SURAU.CO – Islam sering menasihati kita untuk menahan amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan berpesan, “Jangan marah.” Emosi ini memang seringkali menjadi pintu masuk bagi setan untuk menjerumuskan manusia. Amarah dapat merusak hubungan, melahirkan dendam, dan mendorong seseorang pada tindakan dosa. Karena itu, Islam memandang kemampuan menahan amarah sebagai tanda kekuatan iman.
Namun, bukan berarti semua bentuk kemarahan itu buruk. Seorang muslim tidak dituntut untuk selalu diam dan pasif, terutama ketika melihat kemungkaran merajalela. Justru sebaliknya, Islam sebagai agama yang sempurna mengajarkan adanya jenis kemarahan yang terpuji. Inilah kemarahan yang lahir dari fondasi iman yang kokoh.
Membedakan Sumber Amarah: Nafsu atau Iman?
Kunci untuk memahami persoalan ini terletak pada pemicu kemarahan itu sendiri. Kemarahan yang tercela selalu bersumber dari urusan pribadi. Seseorang marah karena merasa dihina, karena tidak mendapatkan keuntungan duniawi, atau karena egonya merasa terusik. Jenis kemarahan seperti ini berpusat pada hawa nafsu yang harus kita kendalikan.
Di sisi lain, ada amarah yang terpuji dan bernilai ibadah. Kemarahan ini muncul ketika kita menyaksikan aturan-aturan Allah dilanggar secara terang-terangan. Dalam Islam, sikap ini dikenal dengan istilah ghirah atau cemburu karena agama. Ini adalah bentuk pembelaan tulus terhadap kehormatan syariat. Tujuan kemarahan ini bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan murni untuk membela hak-hak Allah Ta’ala.
Teladan Sempurna dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tidak ada contoh yang lebih baik dalam hal ini selain dari pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau terkenal sebagai orang yang paling lembut dan penyabar. Akan tetapi, ada saat-saat di mana wajah beliau memerah karena marah. Kapan hal itu terjadi?
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melukiskan akhlak beliau dengan sangat jelas.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya. Beliau tidak pernah memukul seorang wanita, juga tidak pernah memukul seorang budak. Beliau memukul jika dalam kondisi berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau membalas suatu kezaliman yang ditujukan kepada pribadinya sama sekali. Akan tetapi, jika larangan-larangan Allah dilanggar, beliau adalah orang yang paling marah.” (HR. Muslim)
Pola ini menunjukkan akhlak yang sempurna. Untuk urusan pribadinya, beliau adalah pemaaf yang ulung. Namun, jika kehormatan agama yang dinodai, beliau akan menjadi orang yang paling terdepan dalam menunjukkan kemarahannya.
Dalam kisah lain, seorang sahabat pernah mengeluh kepada Nabi karena seorang imam membaca surat yang terlalu panjang dalam shalat. Mendengar laporan itu, Nabi menjadi sangat marah. Beliau kemudian menasihati para imam agar tidak memberatkan jamaahnya. Kemarahan beliau di sini murni karena ada praktik yang menyusahkan kaum muslimin dalam beribadah.
Ghirah Nabi Musa Atas Penodaan Tauhid
Contoh lain yang sangat kuat datang dari kisah Nabi Musa ‘alaihissalam. Setelah menerima wahyu di Bukit Tursina, beliau segera kembali kepada kaumnya. Betapa terkejut dan marahnya beliau saat mendapati mereka justru menyembah patung anak sapi dari emas. Mereka telah melakukan pelanggaran paling fatal dalam agama, yaitu kesyirikan.
Al-Qur’an mengabadikan betapa dahsyatnya kemarahan Nabi Musa pada saat itu.
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah dia, ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?’ Dan Musa pun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya.” (QS. Al-A’raf: 150)
Kemarahan Nabi Musa begitu besar hingga ia melempar papan wahyu suci. Tentu ini bukan kemarahan yang tercela. Ini adalah ghirah tingkat tertinggi karena prinsip tauhid yang paling agung telah mereka khianati.
Bagaimana Seharusnya Kita Marah?
Dengan meneladani para nabi, kita belajar bahwa marah yang terpuji memiliki beberapa kriteria. Pertama, niatnya harus lurus semata-mata karena Allah. Kedua, kemarahan itu harus kita ekspresikan secara proporsional dan tidak melampaui batas. Tujuannya adalah untuk memperbaiki keadaan, bukan untuk merusaknya.
Oleh karena itu, kemarahan karena agama tidak boleh kita salurkan melalui caci maki atau penghinaan yang kotor. Sebaliknya, kita harus mengekspresikannya melalui cara-cara yang syariat benarkan. Misalnya, kita dapat memberikan nasihat yang tegas, mengingkari dengan lisan, atau mencegah kemungkaran dengan tangan sesuai kapasitas yang kita miliki.
Menempatkan Amarah pada Tempatnya
Sebagai seorang muslim, kita mengemban dua tugas penting terkait amarah. Pertama, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan amarah yang berkaitan dengan urusan pribadi. Kedua, kita wajib memupuk ghirah atau rasa cemburu ketika agama Allah dilecehkan. Sebab, hilangnya ghirah adalah pertanda lemahnya iman. Semoga Allah membimbing kita untuk menempatkan setiap emosi sesuai timbangan syariat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
