Opinion
Beranda » Berita » Antara Tawa dan Tangis: Keseimbangan Emosi Menurut Islam

Antara Tawa dan Tangis: Keseimbangan Emosi Menurut Islam

Antara Tawa dan Tangis
SURAU.CO – Tawa dan tangis adalah dua ekspresi yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Keduanya merupakan bahasa universal yang melintasi batas budaya dan zaman. Adakalanya, kita tertawa hingga merasa sangat bahagia. Namun di lain waktu, kita bisa menangis karena dirundung duka. Roda emosi ini terus berputar, mewarnai setiap babak dalam perjalanan hidup kita.

Meskipun begitu, pernahkah kita berhenti sejenak untuk merenungkan bagaimana Islam memandang kedua hal ini? Agama kita sama sekali tidak menuntut umatnya untuk menjadi pribadi yang kaku tanpa emosi. Justru sebaliknya, Islam memberikan panduan yang begitu indah. Panduan ini menuntun kita agar setiap tawa dan tangis dapat bernilai ibadah di sisi-Nya.

Sumber Hakiki dari Tawa dan Tangis

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu memahami dari mana kedua emosi ini berasal. Tawa dan tangis sejatinya bukanlah ciptaan kita. Keduanya adalah anugerah sekaligus ketetapan mutlak dari Allah Ta’ala. Dialah yang menanamkan kemampuan ini ke dalam diri setiap manusia. Allah sendiri menegaskan hal ini dalam firman-Nya.

“وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ”

“dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)

Ayat ini memberikan sebuah landasan berpikir yang fundamental. Karena keduanya berasal dari Allah, maka pasti ada hikmah besar di baliknya. Dengan demikian, tugas kita adalah mengarahkan ekspresi ini sesuai dengan koridor yang Allah ridai. Harapannya, tawa kita tidak melalaikan, dan tangis kita tidak menjerumuskan pada keputusasaan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Adab dalam Tertawa: Meneladani Sunnah, Menjauhi Kelalaian

Pada dasarnya, tertawa adalah hal yang sangat manusiawi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terkadang tertawa sebagai ekspresi kebahagiaan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak melarangnya. Akan tetapi, tawa beliau selalu terkontrol dan penuh dengan adab yang mulia. Beliau tidak pernah tertawa terbahak-bahak hingga kehilangan wibawanya.

Untuk tawa yang terpuji, bentuk terbaiknya adalah sebuah senyuman. Ekspresi seperti ini menunjukkan hati yang lapang tanpa perlu bersikap berlebihan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah memberikan kesaksian tentang bagaimana cara Nabi tertawa.

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan amandelnya. Beliau biasanya hanya tersenyum.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jenis tawa seperti inilah yang mampu mendatangkan keakraban. Ia dapat mencairkan suasana tanpa membuat seseorang menjadi lupa diri.

Di sisi lain, ada jenis tawa yang sangat dicela dalam Islam. Tawa ini adalah yang bersifat berlebihan, keras, dan sampai terbahak-bahak. Biasanya, ekspresi semacam ini lahir dari hati yang lalai. Hal itu menunjukkan bahwa seseorang terlalu terbuai dengan candaan duniawi yang sia-sia. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan keras akan bahayanya.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Hati yang mati adalah hati yang membatu. Ia akan sulit menerima nasihat dan enggan untuk mengingat akhirat.

Makna di Balik Tangisan: Air Mata Iman dan Air Mata Murka

Sama halnya dengan tawa, tangisan juga memiliki dua sisi yang berbeda. Ada tangisan yang sangat mulia di sisi Allah. Namun, ada pula tangisan yang justru dapat mendatangkan murka-Nya.

Adapun tangisan yang paling utama adalah yang lahir karena rasa takut kepada Allah. Air mata yang jatuh karena merenungi dosa-dosa merupakan pertanda hidupnya iman. Hal tersebut menunjukkan adanya kelembutan di dalam hati. Sungguh, orang yang mampu menangis karena Allah adalah orang yang sangat beruntung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menjanjikan keutamaan yang sangat besar.

“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka. (Yang pertama adalah) mata yang menangis karena takut kepada Allah. (Yang kedua adalah) mata yang berjaga (tidak tidur) di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Sementara itu, jenis tangisan yang tercela adalah meratap, atau dalam istilah syariat disebut niyahah. Perbuatan ini merupakan ekspresi tangis yang berlebihan karena tidak terima dengan takdir Allah. Biasanya, hal ini terjadi saat seseorang kehilangan sesuatu yang ia cintai. Perilaku ini menunjukkan lemahnya iman kepada qada dan qadar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan tegas,

“Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika ditimpa musibah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menuju Keseimbangan Sempurna

Pada akhirnya, Islam adalah agama pertengahan. Ia tidak menyuruh kita untuk selalu bermuram durja. Namun, ia juga tidak membiarkan kita tertawa tanpa kendali. Kuncinya adalah keseimbangan. Tertawalah pada tempatnya dengan cara yang beradab, dan menangislah karena alasan yang benar. Dengan begitu, setiap ekspresi kita akan menjadi ladang pahala.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement