Khazanah
Beranda » Berita » Tanda Cinta Allah yang Sebenarnya: Bukan Harta, Tapi Hidayah dan Amal Shalih.

Tanda Cinta Allah yang Sebenarnya: Bukan Harta, Tapi Hidayah dan Amal Shalih.

Tanda Cinta Allah yang Sebenarnya: Bukan Harta, Tapi Hidayah dan Amal Shalih.

Tanda Cinta Allah yang Sebenarnya: Bukan Harta, Tapi Hidayah dan Amal Shalih.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia, sering kali kita tertipu oleh gemerlap materi dan capaian duniawi. Kita menganggap bahwa keberhasilan dalam bentuk harta, jabatan, pangkat, dan kekuasaan adalah tanda bahwa Allah mencintai kita. Padahal, jika kita membuka mata hati, kita akan melihat bahwa semua kenikmatan duniawi itu tidak secara eksklusif diberikan kepada orang-orang beriman. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak mengenal Allah, tidak beriman, atau bahkan menentang agama, tetap memperoleh kekayaan dan kekuasaan yang besar.

Gambar yang menjadi dasar tulisan ini menyampaikan pesan yang sangat dalam: “Tanda Allah sayang kepada kita bukan karena Allah berikan kita harta, kekayaan, pangkat dan jabatan, sebab semua itu orang yang tak beriman juga Allah berikan. Tetapi jika Allah sayang kepada kita maka Allah akan kehendaki hambanya kefahaman agama dan kemudahan melakukan amal shalih.”

Kekayaan Bukan Ukuran Kasih Sayang Ilahi

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

> “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)

𝗧𝗘𝗞𝗡𝗢𝗟𝗢𝗚𝗜 𝗖𝗜𝗣𝗧𝗔𝗔𝗡 𝗞𝗔𝗙𝗜𝗥, 𝗜𝗟𝗠𝗨𝗡𝗬𝗔 𝗗𝗜𝗖𝗨𝗥𝗜 𝗗𝗔𝗥𝗜 𝗠𝗨𝗦𝗟𝗜𝗠: SADAR 𝗧𝗜𝗣𝗨 𝗗𝗔𝗬𝗔 𝗦𝗘𝗞𝗨𝗟𝗘𝗥

Harta dan kekayaan dunia bukanlah bukti mutlak dari kecintaan Allah. Justru bisa jadi, harta yang melimpah adalah ujian besar yang tidak semua orang bisa lulus darinya. Betapa banyak orang yang hatinya menjadi keras karena kekayaan, sombong karena jabatan, dan lalai dari ibadah karena terlalu sibuk mengejar dunia.

Allah juga menyebutkan dalam Al-Qur’an tentang orang-orang kafir yang diberikan kelapangan rezeki:

> “Janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa pemberian tangguh yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. Dan bagi mereka azab yang menghinakan.”
(QS. Ali ‘Imran: 178)

Ayat ini menunjukkan bahwa kenikmatan dunia yang diberikan kepada orang kafir bisa jadi bukanlah nikmat, melainkan istidraj—yaitu penangguhan azab agar mereka semakin tenggelam dalam dosa.

Ukuran Cinta Allah Adalah Hidayah

Rasulullah ﷺ bersabda:

KEHEBATAN SEBUAH DOA

> “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini sangat jelas menunjukkan bahwa ukuran kebaikan dan tanda cinta Allah kepada hamba-Nya adalah ketika Allah memberikan pemahaman agama (fiqh fid-din). Artinya, seseorang yang diberikan taufik untuk belajar agama, memahami aqidah dengan benar, menghayati nilai-nilai syariat, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari—itulah yang sesungguhnya sedang dicintai oleh Allah.

Hidayah bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan uang, diraih dengan kedudukan, atau diwarisi secara otomatis. Ia adalah cahaya yang Allah tanamkan ke dalam hati hamba-hamba pilihan-Nya. Maka ketika kita merasa dimudahkan untuk mengerjakan amal shalih, hati kita rindu akan majelis ilmu, lidah kita ringan untuk berdzikir, dan tubuh kita ringan untuk menunaikan shalat, itu adalah tanda bahwa Allah sedang mencintai kita.

Kemudahan Beramal Shalih: Nikmat yang Tak Terlihat

Kemudahan dalam beramal shalih bukanlah perkara sepele. Tidak semua orang bisa istiqamah dalam menunaikan ibadah, walaupun ia dalam keadaan sehat, lapang waktu, dan berkecukupan. Banyak orang yang punya waktu dan kesempatan, tapi hatinya berat untuk sujud. Ada pula yang tahu kebenaran, tapi tak juga melangkah menuju jalan-Nya. Maka, ketika seseorang dimudahkan untuk shalat lima waktu, menjaga wudhunya, membaca Al-Qur’an, menolong sesama, dan berbuat baik dengan niat karena Allah, itu adalah bukti bahwa Allah sedang menunjuki dan menyayanginya.

Allah berfirman:

𝗚𝗛𝗨𝗥𝗔𝗕𝗔̄’ – 𝗔𝗦𝗜𝗡𝗚 𝗗𝗜 𝗕𝗨𝗠𝗜, 𝗠𝗨𝗟𝗜𝗔 𝗗𝗜 𝗟𝗔𝗡𝗚𝗜𝗧

> “Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan ia akan kembali kepada kaumnya dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka ia akan berteriak: ‘Celakalah aku!’ Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. Al-Insyiqaq: 7–12)

Ayat ini menggambarkan betapa mudahnya perjalanan orang yang diberikan catatan amal dari sebelah kanan, karena amal shalihnya diterima. Maka nikmat kemudahan dalam beramal di dunia adalah bekal untuk mendapatkan kemudahan di akhirat.

Menilai Diri Bukan dari Dunia, Tapi dari Agama

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap makna sukses dan keberkahan hidup. Ukuran keberhasilan seorang Muslim bukanlah jumlah saldo di rekening, seberapa luas rumahnya, atau jabatan apa yang disandangnya. Semua itu fana, sementara, dan akan dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, kita harus mulai menilai diri kita: sejauh mana kita mengenal Allah? Sejauh mana kita taat kepada Rasul-Nya? Seberapa dalam pemahaman agama kita, dan seberapa kuat komitmen kita dalam beramal shalih?

Jika kita menemukan bahwa hidup kita dipenuhi kemudahan untuk taat, maka bersyukurlah, karena itu lebih berharga dari dunia dan seisinya.

Cinta Allah Membawa Hati Tenang

Seseorang yang mendapatkan cinta Allah akan merasakan kedamaian yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Hatinya tentram meskipun diuji. Jiwanya tenang meski tak punya harta. Ia merasa cukup dengan Allah, karena tahu bahwa kebahagiaan sejati bukan pada dunia, tetapi pada keimanan.

Allah berfirman:

> “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Menjaga Anugerah: Ilmu dan Amal

Jika kita sudah diberi kefahaman agama dan kemudahan dalam beramal, maka jangan sampai nikmat ini terlepas. Sebab, hidayah adalah nikmat yang bisa dicabut kapan saja jika kita tidak menjaganya. Betapa banyak orang yang dulunya rajin ibadah, tapi kemudian futur. Betapa banyak yang dulu cinta majelis ilmu, tapi kini enggan hadir. Maka, salah satu bentuk syukur kita kepada Allah atas hidayah adalah dengan menjaganya lewat terus belajar, beramal, dan berkumpul dengan orang-orang shalih.

Penutup: Renungan dan Doa

Saudaraku, jangan sampai kita tertipu oleh gemerlap dunia dan lupa bahwa cinta Allah bukan diukur dari materi. Marilah kita kembali mengevaluasi diri: apakah kita sudah termasuk orang yang dicintai Allah?

Jika saat ini kita masih diberi waktu untuk belajar agama, memahami Al-Qur’an, menyimak hadits Nabi ﷺ, dan dimudahkan dalam menunaikan amal shalih, bersyukurlah. Itu bukan karena kita baik, tetapi karena Allah Maha Baik kepada kita.

Mari kita berdoa: “Ya Allah, jangan Kau cabut nikmat hidayah ini dari hati kami. Tetapkanlah kami dalam iman, tambahkanlah ilmu kami, ringankanlah tubuh kami untuk taat kepada-Mu, dan wafatkan kami dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin.” (Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement