SURAU.CO – Dalam deretan ulama besar abad ini, banyak umat Islam menempatkan Abuya Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki pada posisi istimewa. Beliau bukan sekedar cendekiawan muslim, tetapi juga sosok alim yang ilmunya luas, akhlaknya agung, dan kiprahnya menyinari dunia Islam, termasuk Indonesia. Sejak lahir dan tumbuh di kota suci Makkah, beliau mewarisi ilmu dan cahaya nubuwah dari nasab dan sanad yang bersambung langsung hingga Rasulullah SAW.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Abuya Sayyid Muhammad lahir pada tahun 1362 H (1943 M) di Makkah Al-Mukarramah. Ia berasal dari keluarga Al-Maliki, sebuah keluarga ulama terkemuka yang telah berperan besar dalam dunia keilmuan Islam di Hijaz. Ayahandanya, Sayyid Alawy bin Abbas Al-Maliki, adalah ulama besar dan guru dari banyak ulama di dunia, termasuk beberapa tokoh Indonesia.
Sejak kecil, Abuya menjalani kehidupan dalam suasana penuh ilmu dan keberkahan. Ia memulai pendidikan dengan belajar langsung dari ayahandanya dan lingkungan keluarganya. Setelah itu, ia melanjutkan studinya secara formal di Universitas Al-Azhar, Kairo. Di sanalah ia bertemu dengan berbagai ulama besar dan memperdalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu hadis, tafsir, akidah, dan tasawuf.
Sosok Ulama yang Tawadhu dan Berilmu Luas
Dunia Islam mengenal Abuya sebagai muhaddits (ahli hadis) besar pada zamannya. Ia menghasilkan banyak karya yang mencerminkan kedalaman dan keluasan ilmunya. Salah satu karya terkenalnya, Mafahim Yajibu An Tushahhah (Pemmahaman yang Perlu Diluruskan), membahas berbagai kekeliruan dalam memahami ajaran Islam dengan pendekatan ilmiah dan santun.
Meskipun ia mencapai derajat keilmuan tinggi, Abuya tetap tampil sederhana. Ia bermaksud tawadhu kepada siapa pun. Dalam banyak kesempatan, para murid menyaksikan betapa pentingnya adab dalam belajar dan berdakwah. Ia bahkan mencium tangan murid-murid ayahandanya sebagai bentuk penghormatan. Sikap seperti inilah yang membuat banyak orang, baik dari kalangan ulama maupun awam, mencintainya dengan tulus.
Hubungan Erat dengan Ulama Indonesia
Selain itu, Abuya memiliki kedekatan khusus dengan ulama dan umat Islam di Indonesia. Banyak tokoh besar Indonesia yang belajar langsung kepadanya. Beberapa di antaranya adalah Habib Luthfi bin Yahya, KH. Maimoen Zubair, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).
Ketika para santri Indonesia belajar di Makkah, banyak dari mereka tinggal di rumah Abuya. Ia menyambut mereka dengan tangan terbuka dan mengajarkan ilmu secara langsung. Dalam berbagai kesempatan, Abuya menyampaikan kecintaannya kepada Indonesia. Ia bahkan menyebut negeri ini sebagai “Baldatun Thayyibatun” (negeri yang baik), karena Indonesia memiliki banyak pecinta ilmu dan penjaga tradisi keulamaan.
Dakwah dengan Cinta dan Kebijaksanaan
Dalam berdakwah, Abuya selalu mengedepankan cinta dan kebijaksanaan. Ia tidak suka mencela kelompok lain. Bahkan ketika pandangan berbeda, beliau tetap menjaga akhlak dan menjunjung tinggi ukhuwah.
Beliau sering menyampaikan bahwa dakwah harus merangkul, bukan memukul. Kita perlu mengajak, bukan mengejek. Karena pendekatan ini, banyak lintas kalangan mazhab dan organisasi menghormati beliau. Abuya juga sering hadir dalam forum-forum ulama dunia dan menjadi rujukan utama dalam menyikapi persoalan umat secara arif dan mendalam. Ia selalu mengingatkan, “Jagalah Islam dengan cinta, bukan dengan kebencian.”
Wali Kutub
Meskipun Abuya wafat pada tahun 2004 M, murid-muridnya terus menyebarkan warisan keilmuannya ke seluruh penjuru dunia. Buku-bukunya tetap dipelajari di berbagai pesantren dan majelis ilmu, khususnya di Indonesia. Banyak pesantren yang menjadikan kitab-kitab beliau sebagai rujukan utama.
Salah satu hal yang sangat menginspirasi dari Abuya adalah semangat untuk terus belajar dan mengajar hingga akhir hayat. Bahkan dalam kondisi fisik yang lemah, ia tetap mengajar dari rumahnya. Banyak ulama yang menilai beliau sebagai “Wali Kutub” zaman ini, karena keluasan ilmunya dan keteguhannya menjaga tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Abuya Sayyid Muhammad Alawy Al Maliki hadir bukan hanya sebagai ulama besar, tetapi juga sebagai ayah, guru, dan pembimbing ruhani bagi umat Islam. Ia telah mengajarkan bahwa ilmu harus disertai dengan adab, dan dakwah harus dibangun di atas dasar cinta kasih.
Semoga kita dapat meneladani jejaknya, mencintai ilmu, menghormati ulama, dan menyebarkan Islam dengan penuh kasih. Karena sebagaimana beliau sering katakan, “Cinta kepada Rasulullah adalah kunci segala kebaikan.” (heniwati)
Referensi:
- Al-Maliki, Sayyid Muhammad. Mafahim Yajibu An Tushahhah . Maktabah Al-Maliki.
- Lathif, Yusuf. Jejak Ulama Pewaris Nabi: Biografi Abuya Sayyid Muhammad Alawy Al-Maliki . Jakarta: Pustaka Nabawi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
