SURAU.CO – Di ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Desa Karanganyar, Paiton, Probolinggo, berdirilah sebuah pondok pesantren yang hingga kini menjadi pelita ilmu dan akhlak: Pondok Pesantren Nurul Jadid. Di balik kesuksesan dan pengaruh pesantren ini, terdapat sosok besar yang menjadi ruhnya— Kiyai Zaini Mun’im, seorang ulama kharismatik yang dikenal bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena ketulusan perjuangannya dalam mendidik umat.
Awal Perjalanan: Ulama Sekaligus Pejuang
Kiyai Zaini Mun’im lahir pada tahun 1915 di Pragaan, Sumenep, Madura. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan kecintaannya pada ilmu dan agama. Kegigihannya menuntut ilmu membawa berguru ke berbagai pesantren, termasuk kepada ulama-ulama besar di tanah Jawa dan Madura. Ia tidak hanya mempelajari kitab-kitab klasik, tetapi juga menyerap nilai-nilai perjuangan dan semangat membangun masyarakat para gurunya.
Pada masa penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan, Kiyai Zaini juga ikut serta dalam perjuangan mempertahankan tanah air. Ia bukan hanya seorang ulama di menara gading, tetapi juga seorang pejuang yang terjun langsung ke tengah rakyat. Dalam dirinya menyatu dua peran penting: sebagai pemimpin spiritual dan sekaligus sebagai motor perubahan sosial.
Mendirikan Nurul Jadid: Sebuah Cahaya Baru
Pada tahun 1950, Kiyai Zaini Mun’im mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid , yang berarti “Cahaya Baru“. Nama ini bukan sekadar simbolis. Ia ingin agar pesantren ini menjadi pelita baru bagi umat Islam, khususnya di kawasan Probolinggo dan sekitarnya.
Dengan bermodalkan niat tulus dan tekad yang kuat, beliau membangun pesantren dari nol. Tidak ada gedung mewah, tidak ada fasilitas canggih. Namun, yang ada adalah semangat tanpa lelah untuk mendidik santri menjadi insan yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi bangsa.
Kiyai Zaini sangat menekankan pentingnya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia tidak ingin santrinya hanya pandai mengaji, tapi juga mampu menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, Nurul Jadid tidak hanya mendirikan madrasah diniyah, tetapi juga sekolah-sekolah formal seperti SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Nilai-Nilai Kehidupan: Keteladanan Sang Kiyai
Salah satu hal yang paling membekas dari sosok Kiyai Zaini adalah keteladanan hidupnya. Ia hidup sangat sederhana, jauh dari kemewahan. Meskipun memimpin pesantren besar, beliau tetap berjalan kaki ke masjid, makan bersama santri, dan melayani tamu tanpa membeda-bedakan.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang sangat menghargai ilmu. Dalam setiap kesempatan, beliau selalu mendorong santrinya untuk belajar dengan sungguh-sungguh. “Ilmu itu ringan,” begitu kira-kira prinsip hidupnya. Dan karena itulah, ia tak pernah lelah mendorong munculnya kader-kader ulama, guru, dokter, dan pemimpin masa depan dari pesantrennya.
Tak hanya itu, Kiyai Zaini juga dikenal sebagai sosok yang toleran dan terbuka. Ia menjalin hubungan baik dengan lintas agama dan ideologi. Baginya, dakwah harus dilakukan dengan hikmah dan kasih sayang, bukan dengan kekerasan dan kebencian. Sikap ini menjadikan Nurul Jadid sebagai pesantren yang sejuk, damai, dan inklusif.
Warisan Abadi
Kiyai Zaini Mun’im wafat pada tahun 1993, namun warisannya terus hidup. Saat ini, Nurul Jadid telah berkembang menjadi salah satu pesantren terbesar di Indonesia dengan ribuan santri dari berbagai penjuru dunia. Perguruan tinggi yang beliau rintis, Universitas Nurul Jadid (UNUJA), menjadi pusat pendidikan Islam modern yang unggul.
Lebih dari itu, nilai-nilai yang ia tanamkan masih membekas di hati para santri dan alumni. Ketulusan, semangat belajar, toleransi, dan pengabdian menjadi warisan tak ternilai yang terus mencapai langkah mereka.
Banyak dari alumninya kini menjadi tokoh penting di masyarakat—ada yang menjadi dosen, ulama, politisi, birokrat, bahkan pengusaha. Semuanya membawa semangat Kiyai Zaini dalam kiprah masing-masing: semangat untuk menjadi cahaya di manapun berada.
Penutup: Meneladani Kiyai Zaini
Dalam kehidupan yang semakin kompleks seperti saat ini, sosok seperti Kiyai Zaini Mun’im menjadi contoh yang sangat dibutuhkan. Ia menunjukkan bahwa ilmu dan akhlak harus berjalan beriringan. Ia mengajarkan bahwa dakwah tidak cukup dengan kata-kata, tetapi harus dengan keteladanan.
Kiyai Zaini Mun’im adalah bukti nyata bahwa satu orang yang tulus, berilmu, dan berkomitmen bisa memberikan perubahan besar bagi umat dan bangsa. Dari Paiton, cahayanya telah menyebar ke seluruh penjuru negeri. Semoga generasi sekarang bisa terus menjaga, merawat, dan meneladani warisan yang telah beliau tinggalkan.
Kiyai Zaini Mun’im bukan hanya milik Nurul Jadid, tapi milik bangsa. Sebuah sosok yang pantas kita kenang, kita teladani, dan kita doakan. Semoga Allah senantiasa merahmatinya. Aamiin. (Heniwati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
