat itulah kita perlu menjadi sahabat bagi diri sendiri.

“Diri kau pun perlukan pelukan, perhatian, dan belas kasihan.”

Pelukan tidak selalu harus dari orang lain. Kadang, pelukan itu hadir saat kamu memberi waktu untuk dirimu sendiri. Ketika kamu duduk dengan tenang, memaafkan dirimu atas semua kekuranganmu. Ketika kamu bilang pada dirimu: “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”

Perhatian bukan hanya saat kamu merawat orang lain. Tapi juga saat kamu memperhatikan perasaanmu sendiri. “Kenapa aku merasa sedih hari ini?” “Apa yang membuatku marah?” “Apa yang bisa membuatku tenang kembali?” Itu semua bentuk perhatian yang tak kalah penting.

Ar-Rafiq al-A’la: Perjalanan Rasulullah Menuju Sang Kekasih

Dan belas kasihan… itu adalah ketika kamu berhenti menghukum dirimu atas masa lalu yang sudah lewat. Kamu berhenti menyalahkan diri atas kegagalan yang tak kamu sengaja. Kamu berkata pada dirimu sendiri, “Tak apa. Aku manusia. Aku belajar.”

Sayangi Diri Macam Kau Sayang Orang Lain

Kita terbiasa menyayangi orang lain dengan tulus. Kita kirim pesan pada teman yang sakit, kita dengarkan keluh kesah sahabat, kita beri kejutan kecil untuk orang tersayang. Tapi mengapa kita pelit pada diri sendiri?

Cobalah tanyakan: Kapan terakhir kali kamu bersyukur pada dirimu sendiri karena sudah bertahan? Kapan terakhir kali kamu memberi hadiah kecil untuk dirimu? Kapan kamu berkata dengan tulus pada diri sendiri, “Aku bangga padamu”?

Islam mengajarkan keseimbangan. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik amal adalah yang dilakukan terus-menerus walau sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka mencintai diri sendiri pun tidak perlu berlebihan. Mulailah dari hal-hal kecil: minum air putih cukup, tidur cukup, berhenti membandingkan diri dengan orang lain, berkata yang baik pada diri sendiri, dan menjaga hubungan dengan Allah agar jiwa tidak kering.

Sebab Kadang, Satu-satunya Orang yang Ada… Cuma Diri Kau Sendiri

Kalimat ini sangat menyentuh. Realita hidup mengajarkan kita bahwa tidak selamanya orang-orang akan ada di sekitar kita. Ada saatnya mereka pergi, sibuk dengan urusan mereka, atau bahkan tidak mengerti perasaan kita. Di saat seperti itulah, kekuatan terbesar harus datang dari dalam.

Bukan berarti kita harus menjadi egois atau menutup diri. Tapi kita perlu membangun pondasi kuat di dalam jiwa—agar ketika angin kencang datang, kita tidak roboh. Kita boleh menangis, tapi kita tahu cara menghibur diri. Kita boleh lemah, tapi kita tahu tempat bersandar: Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Take It Slow – Satu Langkah dalam Satu Waktu

> “Take it slow. One step at a time. You’re doing okay”

Tidak perlu tergesa-gesa. Hidup bukan lomba. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Pencapaian bukan satu-satunya indikator kesuksesan. Bertahan pun adalah pencapaian. Bangkit dari keterpurukan adalah kemenangan. Tersenyum meski hati terluka adalah kekuatan.

Dan ingatlah, Allah tidak pernah membebani hamba-Nya melampaui kemampuan mereka. Seberat apa pun jalan hidupmu, kamu pasti mampu menjalaninya—asal kamu tidak berjalan sendiri. Genggam tangan Allah, dan izinkan diri untuk mengambil waktu. Perlahan-lahan, kamu akan sampai.

Penutup: Cintai Diri dengan Ikhlas

Mencintai diri bukan berarti memanjakan hawa nafsu. Tapi menghargai amanah Allah atas diri kita. Ketika kita mampu merawat tubuh, pikiran, dan hati dengan baik, maka kita akan lebih siap menjalani hidup, berbuat baik pada orang lain, dan melayani agama ini dengan lebih utuh.

Jadi hari ini, sebelum kamu lanjut mengejar segala target, duduklah sejenak. Tarik napas dalam. Tersenyumlah pada dirimu sendiri. Dan ucapkan dalam hati:

“Terima kasih ya, karena sudah bertahan sejauh ini.” Kau tak sendirian. Allah selalu ada. Dan dirimu… adalah teman terbaikmu sendiri. (Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement