Pendidikan
Beranda » Berita » Ayahmu yang Berbelas Kasih Kitab Akhlaq lil Banin Juz 1 Karya Umar Baraja (Pelajaran Klasik untuk Hari Ini)

Ayahmu yang Berbelas Kasih Kitab Akhlaq lil Banin Juz 1 Karya Umar Baraja (Pelajaran Klasik untuk Hari Ini)

Adab Ayah
Para santri muda bersarung duduk dengan sopan di ruang kelas pesantren, mendengarkan dengan saksama seorang ustadz bijak membacakan 'Akhlaq lil Banin'.

SURAU.CO – Di balik wajah yang tegas dan suara yang berat, seorang ayah menyimpan kasih sayang yang dalam. Ia mungkin tak sering mengekspresikan cinta melalui pelukan atau kata-kata lembut, namun tindakannya selalu berpihak kepada anak-anaknya. Dalam Akhlaq lil Banin, Sayyid Umar bin Ahmad Baraja menyajikan potret ayah sebagai sosok penuh belas kasih. Ia bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pemandu akhlak dan penjaga masa depan anak-anaknya.

Kitab Akhlaq lil Banin ditulis oleh Sayyid Umar bin Ahmad Baraja, seorang ulama asal Hadhramaut yang berkiprah di Indonesia pada abad ke-20. Beliau menyusun kitab ini sebagai panduan moral dan akhlak dasar untuk anak-anak dan remaja Muslim, khususnya di lingkungan pesantren dan madrasah.

Disusun dengan bahasa yang ringan dan kisah-kisah yang menyentuh, kitab ini telah menjadi rujukan penting dalam pendidikan karakter Islam. Melalui tokoh-tokoh seperti Shaleh, Sayyid Umar menyampaikan pesan akhlak dengan cara yang dekat dan membumi, termasuk tentang bagaimana anak bersikap kepada ayah.

1. Wajah Kasih di Balik Ketegasan Ayah

Sayyid Umar menggambarkan sosok ayah sebagai berikut:

أَبُوْكَ يُتْعِبُ نَفْسَهُ فِي الْعَمَلِ لِتَرَاحَ، وَيُفَكِّرُ لَيْلًا نَهَارًا فِي مَصْلَحَتِكَ
“Ayahmu melelahkan dirinya dalam bekerja agar engkau bisa beristirahat, dan ia memikirkan kepentinganmu siang dan malam.”

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Kalimat ini membuka tirai tentang siapa sebenarnya ayah. Ia mungkin jarang bicara manis, namun pikirannya tak pernah berhenti menyusun masa depan anak-anaknya. Dalam diamnya, ia bekerja keras, berjuang di bawah terik matahari atau dinginnya malam demi kesejahteraan keluarganya.

Sayangnya, banyak anak yang keliru memahami karakter ayah. Karena ia jarang memuji, anak merasa tak dicintai. Padahal, cinta seorang ayah terwujud dalam bentuk tanggung jawab, perlindungan, dan pengorbanan.

2. Jangan Lupa Menghargai Perjuangan Ayahmu

Dalam bagian lain, Sayyid Umar menasihati:

فَلَا تَكُنْ جَافِيًا مَعَهُ، وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ عَلَيْهِ، وَلَا تُقَطِّبْ وَجْهَكَ فِي حَضْرَتِهِ
“Jangan bersikap kasar kepada ayahmu, jangan tinggikan suara di hadapannya, dan jangan cemberut di depannya.”

Tiga larangan ini terlihat sepele, namun dampaknya besar. Suara yang ditinggikan, wajah yang masam, atau sikap acuh bisa melukai hati ayah lebih dalam daripada kata-kata kasar. Di balik ketenangannya, hati ayah bisa remuk hanya karena anaknya tak menghormatinya.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Sikap lembut kepada ayah adalah bentuk adab yang sering diabaikan. Bahkan, sebagian orang merasa lebih mudah bersikap sopan kepada orang luar dibandingkan kepada ayah sendiri. Padahal, keberkahan hidup bisa bermula dari wajah ramah dan suara lembut kepada ayah.

3. Kasih Ayah Adalah Titik Awal Tanggung Jawab

Ayah tidak hanya memberi uang saku dan menyiapkan kebutuhan materi. Ia mengajarkan nilai-nilai kehidupan: disiplin, tanggung jawab, keberanian, dan ketekunan. Sayyid Umar menulis:

أَبُوْكَ يُرِيدُ لَكَ أَنْ تَكُوْنَ رَجُلًا صَالِحًا نَافِعًا فِي الدُّنْيَا وَالدِّينِ
“Ayahmu ingin engkau menjadi laki-laki saleh yang bermanfaat bagi dunia dan agama.”

Tujuan hidup seorang ayah bukan sekadar agar anaknya sukses secara materi. Ia ingin anaknya menjadi manusia mulia bermanfaat untuk sesama dan teguh dalam keimanan. Maka, saat ayah menegur atau memberi nasihat, itu bukan tanda kemarahan, melainkan bentuk cinta yang mendidik.

Di era sekarang, banyak anak lebih mudah belajar dari influencer media sosial dibanding dari nasihat ayahnya sendiri. Padahal, ayah jauh lebih mengenal anaknya dan niatnya selalu tulus.

Menerapkan Parenting Nabawi: Panduan Mendidik Karakter Anak Lewat Riyadus Shalihin

Mari Kembali Memuliakan Ayah

Seberapa sering kita mengucapkan terima kasih kepada ayah? Kapan terakhir kali kita menatap wajahnya dan berkata, “Aku bangga padamu”? Kisah dari Akhlaq lil Banin ini mengajak kita merenung. Ayah bukan sekadar kepala rumah tangga, tetapi penjaga yang terus berjuang meski tak selalu dipuji.

اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا بِرَّ آبَائِنَا، وَقُدْرَةَ فَهْمِ قُلُوبِهِمْ وَرِضَاهُمْ عَلَيْنَا
“Ya Allah, anugerahkan kami kemampuan berbakti kepada ayah kami, memahami isi hati mereka, dan meraih ridha mereka atas kami.”

Jika ayahmu masih ada, hampiri dan peluklah ia. Jika telah tiada, panjatkan doa sepenuh cinta. Karena kasih ayah tak pernah hilang. Ia hidup dalam semangatmu, dalam nasihat-nasihatnya, dan dalam langkah-langkah yang kau tapaki hari ini.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement