Ilmu: Kemuliaan yang Lebih Tinggi dari Harta.
“Al-jūdu bil-‘ilmi wa badzlihi wa huwa min a’lā marātibil-jūd, wal-jūdu bih afdhōlu min al-jūd bil-māl, li’anna al-‘ilma asyrafu min al-māl.” – Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) – Madarijus Salikin 2/288.
Mukadimah: Dunia ini menawarkan banyak hal yang memesona: harta, pangkat, kedudukan, dan kekuasaan. Namun, di tengah kilau dunia yang sering menipu, para ulama salaf memberikan panduan dan petunjuk yang mengarahkan kita kepada kemuliaan yang sejati: ilmu.
Dalam kutipan yang sangat dalam maknanya, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan:
> “Bersikap dermawan dengan ilmu dan membagikannya adalah tingkatan tertinggi dari kedermawanan. Dan dermawan dengan ilmu lebih utama daripada dermawan dengan harta, karena ilmu lebih mulia daripada harta.”
Kalimat ini bukan sekadar petuah klasik, tapi merupakan fondasi nilai yang bisa membentuk cara pandang hidup seorang Muslim.
Kedermawanan yang Tertinggi: Memberi Ilmu
Dalam dunia yang serba transaksional, kita sering mengaitkan kebaikan dengan bantuan materi. Padahal, memberi ilmu – mengajarkannya kepada orang lain – adalah bentuk sadaqah jariyah yang nilainya tak tergantikan.
Membagi ilmu bukan hanya memberikan informasi, tapi memberi cahaya. Ilmu adalah cahaya petunjuk (النور), yang menerangi hati dan membimbing langkah menuju ridha Allah ﷻ.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.”
(HR. Muslim)
Ketika seseorang mengajarkan ilmu, dan ilmunya diamalkan, maka pahala akan terus mengalir tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya.
Ilmu Lebih Mulia dari Harta
Imam Ibnul Qayyim menyampaikan alasan utama mengapa memberi ilmu lebih utama dari memberi harta: karena ilmu lebih mulia dari harta.
Mengapa demikian?
Ilmu menjaga pemiliknya, sedangkan harta harus dijaga.
Ilmu bertambah dengan dibagi, harta berkurang ketika dibagi.
Ilmu membimbing kepada surga, harta bisa menjadi fitnah dan jalan menuju kebinasaan.
Ilmu berkaitan dengan hati dan akal, sementara harta hanya melekat pada dunia dan jasad.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
> “Ilmu lebih utama daripada harta. Ilmu menjaga kamu, sedangkan kamu menjaga harta.”
Dermawan dengan Ilmu: Amal Para Nabi
Semua nabi diutus bukan untuk memberikan harta, tapi untuk memberikan ilmu dan petunjuk. Mereka adalah guru umat manusia. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang guru.” (HR. Ibnu Majah)
Nabi ﷺ tidak mewariskan dinar atau dirham. Beliau mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambil bagian dari ilmu itu, sungguh ia telah mengambil warisan kenabian.
Dalam hadits disebutkan:
> “Para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Oleh karena itu, mereka yang belajar dan mengajarkan ilmu agama sedang berjalan di atas jejak para nabi.
Realitas Hari Ini: Kekurangan Guru yang Ikhlas
Meski dunia pendidikan berkembang, namun jumlah orang yang benar-benar membagikan ilmu dengan keikhlasan masih sangat terbatas.
Banyak yang belajar hanya untuk meraih gelar, jabatan, atau pengaruh sosial, bukan untuk menghidupkan sunnah Rasulullah ﷺ dan menyelamatkan umat dari kesesatan.
Inilah sebabnya mengapa kutipan Ibnul Qayyim terasa relevan hingga hari ini. Umat sangat butuh para guru yang ikhlas, yang dermawan dengan ilmunya, yang siap membagikannya bukan demi popularitas, tapi demi membimbing hati-hati yang haus akan kebenaran.
Ilmu yang Dibagikan, Pahala yang Terus Mengalir
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Perhatikan bahwa ilmu yang bermanfaat menempati posisi di antara amalan yang tak terputus pahalanya meski jasad telah dikubur. Maka, orang-orang yang mengajarkan Al-Qur’an, fiqih, akidah, adab, dan ilmu Islam lainnya dengan ikhlas, adalah orang yang sedang menanam amal abadi di sisi Allah ﷻ.
Jangan Pelit Ilmu
Ironisnya, di zaman keterbukaan informasi ini, masih banyak yang pelit ilmu. Ada yang menguasai banyak pengetahuan, tapi enggan membaginya kecuali dengan imbalan duniawi. Bahkan, sebagian merasa tersaingi jika ada muridnya berkembang lebih cepat.
Padahal, justru keikhlasan seorang guru diuji ketika ia mampu membahagiakan diri dengan melihat anak didiknya melampaui dirinya.
Ibnul Qayyim memberikan teladan melalui kutipan tadi: orang dermawan bukan hanya yang memberi harta, tapi yang memberi ilmu tanpa pamrih dunia.
Bagaimana Kita Bisa Dermawan dengan Ilmu?
Belajarlah dengan niat yang benar. Ilmu tak akan bermanfaat jika diniatkan hanya untuk dunia.
Bagikan ilmu sekecil apapun. Satu hadits, satu ayat, satu nasihat—jika benar dan diamalkan—bisa menjadi sebab kebaikan yang meluas.
Gunakan media yang ada. Tulis di media sosial, ajak diskusi di majelis, atau jadilah penggerak kajian di lingkungan sendiri.
Tanamkan semangat berbagi. Jangan merasa harus sempurna dulu untuk berbagi. Kita semua sedang belajar. Apa yang kita tahu, sampaikanlah dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Penutup: Jalan Menuju Kemuliaan Abadi
Kutipan dari Ibnul Qayyim ini memberi pesan yang sangat kuat: bahwa kemuliaan bukanlah milik orang kaya, tapi milik orang berilmu. Dan lebih tinggi lagi, milik orang yang dermawan dengan ilmunya.
Ilmu bukan sekadar untuk dipajang atau dibanggakan, tapi untuk dibagikan. Dan dalam membagikannya, kita sedang menapaki jalan para nabi. Karena itu, jadilah orang yang mencari ilmu dengan tulus, dan membagikannya dengan ikhlas.
Karena dunia ini akan hancur, tapi ilmu yang bermanfaat dan dibagikan dengan ikhlas akan abadi dalam timbangan amal. Sumber kutipan: Ibnul Qayyim al-Jauziyyah – Madārijus Sālikīn, 2/288.Pesan ini sangat layak dicetak, dibagikan, dan diresapi oleh semua penuntut ilmu. (Tengku Iskandar, M.Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
