SURAU.CO. Tegalsari mengukir nama besar dalam sejarah peradaban Islam di Jawa. Lokasinya berada di antara lanskap agraris Ponorogo. Namun, Tegalsari bukanlah sekadar desa atau pesantren biasa. Tempat ini menjadi sebuah fenomena sejarah yang penting utamanya dalam perkembangan Islam di Jawa.
Di dalamnya spiritualitas, kisah politik, dan intelektualitas Islam ditempa dengan kuat. Sejarahnya bagai epik yang menakjubkan. Kisah ini menceritakan bagaimana hutan belantara berubah menjadi pusat peradaban yang berpengaruh. Seorang kiai sufi berhasil menenangkan hati raja yang kehilangan takhta. Sebuah dinasti intelektual pun lahir, berkembang, dan menghadapi krisis internalnya. Artikel ini akan menelusuri jejak panjang Pesantren Tegalsari.
Jejak Awal di Tepi Sungai Keyang
Kita perlu membayangkan lanskap Tegalsari pada abad ke-18 untuk memahaminya. Fokko Fokkens, seorang pejabat Hindia Belanda, memberikan gambaran kehidupan. Ia menulis tentang kunjungannya pada dekade 1870-an, dimana melukiskan perjalanan sembilan kilometer dari pusat kota Ponorogo. Perjalanan itu memakan waktu satu jam dengan menunggang kuda pos. Barisan pohon asam yang rapi menuungi sepanjang jalan. Ini menjadi penanda peradaban di tengah alam pedesaan. Namun, deskripsi Fokkens mengingatkan kita akan status Tegalsari. Ia adalah destinasi terpisah yang tetap terhubung dengan pusat kekuasaan.
Sejarawan Claude Guillot menelusuri akarnya hingga abad ke-17. Ia melakukan studi mendalam tentang desaperdikan(desa bebas pajak). Jauh sebelum Kiai Ageng Muhammad Besari mendirikan pesantren, wilayah ini sudah dianggap suci. Kehadiran Pangeran Sumendhe Ragil menjadi penandanya. Pangeran ini kesohor sebagai kerabat Sunan Bayat dan sekutu Bathara Katong. Mereka bersama-sama menyebarkan Islam di Ponorogo. Setelah wafat, masyarakat memakamkannya di Setana, dekat Sungai Keyang.
Kepala perdikan Setana terakhir adalah Kiai Danapura. Beliau merupakan ulama keturunan Sunan Bayat. Tradisi lisan menggambarkannya sebagai sosok yang sangat saleh. Mohammad Poernomo dalam karyanya Sejarah Kyai Ageng Mohammad Besari mengutip sebuah peribahasa Jawa yang luhur untuk Kiai Danapura, “Suka payung ing wong kepanasan, suka tekan ing wong kang kalunyon, suka oboring ing wong kang kepetengan”. Artinya, beliau suka menjadi pelindung, penuntun, dan pencerah bagi masyarakatnya.
Kiai Muhammad Besari
Panggung sejarah kemudian beralih pada awal abad ke-18. Seorang pemuda bernama Muhammad Besari datang dari Caruban. Kiai Danapura yang bijaksana melihat potensi luar biasa dalam diri muridnya. Beliau juga memberikan sebuah tugas yang monumental. Ia meminta Muhammad Besari membuka hutan di seberang Sungai Keyang. Tujuannya untuk membangun sebuah pemukiman baru yang beradab.
Muhammad Besari dengan patuh menjalankan perintah gurunya. Ia menetap di tanah baru itu dan membangun pesantrennya sendiri. Ia menyewa desa baru itu Tegalsari. Nama ini sarat dengan makna dan harapan. Tegal berarti ladang, sedangkan sari berarti bunga atau inti. Nama ini menyiratkan harapan agar tempat itu berkembang menjadi pusat ilmu dan spiritualitas. Ketika Kiai Danapura wafat, Kiai Muhammad Besari secara alamiah mewarisiperdikanSetana. Reputasinya sebagai guru mumpuni dan pemimpin desa pun mulai tersebar luas.
Geger Pacinan dan Anugerah Desa Perdikan
Ketenaran Kiai Muhammad Besari mencapai puncaknya di tengah kekacauan besar. Sejarah Mataram Islam mencatatnya sebagai Geger Pacinan (1740-1743). Cristopher Reinhart dalam bukunyaAntara Lawu dan Wilismenggambarkan gejolak di seluruh Jawa Tengah. Pada tanggal 30 Juni 1742, pasukan gabungan Jawa-Tionghoa mengalahkan ibu kota Kartasura. Penguasa sah Mataram, Susuhunan Pakubuwono II, terpaksa melarikan diri.
Dalam pengungsinya, sang raja tiba di Ponorogo dengan penuh keputusasaan. Para penasihatnya menyarankan agar ia mencari bimbingan spiritual. Mereka merekomendasikan Kiai Muhammad Besari dari Tegalsari. Pertemuan antara raja yang terusir dan kiai yang khusyuk menjadi momen dramatis. Pakubuwono II menanggalkan segala kebesarannya an memohon sang kiai menjadi perantara doanya kepada Tuhan. Ia berharap dapat merebut kembali takhta warisan leluhurnya. Pakubuwono II kemudian mengucapkan sebuah janji agung yaitu akan menjadikan Tegalsari sebagai pusat referensi belajar Islam kerajaannya. Ia juga akan mengangkat desa itu menjadi perdikan abadi. Kemudian Pakubuwono II berhasil merebut kembali Kartasura pada bulan November 1742 dan menganugerahkan perdikan kepada Kiai Muhammad Besari dan keturunannya. Momen inilah yang menjadi titik tolak kebesaran Pesantren Tegalsari.
Tiga Generasi Pendiri: Fondasi, Ekspansi, dan Krisis Suksesi
Dengan status perdikan dan karisma Kiai Muhammad Besari, Tegalsari berkembang pesat. Haris Daryono Ali Haji dalam bukunya Dari Majapahit Menuju Pondok Pesantrean menyebut periode ini sebagai era “Generasi Pendiri”. Kepemimpinan tiga generasi pertama membentuk fondasi, memperluas pengaruh, dan melawan tantangan kesuksesan.
Pertama zaman Kiai Ageng Muhammad Besari (w. 1773). Sang arsitek spiritual ini walau menerima anugerah, tidak larut dalam kemegahan. Kiai Besari tetap konsisten pada jalurnya sebagai pendidik dan pembimbing. Reputasi Tegalsari menyebar dengan cepat. Para pemuda dari berbagai penjuru datang menimba ilmu. Kiai Muhammad Besari, yang bergelar Kiai Ageng, membangun masjid dan pondokan. Ia meletakkan dasar fisik dan spiritual bagi pesantren. Terdapat diskusi mengenai tahun wafatnya. Beberapa sumber menyebut tahun 1747. Namun, catatan sejarah lain menunjukkan ia masih hidup pada tahun 1768. Claude Guillot menyimpulkan tahun wafat yang paling akurat adalah1773 M.
Kiai Ilyas bin Muhammad Besari (1773-1800): Perluasan Jaringan
Setelah menyanyikan ayah wafat, Kiai Ilyas melanjutkan kepemimpinan Tegalsari. Ia mewarisi semangat ayahnya untuk mengembangkan pesantren. Salah satu warisan monumentalnya adalah pembangunan kembali Masjid Tegalsari pada tahun 1774 M. Claude Guillot menyoroti bukti otentik berupa prasasti pada mimbar masjid yang berbunyi:“Kala demal ing wulan Ramadhan ing tahun Alif antara 1188 saking Hijrah…”. Pada masa Kiai Ilyas, jaringan keluarga Tegalsari meluas. Kerabatnya menyebar untuk mendirikan pusat pengajaran baru di Madiun, Kediri, dan sekitarnya.
Wafatnya Kiai Ilyas, Pesantren Tegalsari merosot tajam. Pendidikan terabaikan dan santri dieksploitasi. Kabar ini akhirnya sampai ke Keraton Surakarta. Pada tahun 1820, Sunan Pakubuwono IV mengambil tindakan tegas. Pengelolaan desa kemudian diserahkan sepenuhnya kepada saudaranya, Kiai Hasan Besari.
Sejarah tiga generasi pertama Pesantren Tegalsari adalah narasi besar tentang visi dan pengorbanan. Perjalanannya membuktikan bahwa di balik tembok pesantren, denyut nadi sejarah bangsa ikut berdetak, membentuk karakter para pemimpin dan mengukir takdir peradaban. Krisis suksesi menjadi pelajaran yang pahit. Namun, krisis ini jugalah yang membuka jalan bagi era keemasan di bawah Kiai Hasan Besari II. Ia kelak mendidik tokoh-tokoh besar seperti pujangga Ronggowarsito dan pahlawan nasional HOS Cokroaminoto.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
