SURAU.CO – Bagi sebagian besar orang, bekerja adalah rutinitas utama. Kita menghabiskan sepertiga bahkan separuh hari untuk mencari nafkah. Aktivitas ini seringkali kita pandang sebagai urusan duniawi semata. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gaji, memenuhi kebutuhan, atau meraih status sosial. Akibatnya, pekerjaan terasa melelahkan dan hanya berorientasi pada materi.
Namun, Islam menawarkan sebuah perspektif yang luar biasa. Agama kita mengajarkan cara untuk mengubah rutinitas yang melelahkan ini menjadi ibadah yang berkelanjutan. Setiap tetes keringat dan setiap jam yang kita habiskan di tempat kerja bisa menjadi sumber pahala yang melimpah. Lantas, bagaimana caranya agar pekerjaan kita tidak hanya menghasilkan uang, tetapi juga mendatangkan rida Allah?
Syarat Pertama: Meluruskan Niat Semata karena Allah
Fondasi dari segala amal dalam Islam adalah niat. Sebuah perbuatan bisa menjadi sia-sia atau justru bernilai agung, tergantung pada niat di dalam hati. Hal yang sama berlaku mutlak untuk bekerja. Agar pekerjaan kita terhitung sebagai ibadah, niatnya harus lurus semata-mata karena Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى”
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat karena Allah dalam bekerja memiliki banyak bentuk. Misalnya, kita bekerja dengan niat untuk memenuhi perintah-Nya. Kita juga bisa berniat untuk menjaga kehormatan diri agar tidak menjadi peminta-minta. Lebih mulia lagi, kita bekerja untuk menafkahi keluarga, karena itu adalah sebuah kewajiban agung. Dengan niat yang benar, kebiasaan duniawi pun berubah menjadi ibadah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
“Kebiasaan bisa menjadi ibadah jika diniatkan dengan niat yang ikhlas. Dan ibadah bisa menjadi kebiasaan (yang tidak berpahala) jika tidak diniatkan (dengan ikhlas).”
Syarat Kedua: Memastikan Pekerjaan Itu Halal
Niat yang tulus harus dipadukan dengan cara yang benar. Syarat kedua agar pekerjaan kita berpahala adalah memastikan bahwa pekerjaan itu sendiri halal. Islam menegaskan bahwa tujuan tidak menghalalkan segala cara. Niat yang baik tidak akan pernah bisa membuat pekerjaan yang haram menjadi halal.
Seseorang tidak bisa berniat ibadah dengan menjual minuman keras. Ia juga tidak bisa mencari pahala dengan bekerja di bank konvensional yang berbasis riba. Sebab, Allah hanya akan menerima amalan yang baik dan berasal dari sumber yang baik pula. Oleh karena itu, kita wajib selektif dalam memilih profesi. Pastikan sumber rezeki kita bersih dari hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Syarat Ketiga: Bekerja dengan Profesional dan Penuh Tanggung Jawab
Islam adalah agama yang sangat mencintai profesionalisme. Seorang muslim tidak cukup hanya bekerja. Ia dituntut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Sikap ini dikenal dengan istilah itqan, yaitu melakukan sesuatu dengan terampil, cermat, dan penuh kesungguhan. Bekerja secara asal-asalan sangat bertentangan dengan semangat Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إِنّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ”
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila ia mengerjakan suatu amalan, maka ia mengerjakannya dengan itqan (profesional).” (HR. Al-Baihaqi, shahih)
Profesionalisme ini mencakup banyak hal. Di antaranya adalah datang tepat waktu, menepati janji, menyelesaikan tugas sesuai target, dan menjaga amanah. Ketika kita melakukan semua ini dengan niat yang benar, maka setiap aspek pekerjaan kita akan diganjar pahala.
Syarat Keempat: Tidak Melalaikan Ibadah Wajib
Pekerjaan adalah sarana, bukan tujuan akhir. Kesibukan kita dalam mencari nafkah tidak boleh menjadi alasan untuk melalaikan kewajiban utama kita sebagai hamba. Syarat keempat ini menjadi penyeimbang agar kita tidak tenggelam dalam urusan dunia.
Kewajiban utama yang tidak boleh ditinggalkan adalah shalat lima waktu. Ketika panggilan azan berkumandang, seorang muslim harus bersegera untuk menunaikannya. Allah Ta’ala secara khusus memperingatkan tentang hal ini.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Ayat ini berlaku untuk semua ibadah wajib. Dunia boleh kita genggam, tetapi jangan sampai ia masuk dan menguasai hati kita.
Kisah Inspiratif: Bekerja Adalah Jihad
Ada sebuah kisah indah dari zaman Nabi. Suatu hari, seorang pria yang gagah dan kuat berjalan melewati Rasulullah dan para sahabat. Melihat semangat kerja pria itu, sebagian sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja kekuatan orang ini digunakan untuk jihad di jalan Allah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sebuah pelajaran berharga. Beliau meluruskan pemahaman mereka.
“Jika ia keluar bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk menafkahi kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya, maka ia berada di jalan Allah.” (HR. Ath-Thabrani, shahih)
Kisah ini menunjukkan betapa luasnya makna “di jalan Allah”. Bekerja keras untuk keluarga adalah salah satu bentuk jihad yang paling mulia. Dengan memenuhi keempat syarat di atas, semoga setiap lelah kita dalam bekerja menjadi saksi ibadah di hadapan Allah kelak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
