Membangun Jembatan Hati: Manfaat Silaturahmi dan Toleransi di Era Modern
SURAU.CO – Di tengah derasnya arus informasi dan tantangan zaman, manusia modern sering kali merasa terasing. Teknologi memang mendekatkan yang jauh. Akan tetapi, ia juga berpotensi menjauhkan yang dekat. Oleh karena itu, kita perlu kembali merenungkan dua konsep penting ini. Konsep tersebut adalah silaturahmi dan toleransi. Keduanya bukan sekadar istilah usang. Sebaliknya, keduanya merupakan pilar esensial dalam ajaran Islam. Nilai-nilai ini menjadi fondasi kokoh untuk menciptakan kehidupan yang damai. Selain itu, ia juga menumbuhkan keharmonisan serta cinta kasih. Hal ini berlaku dalam lingkup keluarga, masyarakat, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih luas. Tanpa kedua pilar ini, sebuah bangunan sosial akan mudah retak oleh perbedaan.
Memahami keduanya secara mendalam bukanlah pilihan. Melainkan, ini adalah sebuah keharusan bagi setiap individu. Terutama bagi mereka yang merindukan tatanan sosial yang lebih manusiawi. Silaturahmi menjadi perekat hubungan antarmanusia. Sementara itu, toleransi berfungsi sebagai minyak pelumas yang melancarkan interaksi di tengah keberagaman. Keduanya saling melengkapi. Kemudian, keduanya menciptakan sebuah simfoni kehidupan yang indah. Saya sering kali berpikir, betapa kuatnya sebuah bangsa jika setiap warganya secara sadar mempraktikkan kedua hal ini dalam keseharian mereka. Bukan hanya sebagai seremoni, tetapi sebagai napas kehidupan. Dengan demikian, artikel ini akan mengupas lebih jauh bagaimana kedua nilai luhur ini menjadi kunci untuk masa depan yang lebih baik.
Menggali Akar Makna Silaturahmi dalam Kehidupan Sehari-hari
Silaturahmi sering kali diartikan secara sederhana. Ia dipahami sebagai kegiatan kunjung-mengunjungi kerabat. Namun, maknanya jauh lebih dalam dari itu. Secara harfiah, silaturahmi berasal dari kata “silah” (menyambung) dan “rahim” (kasih sayang atau kerabat). Jadi, ia berarti menyambung tali kasih sayang. Ini tidak hanya terbatas pada ikatan darah. Akan tetapi, ia juga mencakup hubungan persaudaraan dengan sesama manusia. Islam menempatkan silaturahmi pada posisi yang sangat mulia. Hal ini karena dampaknya begitu nyata dan positif. Rasulullah SAW bahkan mengaitkannya dengan hal-hal yang sangat didambakan manusia, yaitu rezeki dan umur. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kutipan hadis ini bukanlah janji kosong. Sebaliknya, ia mengandung logika sosial yang sangat kuat. Dengan aktif menjalin silaturahmi, seseorang memperluas jaringan pertemanannya. Pintu-pintu rezeki sering kali terbuka melalui interaksi sosial. Pertolongan, informasi, dan peluang bisnis kerap datang dari orang-orang yang kita kenal baik. Selain itu, silaturahmi juga menyehatkan mental. Bertemu dan berbagi cerita dengan orang lain dapat meredakan stres. Alhasil, hati menjadi lebih lapang dan bahagia. Kondisi mental yang baik inilah yang pada akhirnya berkontribusi pada kesehatan fisik dan kualitas hidup yang lebih panjang. Sungguh, sebuah anjuran yang sarat dengan kearifan.
Praktik silaturahmi modern tidak selalu menuntut pertemuan fisik. Sebuah panggilan telepon untuk menanyakan kabar sahabat lama adalah bentuk silaturahmi. Mengirim pesan singkat untuk memberi semangat kepada kerabat juga merupakan bagian darinya. Bahkan, menyelesaikan konflik kecil dengan tetangga adalah wujud nyata dari upaya menyambung kembali tali yang sempat renggang. Tindakan-tindakan kecil ini mampu menghilangkan prasangka buruk. Selanjutnya, ia juga dapat menyatukan kembali perbedaan pendapat. Pada akhirnya, semua itu akan menumbuhkan rasa saling peduli. Inilah yang menjadi inti dari masyarakat yang sehat dan kuat.
Toleransi sebagai Cerminan Keimanan dan Kematangan Berpikir
Jika silaturahmi adalah tindakan menyambung, maka toleransi adalah sikap yang melandasinya. Toleransi atau tasamuh berarti lapang dada. Ia adalah kesediaan untuk menghormati dan menerima perbedaan yang ada. Perbedaan tersebut bisa berupa keyakinan agama, suku, budaya, hingga pandangan politik. Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk hidup rukun. Kita dianjurkan hidup berdampingan secara damai dengan siapa pun. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT yang sangat terkenal. Firman ini menjadi kaidah utama dalam interaksi antarumat beragama. Allah SWT berfirman:
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Ayat ini merupakan sebuah deklarasi penghormatan. Ia bukanlah tembok pemisah yang kaku. Sebaliknya, ia adalah pengakuan atas hak setiap individu untuk meyakini dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memaksakan kehendak. Namun, kita tetap harus hidup dalam semangat saling menghargai. Saya merenung, betapa seringnya prinsip agung ini disalahpahami. Beberapa orang menganggapnya sebagai dalih untuk bersikap acuh tak acuh. Padahal, esensinya adalah menghormati tanpa harus kehilangan identitas keyakinan sendiri.
Nabi Muhammad SAW memberikan teladan sempurna dalam menerapkan toleransi. Beliau berhasil membangun masyarakat yang sangat majemuk di Madinah. Di sana, umat Islam hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan kelompok lainnya. Semua pihak terikat dalam sebuah perjanjian luhur. Perjanjian itu dikenal sebagai Piagam Madinah. Dokumen ini menjadi konstitusi tertulis pertama yang menjamin kebebasan beragama. Ia juga mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara. Ini adalah bukti nyata bahwa toleransi bukanlah konsep teoretis. Ia adalah fondasi yang dapat diwujudkan untuk membangun peradaban yang adil dan beradab. Toleransi menunjukkan kematangan berpikir dan kedalaman iman seseorang.
Sinergi Silaturahmi dan Toleransi: Akar Masyarakat Harmonis
Silaturahmi dan toleransi bukanlah dua konsep yang terpisah. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya saling membutuhkan dan saling menguatkan. Mustahil seseorang bisa menjalin silaturahmi yang tulus tanpa memiliki sikap toleran. Bagaimana mungkin kita bisa menyambung hubungan baik jika hati kita dipenuhi prasangka dan penolakan terhadap perbedaan? Sebaliknya, toleransi yang hanya ada dalam pikiran akan menjadi konsep yang rapuh. Ia perlu diwujudkan melalui interaksi nyata. Interaksi itulah yang disebut silaturahmi.
Dengan demikian, silaturahmi menjadi wadah bagi toleransi untuk tumbuh subur. Ketika kita berani melangkah untuk mengunjungi tetangga yang berbeda keyakinan, kita sedang mempraktikkan keduanya sekaligus. Kita membuka pintu komunikasi (silaturahmi) dengan didasari sikap menghargai (toleransi). Dalam interaksi tersebut, kita belajar mendengarkan. Kita juga berlatih untuk tidak mudah menghakimi. Dari sanalah pemahaman dan empati akan lahir. Prasangka yang tadinya kokoh perlahan akan luntur. Ia akan digantikan oleh pengertian yang tulus.
Membangun jembatan silaturahmi adalah langkah pertama untuk meruntuhkan tembok prasangka. Di era digital yang penuh dengan polarisasi ini, kedua nilai tersebut menjadi semakin relevan. Ruang gema di media sosial sering kali memperuncing perbedaan. Oleh karena itu, kita butuh keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Kita perlu menjalin silaturahmi dengan mereka yang berbeda pandangan. Dengan begitu, perpecahan dapat dihindari. Kemudian, persatuan dan kedamaian dapat terwujud secara nyata. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau tokoh masyarakat. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai individu yang mendambakan keharmonisan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.