Di Bawah Naungan Bukit dan Arah Jalan: Refleksi dari Sudut Kampung.
Di sebuah sudut kampung yang tampak sederhana namun menyimpan banyak cerita, sebuah potret kehidupan terekam dalam gambar yang kita pandang bersama ini. Rumah-rumah kayu beratap seng, papan reklame dakwah, mobil angkutan umum yang melintas, dan latar bukit yang membisu dalam kabut mendung—semuanya menggambarkan satu sisi wajah Indonesia yang sering luput dari perhatian media: kampung yang tenang, hidup dalam kesederhanaan, namun kaya akan nilai, tradisi, dan harapan.
Ini bukan hanya tentang bangunan dan jalan. Ia adalah tentang bagaimana kehidupan berjalan dalam ritmenya yang lambat tapi pasti. Tentang bagaimana masyarakat lokal membangun hidup dengan penuh perjuangan, sekaligus menjaga kearifan dan nilai-nilai yang telah diwariskan turun-temurun.
Jalan sebagai Simbol Perjalanan
Tampak di sisi kanan sebuah papan penunjuk arah bertuliskan “Jalur Evakuasi.” Kata-kata ini mengisyaratkan bahwa lokasi tersebut berada di daerah rawan bencana, mungkin dekat pesisir atau gunung berapi. Namun lebih dari sekadar penanda geografis, papan itu juga bisa kita maknai sebagai simbol kehidupan.
Bukankah hidup kita ini sejatinya adalah perjalanan menuju “jalur evakuasi” terakhir—kehidupan setelah mati? Dunia ini hanyalah tempat singgah sementara, tempat kita diuji, dibentuk, dan dipersiapkan untuk kehidupan yang abadi. Maka, jalur evakuasi sejati bagi seorang Muslim adalah jalan menuju ridha Allah. Sejauh mana kita sudah menyiapkan diri? Apakah kita sudah membawa bekal yang cukup: amal shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan hati yang bersih?
Allah berfirman:
> “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Papan petunjuk itu seolah mengajak kita merenung: ke mana arah hidup kita? Apakah kita sedang menempuh jalur yang benar?
Rumah dan Nilai-Nilai Kehidupan
Deretan rumah di sepanjang jalan utama mencerminkan dinamika sosial masyarakat setempat. Sebagian rumah terlihat sederhana, ada yang masih dalam proses pembangunan, dan ada pula yang sudah tampak kokoh. Ini menunjukkan realitas masyarakat yang heterogen dalam hal ekonomi dan kondisi sosial.
Namun lebih penting dari bentuk fisik rumah adalah bagaimana nilai-nilai keluarga dijaga di dalamnya. Rumah-rumah kampung seperti ini biasanya menjadi tempat bersemainya akhlak, adab, dan kearifan lokal. Di dalamnya, anak-anak dibesarkan dengan penuh kasih sayang, mengenal orang tua mereka sebagai teladan kehidupan, dan diajarkan pentingnya berbagi, saling menghormati, serta memuliakan tamu.
Dalam tradisi Islam, rumah adalah tempat yang sangat mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Rumahku adalah surgaku.” (HR. Abu Nu’aim)
Sebagai umat Islam, sudah semestinya rumah-rumah kita menjadi taman-taman surga, tempat berlindung dari hiruk-pikuk dunia, dan menjadi ruang spiritual yang menenangkan hati.
Dakwah yang Menyatu dengan Kehidupan
Pada salah satu dinding rumah, tampak baliho berisi informasi dakwah dan pendidikan Islam. Ini adalah bukti bahwa nilai-nilai keislaman masih hidup di tengah masyarakat kampung. Meski berada jauh dari hiruk pikuk kota besar, masyarakat tetap menjaga semangat dakwah—baik melalui pengajian, tabligh akbar, ataupun pendidikan Al-Qur’an.
Baliho itu menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dakwah bukanlah sesuatu yang eksklusif, hanya disampaikan di mimbar-mimbar megah, tetapi ia hadir secara organik dalam ruang-ruang publik kampung. Bahkan tiang listrik pun bisa menjadi tempat menyampaikan pesan tauhid.
Inilah bentuk dakwah yang alami dan menyentuh: tidak menggurui, tidak menakut-nakuti, tetapi merangkul dan mengajak. Dakwah seperti inilah yang perlu kita perbanyak, terutama di era media sosial saat banyak orang lebih sibuk memperdebatkan perbedaan dibanding menyatukan hati dalam tauhid dan ukhuwah.
Bukit dan Langit yang Merenung
Bukit yang berdiri gagah di latar belakang adalah saksi bisu perjalanan hidup masyarakat kampung ini. Ia telah menyaksikan musim demi musim berlalu, menyerap doa-doa dari rumah-rumah yang ada di kaki lerengnya, dan menjadi penanda arah bagi siapa pun yang menengadah ke langit.
Dalam Islam, alam bukan hanya objek yang pasif. Ia adalah ayat-ayat Tuhan yang hidup, yang mengajak kita untuk berpikir dan merenung. Bukit yang menjulang itu mengajarkan tentang keteguhan, kesabaran, dan keabadian. Ia berdiri tegar meskipun angin dan hujan datang silih berganti.
Langit mendung yang menaunginya mengisyaratkan suasana hati yang muram namun penuh harap. Mendung bukan berarti bencana, tapi pertanda bahwa rahmat Allah akan segera turun. Hujan adalah simbol kehidupan, dan mendung adalah prolognya. Demikian pula dalam hidup, kegelapan dan ujian seringkali adalah pembuka jalan menuju pertolongan Allah yang lebih besar.
Angkot yang Berjalan, Simbol Mobilitas Sosial
Sebuah mobil angkutan kota terlihat melintas di sisi kanan gambar. Kendaraan ini bukan sekadar sarana transportasi, tetapi juga simbol mobilitas sosial masyarakat kampung. Ia mengantar orang-orang untuk bekerja, bersekolah, berbelanja, atau mengurus keperluan penting lainnya.
Mobilitas inilah yang menjadi penghubung antara kampung dan kota, antara tradisi dan modernitas. Namun, dalam proses ini, penting untuk menjaga identitas dan jati diri agar tidak larut dalam arus yang membingungkan.
Kita harus mampu mengambil yang baik dari modernitas tanpa kehilangan akar nilai-nilai Islam yang menjadi fondasi hidup kita.
Penutup: Menjaga Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat
Cermin dari keseharian yang tampak biasa, namun menyimpan banyak pelajaran. Ia mengajak kita untuk lebih peka terhadap makna di balik setiap detil kehidupan. Dari papan petunjuk hingga baliho dakwah, dari rumah-rumah kayu hingga bukit di kejauhan—semuanya mengandung pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Kampung seperti ini menjadi benteng terakhir peradaban spiritual yang kini mulai luntur di perkotaan. Jika nilai-nilai Islami masih hidup di kampung, maka ada harapan bahwa umat ini akan tetap tegak, meskipun dunia semakin diguncang oleh berbagai fitnah dan ujian.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mampu mengambil pelajaran dari sekitar, sekecil apa pun itu. Karena sesungguhnya, dalam setiap jengkal bumi ini, Allah telah menuliskan hikmah bagi mereka yang mau berpikir.
> “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. Az-Zariyat: 20-21). (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.