Khazanah Masjid
Beranda » Berita » Masjid Agung Manonjaya: Saksi Bisu Sejarah Islam Tasikmalaya

Masjid Agung Manonjaya: Saksi Bisu Sejarah Islam Tasikmalaya

Masjid Agung Manojaya
Masjid Agung Manonjaya, cagar budaya di Tasikmalaya dengan sejarah unik dan arsitektur neo klasik, dan menyenangkan

SURAU.CO. Di Kabupaten Tasikmalaya, berdiri sebuah bangunan suci dan megah sarat makna. Bangunan tersebut adalah Masjid Agung Manonjaya yang berlokasi di Dusun Kaum Tengah, Kecamatan Manonjaya. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Islam namnu juga menjadi Saksi perjalanan panjang sejarah dan budaya Tasikmalaya.

Meski mengalami beberapa renovasi bangunannya terlihat kokoh meski usianya sudah ratusan tahun. Masjid ini sempat mengalami kerusakan parah saat gempa bumi besar mengguncang Tasikmalaya pada tahun 2009. Namun, rekonstruksi berhasil mengembalikan kemegahannya. Pesona masjid semakin lengkap dengan keberadaan Alun-alun Manonjaya yang letaknya tepat di depan masjid. Tempat ini menjadi lokasi favorit warga untuk bersantai, terutama saat bulan Ramadhan tiba untuk ngabuburit.

Sejarah Pendirian dan Perpindahan Ibu Kota

Sejarah mencatat pembangunan Masjid Agung Manonjaya dimulai pada tahun 1832 M. Proses ini berlangsung di masa pemerintahan Raden Tumenggung Daruningrat yang juga masyhur sebagai Bupati Sukapura Wiradadaha VIII. Pembangunan masjid langsung dalam pengawasan Patih Raden Wiratanuwangsa yang bergelar Raden Tumenggung Danuningrat.

Pembangunan masjid memakan waktu sekitar dua tahun dan selesai pada tahun 1834 M. Pendirian masjid ini bersamaan dengan infrastruktur pemerintahan lainnya. Saat itu, ibu kota Kabupaten Sukapura akan pindah dari Pasir Panjang ke Harjawinangun. Nama Harjawinangun ini  yang sekarang kita kenal sebagai Manonjaya. Ibu kota Kabupaten Sukapura resmi pindah pada tahun 1835 M.

Beberapa sumber lain menyebutkan pembangunan masjid terjadi pada tahun 1837. Namun, naskah Raden Memed Sastra Hadiprawira memberikan konteks lain. Menurutnya, di Harjawinangun sudah ada masjid kecil atau musala. Tempat ibadah  ini menjadi patokan tata ruang kota baru dan menjadi pusat pengembangan kota sejak awal.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Arsitektur Unik Perpaduan Tiga Budaya

Masjid Agung Manonjaya memiliki daya tarik arsitektur yang khas. Bangunannya mengusung gaya neo-klasik. Gaya ini berpadu harmonis dengan sentuhan arsitektur Sunda dan Jawa. Hal ini menjadi pembeda dari masjid lain pada umumnya.
Jika kebanyakan masjid modern memakai kubah, masjid ini tidak. Masjid Agung Manonjaya menggunakan atap tumpang tiga yang megah. Atap bersusun tiga ini merupakan ciri khas arsitektur Jawa-Sunda. Di bagian puncaknya terdapat mustaka atau kemuncak yang indah. Menurut cerita, mustaka ini berasal dari Masjid Pamijahan. Mustaka itu merupakan peninggalan Syekh Abdul Muhyi.

Pengaruh Eropa terlihat jelas di serambi masjid. Serambi ini ditopang oleh banyak tiang penyangga yang kokoh. Gaya Eropa juga tampak dari empat menara masjid. Dua menara utama berada di tengah. Dua menara lainnya mengapit di sisi kanan dan kiri. Setiap menara di sisi luar berbentuk segi delapan. Masing-masing dilengkapi dengan enam buah jendela.
Di dalam ruang utama, terdapat 10 tiang penyangga utama. Keunikan lain terletak pada perpecahan ruang salat. Jemaah laki-laki dan perempuan memiliki ruang terpisah. Ruang salat untuk perempuan Ditempatkan di area Pawastren. Letaknya berada di sisi selatan ruang salat utama.

Perkembangan, Peran Strategis, dan Renovasi

Setelah Manonjaya menjadi ibu kota, kota ini berkembang pesat. Manonjaya menjelma menjadi pusat perdagangan di Priangan Timur. Lokasinya yang sangat strategis menjadi jalur penghubung antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Masjid Agung Manonjaya berubah menjadi tempat transit penting. Para pedagang dan musafir sering singgah  masjid Manojaya.

Seiring waktu, jumlah jamaah terus bertambah. Kapasitas masjid sudah tidak mencukupi lagi. untuk itu perlu adanya perluasan  masjid pada tahun 1837. Perluasan terjadi pada masa Bupati Sukapura ke-IX. Ruang utama menjadi lebih lebar hingga mencapai 637 meter persegi.

Renovasi besar kembali terjadi pada 10 September 1889. Inisiatif ini datang dari Bupati Sukapura ke-XII, Raden Tumenggung Wirahadiningrat. Perluasan dilakukan ke arah timur. Bangunan tambahannya adalah koridor dan menara baru. Sebuah Balai Nikah juga juga menjadi pelengkap masjid. Total luas masjid pun menjadi 927 meter persegi. Masjid ini mampu menampung sekitar 1.000 jemaah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Status Sebagai Cagar Budaya Nasional

Pemerintah Republik Indonesia mengakui nilai sejarah masjid ini. Dengan usia mendekati dua abad, masjid ini kemudia masuk kedalam bangunan cagar budaya. Ketetapan ini seduai dengan ketetapan Badan Arkeologi RI yang berdasar pada UU Kepurbakalaan pada tanggal 1 September 1975. Penetapannya sebagai cagar budaya bersamaan dengan Masjid Agung Sumedang yang juga berada di Jawa Barat

Statusnya diperkuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1992. Kepres tersebut menyatakan Masjid Agung Manonjaya sebagai bangunan cagar budaya. Artinya, bangunan seluas 1.250 meter persegi ini wajib dilindungi. Kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama hingga kini.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement